Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Maryam Sakinah

Job Hugging, Naluri Survival Pekerja di Era Krisis

Kolom | 2025-09-29 09:52:57

Di tengah dinamika dunia kerja yang kian cepat, istilah job hopping atau berpindah-pindah pekerjaan sudah lama dikenal sebagai strategi karier. Dengan melompat dari satu kantor ke kantor lain, mereka berharap memperoleh pengalaman baru, kenaikan gaji, atau posisi yang lebih bergengsi. Namun, di balik tren ini, muncul fenomena sebaliknya, yakni job hugging. Para pekerja justru memilih bertahan, meski pekerjaan itu tidak lagi mereka minati.

image credit: MetaAI

Fenomena ini kini menjadi tren global. Di Indonesia maupun Amerika Serikat, job hugging tumbuh subur. Penyebabnya adalah ketidakpastian ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan melambatnya pertumbuhan ekonomi membuat banyak orang enggan mengambil risiko. Bagi mereka, meninggalkan pekerjaan sama artinya dengan menantang nasib di pasar kerja yang semakin suram. Alih-alih mendapatkan kerja yang lebih bagus, mereka bisa terdampar menjadi salah satu pengangguran.

Job hugging bukan hanya melanda para pekerja kantoran saja, tetapi kalangan banyak sarjana ikut terjebak. Lulusan perguruan tinggi yang mestinya penuh optimisme justru dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah mereka akan menerima pekerjaan serabutan yang jauh dari bidang keahlian atau menjadi pengangguran terdidik. Situasi ini menunjukkan bahwa pasar kerja tak lagi mampu menyerap tenaga kerja baru, sekaligus gagal menyediakan ruang aktualisasi bagi para profesional.

Seorang Guru Besar UGM menyebut fenomena ini sebagai konsekuensi dari ketidakpastian pasar tenaga kerja. Pekerjaan, kini bukan lagi arena membangun karier, melainkan sekadar pelindung terakhir dari risiko menganggur. Loyalitas profesional bergeser, digantikan oleh naluri bertahan hidup.

Fenomena job hugging ini sejatinya membuka borok kapitalisme global. Sistem ekonomi yang diagungkan sebagai mesin pertumbuhan ternyata gagal menjamin hak dasar rakyat: memperoleh pekerjaan yang layak. Kapitalisme justru memindahkan tanggung jawab negara ke tangan swasta, menjadikan hubungan kerja sebatas transaksi untung-rugi. Pekerja kehilangan martabatnya, direduksi menjadi sekadar angka dalam neraca perusahaan.

Ketidakadilan kian nyata ketika sumber daya alam dilegalkan untuk dikuasai segelintir kapitalis. Mayoritas rakyat dibiarkan hidup dalam ketidakpastian. Ekonomi finansial yang berbasis riba dan spekulasi menghasilkan keuntungan semu, namun minim kontribusi pada sektor riil yang sesungguhnya mampu menciptakan lapangan kerja. Ditambah lagi, liberalisasi perdagangan jasa menjadikan negara semakin lepas tangan. Alih-alih melindungi warganya, negara justru membiarkan rakyat bertarung sendirian dalam arena global.

Maka tak heran bila banyak pekerja akhirnya memilih bertahan dalam pekerjaan yang tak lagi memberi semangat. Bagi mereka, job hugging lebih aman ketimbang menghadapi risiko menganggur dalam sistem ekonomi yang rapuh. Fenomena ini bukan sekadar pilihan personal, melainkan refleksi kegagalan sistemik kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan.

Berbeda dengan kapitalisme yang abai, Islam menawarkan solusi yang lebih mendasar. Dalam pandangan Islam, negara adalah penanggung jawab utama urusan rakyat. Ia wajib memastikan kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi, termasuk kebutuhan akan pekerjaan. Negara tidak boleh menyerahkan urusan ini kepada mekanisme pasar. Sebaliknya, negara harus hadir langsung, mengelola sumber daya alam secara mandiri, mengembangkan industri sesuai kebutuhan domestik, membuka lahan tidur agar produktif, hingga menyediakan modal dan pelatihan keterampilan bagi rakyatnya.

Lebih jauh, pendidikan dalam Islam tidak semata berorientasi pada pasar tenaga kerja. Ia dibingkai dengan nilai keimanan, menanamkan kesadaran bahwa bekerja bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga ibadah. Dengan begitu, motivasi kerja tidak sebatas materi, melainkan juga spiritual. Pelayanan publik pun dilakukan bukan demi pencitraan, melainkan sebagai bentuk ibadah negara kepada Allah melalui pengurusan rakyat.

Fenomena job hugging pada akhirnya harus dibaca sebagai alarm keras. Ia bukan hanya masalah psikologis atau strategi individu, melainkan gejala rapuhnya sistem kapitalisme global. Selama sistem ini dipertahankan, para pekerja akan terus dihantui rasa takut kehilangan pekerjaan, lulusan perguruan tinggi akan terus berhadapan dengan pengangguran, dan pasar kerja akan tetap dipenuhi ketidakpastian.

Perubahan paradigma menjadi keniscayaan. Kapitalisme telah membuktikan kegagalannya. Islam, melalui sistem Khilafah, menghadirkan solusi komprehensif: negara yang benar-benar hadir sebagai pelayan rakyat, menjamin distribusi ekonomi yang adil, membuka lapangan kerja produktif, dan menjaga martabat manusia. Sebuah sistem yang bukan hanya menyejahterakan secara materi, tetapi juga menenteramkan secara ruhani.

Dengan demikian, job hugging tidak boleh dianggap sekadar strategi bertahan hidup, melainkan sinyal bahwa sudah waktunya kita meninjau ulang fondasi sistem ekonomi yang ada. Jalan keluar sesungguhnya adalah perubahan total, dari kapitalisme yang rapuh menuju Islam yang menyejahterakan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image