Tingginya Angka Perceraian di Jawa Timur
Gaya Hidup | 2024-12-03 08:41:13
Perceraian merupakan putusnya ikatan dalam hubungan suami istri yang berarti putusnya hukum perkawinan sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami istri dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga. Proses ini merupakan akhir formal dari sebuah ikatan pernikahan dan sering kali disertai dengan dampak emosional, sosial, dan ekonomi yang signifikan bagi semua pihak yang terlibat. Sehingga, perlu adanya penanganan yang baik dan perhatian khusus dari pemerintah apabila jumlah kasus perceraian terlalu masif dan melebihi batas normal.
Perceraian menjadi salah satu fenomena sosial yang terus meningkat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 22 Februari 2024, jumlah perceraian di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 463.654 kasus. Provinsi Jawa Timur menjadi penyumbang kasus perceraian terbanyak setelah Jawa Barat dengan jumlah mencapai 88.213 kasus, 24.113 di antaranya adalah cerai talak, sementara 64.100 lainnya adalah cerai gugat. Jumlah tersebut telah mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni mencapai 102.065 kasus. Informasi dari Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, pada 2023, Kabupaten Malang menjadi penyumbang kasus cerai terbanyak dengan 7.024 putusan. Diikuti Kota Surabaya dengan 6.000 putusan, Jember 5.864 putusan, dan Banyuwangi dengan 5.231 putusan.
Tingginya kasus perceraian yang terdapat di Indonesia, khususnya wilayah Jawa Timur dipicu oleh berbagai faktor. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur menunjukkan bahwa lebih dari 35.900 kasus perceraian dipicu oleh perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus. Sementara faktor penyebab perceraian yang lain adalah faktor ekonomi, zina, judi, pernikahan dini, perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus, meninggalkan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain sebagainya. Penelitian oleh Nur Bainah juga menyebutkan bahwa pasangan yang berusia muda sewaktu menikah dan berpendidikan rendah, lebih mudah mengambil keputusan untuk bercerai. Hal tersebut disebabkan karena usia yang muda dan belum matang dalam membina rumah tangga dan pendidikan yang rendah membuat pasangan muda lebih mengikuti emosi daripada rasio dan kurang mempertimbangkan akibat-akibat dari perceraian itu sendiri.
Perceraian merupakan hal yang tidak mudah dan memiliki berbagai dampak yang merugikan. Dampak buruk dari perceraian tidak hanya dirasakan oleh pasangan suami istri yang terlibat, namun juga oleh keluarga dan anak-anak. Hal tersebut membawa pukulan berat yang akan menghancurkan mental, hubungan dan kehidupan anak. Perceraian orang tua akan merampas perlindungan dan ketentraman anak-anak yang masih kesulitan dalam menentukan arah hidup, membuat anak menjadi kehilangan arah.
Sangat disayangkan, anak-anak yang seharusnya fokus untuk belajar, justru harus merasakan dampak buruk dari sebuah perceraian. Perceraian dapat menimbulkan perasaaan negatif yang tentu saja sangat merugikan, khususnya dalam hal pergaulan maupun pekerjaan. Anak bisa merasa sangat tertekan, stress ataupun depresi. Perasaan tertekan seperti inilah yang membuat anak menjadi lebih tertutup, jarang bergaul dan prestasi sekolahnya menurun. Namun, anak sebagai korban perceraian tidak selalu menjadi pendiam, terkadang justru muncul sikap pemberontak. Jiwa labil seorang anak yang sedang depresi bisa menggiringnya ke dalam pergaulan bebas, narkoba atau bahkan kriminal.
Perlu diingat bahwa setiap masalah pasti memiliki solusi dan jalan keluar, begitu pula dengan perceraian. Menurut saya, suatu perceraian dapat dihindari bahkan sebelum membina hubungan rumah tangga. Kedua belah pihak harus memahami bahwa dalam pernikahan terdapat banyak permasalahan yang akan terjadi kedepannya. Selanjutnya, komunikasi dan komitmen. Pasangan harus mengusahakan untuk selalu terbuka dan menghargai pendapat satu sama lain. Pasangan juga perlu membangun rasa percaya satu sama lain. Dengan adanya rasa percaya serta transparansi dalam hubungan, pasangan mampu menghadapi suka dan duka dalam bahtera rumah tangga dengan lebih mudah.
Selain itu, pasangan perlu membangun keterbukaan finansial yang dapat dimulai dengan membuat susunan anggaran pendapatan dan pengeluaran serta hutang di dalam keluarga. Selanjutnya, yang paling penting, yaitu menjadikan agama sebagai dasar dalam membangun rumah tangga. Agama tentu mengajarkan untuk saling mengasihi dan menjaga hubungan rumah tangga tetap utuh hingga ajal memisahkan. Perintah dalam agama harus menjadi aspek penting dalam mempertimbangkan sebuah perceraian.
Pemerintah juga perlu menaruh perhatian khusus pada kasus perceraian yang terus-menerus terjadi. Salah satu penyebab utama terjadinya perceraian adalah faktor ekonomi. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi yang kurang merata. Pemerintah harus mampu memberdayakan masyarakat dengan membuka lapangan pekerjaan maupun memberikan sosialisasi terkait UMKM serta usaha-usaha yang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat itu sendiri. Pemerintah juga harus merangkul para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang juga menjadi pihak yang sering terlibat dengan kasus perceraian. Pemerintah perlu memberikan pembekalan mental dan spiritual terhadap calon TKI. Pemerintah juga dapat memberikan penyuluhan yang dibantu tokoh agama sehingga mampu meminimalisir kasus perceraian pada TKI.
Upaya pencegahan perceraian serta perbaikan psikologi anak akibat perceraian orang tua sejalan dengan prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs bertujuan untuk menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang inklusif dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sesuai dengan SDGs nomor 16, yakni Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh, pemerintah harus terlibat aktif dan langsung dalam mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif, menyediakan akses keadilan untuk semua dan membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan untuk pembangunan berkelanjutan. Dampak buruk perceraian terhadap psikologi anak dapat dilihat dari segi sikap anak yang semakin memberontak dan mengarah kepada pergaulan bebas. Hal ini harus segera ditangani dalam kerangka SDGs, sebagaimana prinsip utama SDGs yang tidak menginginkan seorangpun tertinggal.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.