Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Brilliantika Nur Aini Ibrahim

Fatherless di Indonesia: Apakah Kehilangan Peran Ayah Penyebab Kehilangan Arah?

Humaniora | 2025-09-12 12:07:13

Fenomena fatherless menjadi faktor pendorong ketidakseimbangan kondisi psikologis dan sosial seseorang. Sangat disayangkan bahwa fenomena tersebut kerap dianggap seperti angin lalu oleh masyarakat Indonesia. Fenomena fatherless merupakan keadaan ketika seorang anak kehilangan peran ayah dalam hidupnya.

Banyak yang mengira bahwa ketidakhadiran peran ayah dalam proses tumbuh kembang anak hanyalah persoalan biasa sebuah keluarga, padahal dampaknya dapat menembus batas yang kita kira dan menjelma menjadi masalah publik yang berhubungan dengan kualitas generasi bangsa. Kehadiran ayah sejatinya merupakan kunci pelengkap dalam proses perkembangan anak, baik secara psikologis maupun sosialnya.

Di tengah ramainya permasalahan di masyarakat kita, masih saja melekat pandangan lama seperti: “Ayah hanya perlu mencari nafkah, sedangkan Ibu harus menanggung segala urusan anak.”

Ungkapan ini sudah bukan hanya keliru, tetapi juga memperkuat cengkeraman budaya patriarki di masyarakat Indonesia. Pandangan tersebut menempatkan ibu di posisi seolah-olah memiliki tanggung jawab penuh terhadap anak, mulai dari masa mengandung hingga mendidik mereka menjadi dewasa. Padahal, peran ayah jauh lebih luas dari sekadar pencari nafkah. Ayah memiliki peran aktif dalam pembentukan karakter, kepribadian, dan ketahanan mental seorang anak. Sayangnya, banyak anak di Indonesia yang saat ini hanya memiliki figur ayah secara biologis, tetapi kehilangan sosok teladan, pemberi dukungan, serta pemberi rasa aman yang seharusnya bisa didapatkan.

Selain faktor budaya patriarki, tingginya angka perceraian di Indonesia juga mengambil peran penting dalam terbentuknya fenomena fatherless ini. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2022 terdapat lebih dari 516 ribu kasus perceraian, sementara pada 2024 tercatat hampir 400 ribu kasus. Perceraian bukan hanya memutus hubungan suami-istri saja, tetapi juga berpotensi menempatkan anak pada ujung jurang. Hal itu karena dalam banyak kasus, hak asuh anak lebih sering jatuh ke ibu sehingga peran ayah menjadi terbatas hanya pada pemberian nafkah saja.

Data Susenas 2021 menguatkan hal ini, yaitu sekitar 7,04 persen anak usia 0-5 tahun hanya tinggal bersama ibu, dan total hampir 3 juta anak di Indonesia hidup tanpa sosok ayah. Meski secara hukum ayah tetap memikul tanggung jawab, tetapi kehadiran fisik maupun emosional mereka berkurang drastis atau bahkan mulai menghilang. Pada akhirnya, tidak sedikit anak yang tumbuh tanpa figur ayah yang utuh.

Padahal kontribusi ayah tidak bisa dipandang remeh pada kasus fenomena ini. Kehadiran ayah sangat diperlukan untuk memberi pengetahuan tentang pemecahan masalah, membekali nilai hidup untuk masa depan anaknya, serta mengajarkan makna tanggung jawab. Hal-hal sederhana, seperti menemani anak bermain hingga memberikan nasihat saat menghadapi persoalan hidup dapat berpotensi menumbuhkan ikatan emosional yang kuat antara ayah dan anak.

Ketika peran seorang ayah menjadi kosong, dampaknya terbilang sangat serius. Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi fatherless lebih mudah mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi, mudah terjebak dalam keinginan untuk melakukan kenakalan remaja, hingga menghadapi krisis identitas, terutama bagi anak laki-laki yang kehilangan figur maskulinnya. Tidak sedikit pula yang mengalami depresi, hubungan yang buruk dengan pasangannya, dan kerentanan dalam membangun keluarga di masa depan. Dengan kata lain, fatherless bukan hanya soal ketiadaan sosok ayah, tetapi juga ancaman nyata terhadap kesehatan psikologis generasi mendatang.

Melihat dampak buruk tersebut, sudah sewajarnya masyarakat lebih melek terhadap pentingnya posisi ayah dalam sebuah keluarga. Kasih sayang ibu memang sangat besar, tetapi tidak bisa menggantikan sepenuhnya peran ayah. Anak membutuhkan figur keduanya untuk tumbuh seimbang, baik dari sisi emosional maupun sosial.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Ada beberapa langkah yang bisa diupayakan untuk menekan angka terjadinya fenomena ini. Pertama, mengubah pola pikir patriarki yang menganggap ayah hanya bertugas mencari nafkah. Kedua, menggencarkan edukasi dan kampanye publik tentang pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Ketiga, memperkuat akses konseling keluarga, terutama bagi pasangan yang menghadapi konflik rumah tangga, agar perceraian tidak selalu menjadi jalan keluar. Hal-hal itulah yang akan memperluas peluang bagi anak untuk berkembang dengan baik.

Fatherless adalah luka senyap yang sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat, padahal dampaknya bisa menjadi bencana sosial di masa depan. Dengan adanya kesiapan dalam komitmen antara peran ayah dan peran ibu secara seimbang, besar harapan agar anak dapat tumbuh dengan menerima segala kebutuhan yang ada, baik kebutuhan fisik maupun mental. Jangan biarkan generasi muda menjadi generasi yang di selimuti kabut hitam karena kurangnya dalam menerima kebutuhan psikologis.

Biodata Penulis
Nama : Brilliantika Nur Aini Ibrahim
Profesi : Mahasiswa PDB 82, Universitas Airlangga
Kontak : brilliantikaa.nuraini@gmail.com

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image