Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lulu Nugroho

Menakar Gray Divorce dalam Timbangan Syariat

Agama | 2025-09-30 07:05:06

Ada fenomena unik yang terjadi pada pasangan usia senja, yakni perceraian. Kondisi ini disebut sebagai gray divorce atau perceraian yang terjadi pada pasangan lanjut usia. Hal ini menjadi pertanyaan sebagian masyarakat, mengapa memutuskan bercerai justru di saat lanjut usia? Bukankah sejatinya pada usia 50 tahun ke atas, kepribadiaan seseorang sudah lebih stabil, sehingga kecil kemungkinan memilih hidup sendiri, dan berpisah dari pasangannya.

Pada 1990, terjadi sekitar 8,7 persen perceraian pada pasangan usia 50 tahun ke atas. Namun di tahun 2019, melonjak menjadi 36 persen. Pada tahun 1990 hingga 2021, angka gray divorce mencapai 1 dari 3 kasus perceraian. Sedangkan pada tahun 2025 terjadi lonjakan 3x lipat untuk usia di atas 65 tahun. (The Journals of Gerontology oleh Susan Brown, Profesor Sosiologi Bowling Green State University)

Beberapa penyebab yang melatari fenomena ini adalah hilangnya ikatan emosional yang mengakibatkan sindrom sarang kosong (empty nest syndrome). Saat anak-anak beranjak pergi meninggalkan rumah karena kuliah, menikah atau bekerja di luar kota, saat itulah pasangan suami istri manula ini menikmati kebersamaan mereka. Tak hanya canda dan tawa pastinya, akan tetapi perselisihan pun akhirnya kerap kali terjadi. Hal inilah yang terjadi hingga berujung pada perceraian. Tanpa ikatan emosional, hubungan terasa hambar.

Seiring berjalannya waktu, seseorang bisa saja berubah cara pandang, minat dan gaya hidup, bahkan tujuan hidupnya. Perubahan itu membuat pasangannya merasa tidak lagi sejalan. Lupa bahwasanya dahulu saat menikah, mereka telah merajut mimpi dan cita-cita mulia bersama.

Namun masalah komunikasi yang tak terselesaikan, menumpuk dan akhirnya menjadi bom waktu. Pada usia lanjut, mereka berharap sudah saling mengerti satu dengan lainnya. Namun ternyata hal tersebut tak mudah terealisasi. Tetap harus ada yang mengalah dan memperbaiki komitmen dengan kata kunci (password) yang terus diperbaharui.

Belum lagi masalah finansial, yang menimbulkan ketidakamanan, menjadi pemicu retaknya hubungan suami istri ini. Beban ekonomi yang tak kunjung mereda, membuat bahu semakin berat memikul di pundak yang renta. Tanpa bantuan pihak lain, maka dipastikan mereka akan menyerah dan memutuskan untuk berpisah.

Selain berbagai faktor tadi, pasangan manula ini pun dapat berpaling dan tergoda kepada pihak ketiga. Sekularisme yang membiarkan hubungan bebas tanpa batas, menjadikan pasangan ini pun dapat pindah ke lain hati. Usia senja tak berarti mereka mapan secara emosional, bahkan bisa jadi mereka memiliki segudang alasan yang masuk akal (rasionalisasi) untuk membenarkan tindakan salahnya.

Maka perlu fondasi agama yang kuat, untuk mengembalikan visi dan misi bersama. Bahwasanya pernikahan bukanlah semata-mata bersifat duniawi belaka: pada anak, kekuatan ekonomi, fisik dan emosi. Akan tetapi jauh melampaui itu, yaitu bersandar kepada rida Allah SWT. Sebab jika seluruh faktor yang bersifat duniawi tadi hilang, maka bangunan rumah tangga pun, dipastikan akan goyah.

Solusi Islam

Meskipun pasangan gray ini telah lanjut usia, namun mereka tetap memiliki naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani (hajatul udhawiyah) yang harus dipenuhi. Dan pemenuhannya pun tak boleh menyelisihi syariat. Maka hal ini harus menjadi perhatian kita, bahwasanya pasangan senior ini, bisa saja salah mengambil solusi. Sebab sejatinya, hak dan kewajiban mereka sebagai hamba Allah, tetap melekat di dalam diri mereka.

Pun mereka perlu menyadari bahwa pernikahan adalah sebagai ibadah. Islam memandang bahwa dalam pernikahan terdapat mitsaqan ghalizha (ikatan yang kokoh), yang merupakan pengikat untuk meraih rida Allah, bukan hanya sekadar soal hati dan cinta. Kesadaran ini membuat pasangan akan bertahan dari riuh ramainya badai yang mendera rumah tangga mereka.

Maka dari sini akan muncul pula pemahaman yang benar, sikap yang tepat, yaitu saling jaga, yang berlandaskan ketaatan kepada Allah, agar kasih sayang tetap ada di sepanjang usia.

Rasulullah ﷺ menekankan mu’asyarah bil ma’ruf (bergaul dengan baik). Maka pasangan usia senja pun tetap dianjurkan saling canda, memberi perhatian, dan menunjukkan kasih sayang. Sikap baik terhadap akan menjadi teladan bagi anak-anak dan orang-orang di sekitar mereka.

Dapat pula menghidupkan suasana rumah dengan ibadah bersama seperti salat berjamaah, tilawah, hadir di majelis ilmu, berdiskusi tentang fakta kekinian kemudian membuat komparasi dengan kondisi di masa Rasulullah dan kepemimpinan setelahnya, atau bergabung dengan organisasi dakwah, dan terjun dalam aktivitas perubahan.

Islam menganjurkan untuk saling mengingatkan dan tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, menguatkan, memperbaiki dan menutupi kekurangan pasangan, serta menyelaraskan langkah untuk mencapai visi misi kehidupan.

Rumah tangga yang dibangun di atas ketaatan akan lebih tahan uji. Mereka pun bahkan berada di posisi terdepan dalam barisan perubahan. Maka hal ini menjadikan mereka disibukkan dengan aktivitas baru. Jika dahulu mereka fokus kepada anak, maka kini mereka bersama anak-anak yang telah dewasa, bersama-sama memusatkan perhatian pada urusan umat.

Tak hanya itu, masyarakat dan negara mendukung ketahanan keluarga. Masyarakat melakukan muhasabah, amr ma'ruf nahy munkar, menasehati saat keluarga mulai tampak limbung. Sedangkan negara menjadi institusi yang menerapkan syariat, mengambil langkah tegas melalui penerapan hukum Allah di dalam tatanan kehidupan.

Ketika Islam kaffah ditegakkan, saat itulah seluruh masyarakat merasakan rahmatnya. Konflik akibat finansial atau orang ketiga, keempat dan seterusnya, tak akan ada lagi. Seluruh komponen penyebab perceraian akan dihilangkan oleh kekuatan negara. Islam menjaga ketakwaan individu, masyarakat dan juga negara. Sehingga pernikahan bisa tetap kokoh sampai usia senja.

Sosok Umar bin Khaththab dan Ummu Kulthum binti Ali bin Abi Thalib adalah keteladanan menjaga usia pernikahan meski keduanya berbeda usia yang jauh. Namun Islam menjadi fondasi rumah tangga mereka sehingga pernikahan tersebut diliputi sikap hormat dan penuh rasa tanggung jawab.

Imam Asy-Syafi’i pun memiliki istri yang setia. Ia sering bepergian untuk menuntut ilmu dan dakwah dan sang istri sabar mendukung perjuangannya, meski jarang ditemani. Mereka bertahan bukan karena kenikmatan duniawi, melainkan karena dorongan takwa. Sebab dukungan pasangan pada perjuangan agama akan semakin menguatkan jalinan cinta kasih.

Pun terdapat sebuah riwayat, tatkala seorang tabi’in terus merawat istrinya yang lumpuh bertahun-tahun, dengan penuh kasih. Ketika ditanya, ia menjawab: “Aku menikahinya karena Allah, maka aku merawatnya juga karena Allah.”

Inilah kisah pernikahan yang dirajut oleh hukum Allah, tak lekang oleh panas dan tak lapuk karena hujan. Pernikahan yang berlandaskan ibadah akan kokoh saat menghadapi ujian, bahkan ketika pasangan tidak lagi seindah di masa mudanya. Islam mengajarkan bahwa cinta sejati bukan hanya perlu ditumbuhkan di masa muda, tapi juga harus dipelihara sampai tua. Awtsaqu ghural iimanil, hubbu fillaahi wal bughdhu fillaahi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image