Muhammadiyah Sumbar dari Dakwah Konvensional menuju Inovasi Dakwah Digital (Sebuah Laporan Riset Tentatif)
Agama | 2025-09-29 08:56:58A. Sejarah Muhammadiyah dari Yogyakarta menuju Sumatera Barat
Ketika kita berbicara tentang Islamisasi Jawa, sering kali kata Islam digunakan secara umum, seolah ia adalah sebuah gelombang besar yang menyapu masyarakat. Padahal, sebagaimana diingatkan sejarawan A.H. Johns, Islam bukanlah abstraksi, melainkan jaringan kompleks yang penuh dinamika dan ketegangan. Kasus Kotagede, sebuah kota tua di Daerah Istimewa Yogyakarta, memberikan gambaran bagaimana Islamisasi berlangsung sebagai proses yang terus bergerak, bukan hanya peristiwa masa lalu.
Studi tentang Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta menunjukkan bahwa gerakan ini bukan sekadar organisasi modern, melainkan kelanjutan dari proses panjang Islamisasi di Jawa. Kehadirannya menghubungkan perubahan sosial, ekonomi, dan politik dengan transformasi tradisi keagamaan lokal. Muhammadiyah tidak hanya menyalurkan ajaran Islam ortodoks, tetapi juga mengubah wajah praktik keagamaan masyarakat agar semakin dekat dengan nilai-nilai normatif Islam (Nakamura, 2012).
Perdebatan seputar kapan dan bagaimana Islam masuk ke Jawa memang telah lama menyita perhatian sejarawan. Namun, penelitian lapangan di Kotagede memberi perspektif baru bahwa Islamisasi bukan hanya persoalan masa lalu, melainkan juga proses berulang yang terus hidup hingga hari ini. Islamisasi yang sedang berlangsung mencerminkan kesadaran umat Islam sendiri untuk kembali kepada standar ortodoksi, baik dalam ibadah maupun moralitas.
Dalam sejarah Islam Jawa, gelombang kebangkitan keagamaan berulang kali muncul dalam berbagai bentuk organisasi. Pada abad ke-20, Muhammadiyah menjadi salah satu yang paling berpengaruh. Didirikan pada 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah berkembang pesat melalui pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial. Dengan memilih jalur non-politik di masa kolonial, gerakan ini berhasil membangun basis yang kokoh di tengah masyarakat.
Kotagede sendiri memiliki posisi istimewa dalam sejarah Jawa. Kota ini dulunya merupakan pusat kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16, sebelum keraton berpindah ke lokasi lain. Warisan sebagai tanah pusaka leluhur dan pusat perdagangan membuat Kotagede tumbuh sebagai kota urban Jawa yang unik yaitu perpaduan antara tradisi keraton, religiusitas, dan ekonomi lokal.
Di sinilah Muhammadiyah menemukan tanah subur. Pada 1910-an, sebuah organisasi lokal bernama Syarekatul Mubtadi didirikan untuk memperdalam ajaran Islam. Organisasi ini kemudian bergabung dengan Muhammadiyah pada 1923, menjadikan Kotagede sebagai salah satu cabang awal yang berpengaruh. Sejak itu, Muhammadiyah di Kotagede tumbuh pesat, dari puluhan anggota menjadi hampir seribu orang pada awal 1970-an, di tengah populasi sekitar 15 ribu.
Prestasi Muhammadiyah Kotagede sangat terlihat dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Pada 1972, mereka telah mendirikan taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah agama, poliklinik, hingga radio dakwah. Muhammadiyah juga mengubah tradisi keagamaan warga, dari perayaan ritual tahunan hingga doa harian, menjadikannya lebih sesuai dengan ajaran Islam normatif. Bagi banyak warga, Islam mengalami transformasi mendalam dibanding generasi leluhur mereka.
Pengaruh Muhammadiyah Kotagede tidak hanya lokal, tetapi juga nasional. Banyak kadernya menempati posisi penting, mulai dari Kementerian Agama hingga lembaga pendidikan Islam di seluruh nusantara. Kotagede melahirkan dokter, insinyur, dosen, hingga ulama, yang sebagian besar berasal dari keluarga Muhammadiyah. Hal ini membuat cabang Kotagede dianggap sebagai salah satu yang paling aktif dan berpengaruh di lingkaran Muhammadiyah (Nakamura, 2012).
Fenomena Kotagede sering disebut sebagai revolusi Islam lokal, sebuah ledakan sosial-intelektual yang mengguncang wajah keagamaan masyarakat Jawa. Meski tidak unik karena ada banyak perkembangan serupa di kota-kota lain di Jawa, kasus Kotagede memberi pelajaran penting tentang bagaimana Islamisasi modern berlangsung yaitu melalui pendidikan, layanan sosial, dan pembaruan tradisi. Dari sini kita bisa melihat pola transformasi Islam di Indonesia, yang berakar lokal namun memiliki gema nasional.
Sementara perkembangan Muhammadiyah di Sumatera Barat tak kalah menariknya. Menurut HAMKA (1974), Muhammadiyah di Minangkabau memiliki sejarah yang unik sejak era kolonial di awal abad 20 karena hadir di tanah yang sangat kental dengan adat dengan formasi aktor terdiri atas Ninik-Mamak (kaum adat), Alim-Ulama (agamawan), Cerdik-Pandai (intelektual) dan Manti-Dubalang (birokrat-sekuriti).
Berkembangnya Muhammadiyah sebagai organisasi massa dan gerakan dakwah secara pesat sejak 1925 di Sumatera Barat tidak serta-merta menimbulkan benturan frontal dengan tradisi lokal. Justru, Muhammadiyah berusaha mencari jalan tengah, mengedepankan pendidikan, dakwah, dan amal sosial sebagai medium penerimaan masyarakat yang kental dengan budaya demokrasi yang egaliter (Bachtiar, wawancara 17 September 2025).
Muhammadiyah di Minangkabau sesungguhnya rangkaian gerakan pembaharuan (tajdid) di Sumatera Barat. Periode pertama, adalah gerakan Paderi (1803-1837), periode kedua, adalah gerakan Sumatra Thawalib 1918, dan periode ketiga, gerakan Muhammadiyah 1925 (HAMKA, 1974).
Sejak awal, ulama ideolog Muhammadiyah seperti Sutan Mansur berdakwah dengan santun, tidak banyak membahas persoalan khilafiah, dan menampilkan sikap menghormati ninik-mamak sebagai pemangku adat. Hasilnya, banyak ninik-mamak mendukung Muhammadiyah. Mereka tidak menolak adat secara total, melainkan menyeleksi mana yang sejalan dengan Islam, dan mana yang harus ditinggalkan. Pendekatan ini menunjukkan keluwesan Muhammadiyah dalam mengelola relasi agama dan budaya di Minangkabau. Muhammadiyah memilih jalan bijak, tidak konfrontatif, melainkan terus memperluas pengaruh lewat pendidikan dan amal usaha.
Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi pada 1930 menjadi tonggak penting. Dari sana, Muhammadiyah Minangkabau tampil sebagai kekuatan besar umat, bahkan melampaui organisasi Islam lainnya. Di kongres ini, Haji Rasul dan HAMKA berpidato. Haji Rasul menekankan perlunya iman dan amal berpadu, melawan kezaliman dan memahami bahwa watak kafir bisa menjangkiti siapa pun dari kulit putih dan kulit berwarna. Sedangkan, HAMKA berpidato menyatakan bahwa agama dan adat budaya Minangkabau tak bisa dipisahkan.
Di kongres ini juga menjadi ajang diskusi tentang penegasan sikap politik Muhammadiyah mengeritik kebijakan hari libur di Bulan Ramadhan oleh pemerintah kolonial. Di jaman kolonial, Muhammadiyah di Minangkabau dianggap pemerintah kolonial relatif kritis.Ketika akan Kongres di Bukittinggi 1930, Muhammadiyah dalam catatan HAMKA (1974) telah memiliki 27 tempat, cabang dan grup.
Hamka menegaskan bahwa hubungan Muhammadiyah dengan adat tidak pernah benar-benar retak. Pepatah Minangkabau “cupak sepanjang betung, adat sepanjang jalan” menjadi dasar harmonisasi bahwa adat itu lentur, bisa menyesuaikan dengan zaman, selama tidak bertentangan dengan syariat. Maka, Muhammadiyah tumbuh seiring adat, tidak menggantikannya, tetapi menafsirkannya ulang.
Muhammadiyah di Minangkabau bukan sekadar gerakan pembaruan agama, tetapi juga jembatan antara Islam modernis dengan adat lokal. Ia menjadi contoh bagaimana sebuah gerakan reformis bisa berakar dalam tradisi, tanpa kehilangan visi transformatifnya. Muhammadiyah Minangkabau, dengan amal sosial dan pendidikan, tetap menjadi penopang penting bagi kehidupan keagamaan dan kebudayaan Sumatra Barat.
B. Wajah Pembaharuan Agama Muhammadiyah Sumbar
Ketika Muhammadiyah masuk ke Minangkabau pada awal abad ke-20, ia tidak datang ke ruang kosong. Minangkabau adalah tanah yang telah kaya dengan tradisi adat dan ulama, di mana pepatah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah menjadi landasan sosial. Namun, sebagaimana dijelaskan Hamka (1974), kehadiran Muhammadiyah menawarkan angin segar berupa gerakan pembaruan (tajdid) yang mengajak masyarakat kembali pada Islam murni, sembari mengkritisi praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan takhayul, bid’ah, dan churafat.
Gerakan Muhammadiyah di Minangkabau menemukan momentumnya karena masyarakatnya sudah memiliki tradisi intelektual yang kuat. Sejak abad ke-19, Minangkabau dikenal dengan surau-surau sebagai pusat pendidikan Islam. Namun, menurut Hamka, surau tradisional sering terjebak pada pengajaran fikih klasik tanpa menyentuh aspek modernitas. Muhammadiyah lalu hadir dengan membawa model pendidikan baru berbasis sekolah modern, kurikulum sistematis, dan penguasaan ilmu pengetahuan umum, sebuah gebrakan yang membedakannya dari pola lama.
Salah satu daya tarik utama Muhammadiyah di Minangkabau adalah kepeduliannya terhadap pendidikan perempuan. Hamka menegaskan bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah mendorong lahirnya sekolah perempuan, sebuah hal yang revolusioner pada masanya. Perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai penjaga rumah tangga, tetapi juga diberikan ruang berpendidikan agar dapat berperan dalam kemajuan umat. Kebijakan ini sejalan dengan semangat modernisme Islam dan cocok dengan budaya Minangkabau yang menganut sistem matrilineal.
Namun, hubungan Muhammadiyah dengan adat Minangkabau tidak selalu harmonis. Di satu sisi, Muhammadiyah menyetujui prinsip adat basandi syarak. Tetapi di sisi lain, ia mengkritik unsur adat yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya, tradisi kenduri kematian atau praktik syirik halus yang berkembang di sebagian nagari. Ketegangan ini, menurut Hamka, tidak jarang melahirkan perdebatan panjang antara ulama Muhammadiyah dengan tokoh adat maupun kelompok Islam tradisional.
Kritik Muhammadiyah terhadap adat bukanlah untuk menghancurkan budaya Minangkabau, melainkan untuk menyucikan adat dari unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syariat. Hamka menyebut bahwa tokoh-tokoh Muhammadiyah berusaha menghidupkan kembali ruh Islam yang murni agar adat tetap berjalan dalam koridor syarak. Dengan cara itu, Muhammadiyah justru ikut memperkuat identitas Minangkabau sebagai daerah yang Islami, bukan sekadar tradisional.
Di bidang sosial, Muhammadiyah di Minangkabau menonjol melalui amal usaha. Lembaga pendidikan, panti asuhan, dan rumah sakit menjadi bukti nyata amal shalih. Hamka menekankan bahwa sejak awal berdiri, Muhammadiyah lebih sibuk membangun sekolah dan rumah sakit daripada berdebat panjang soal politik. Hal ini menjadikan Muhammadiyah dipercaya oleh masyarakat sebagai gerakan yang konkret, bukan sekadar wacana ideologis.
Tantangan politik tidak bisa dihindari. Pada masa pergerakan kemerdekaan, kader Muhammadiyah di Minangkabau turut aktif dalam organisasi nasionalis dan perjuangan melawan kolonialisme. Hamka mencatat bahwa integrasi antara Islam, nasionalisme, dan adat Minangkabau menjadikan Muhammadiyah di ranah ini relatif adaptif. Walau sering dicap puritan, Muhammadiyah mampu menjalin kerja sama strategis dalam rangka perjuangan bangsa.
Salah satu hal penting yang disorot Hamka adalah transformasi generasi muda. Muhammadiyah memberi ruang bagi anak-anak muda Minangkabau untuk belajar di sekolah modern, terhubung dengan wacana internasional, dan kemudian menjadi pemimpin bangsa. Tidak sedikit tokoh nasional lahir dari tradisi ini, di mana semangat tajdid Muhammadiyah berpadu dengan militansi budaya Minangkabau yang terkenal kritis dan egaliter.
Muhammadiyah di Minangkabau adalah contoh unik bagaimana gerakan Islam modernis bertemu dengan adat lokal. Ada tarik-menarik, ada ketegangan, tetapi juga ada titik temu yang memperkaya keduanya. Muhammadiyah berhasil memperkuat pendidikan, mengubah wajah keagamaan masyarakat, dan pada akhirnya ikut mengawal identitas Minangkabau sebagai masyarakat yang religius, dinamis, dan modern. Bagi Hamka sendiri, pengalaman Muhammadiyah di Minangkabau adalah bukti bahwa Islam tidak pernah mati di ranah adat, melainkan terus bergerak mencari bentuk terbaiknya.
C. Doktrin Pelayanan Sosial Muhammadiyah
Secara nasional, Muhammadiyah bersama dengan Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan yang aktif melakukan dakwah dan syiar Islam. Keduanya dipandang sebagai dua pilar Islam moderat di Indonesia yang aktif melakukan pelayanan sosial. Namun, persepsi publik sering menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang lebih konservatif, bahkan memiliki kedekatan dengan kelompok Islamis. Labelisasi ini muncul terutama karena sikap Muhammadiyah dalam isu-isu politik dan budaya, di mana ia kerap dipengaruhi oleh warisan penolakannya terhadap isu terkait takhayul, bid’ah, khurafat.
Dalam konteks politik, Muhammadiyah kadang terlihat terjebak dalam retorika Islamisme. Isu pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), perdebatan soal Partai Komunis Indonesia (PKI), serta putusan Mahkamah Konstitusi tentang penghayat kepercayaan pada 2017 menunjukkan bagaimana Muhammadiyah mudah terseret pada kecenderungan konservatif. Namun, organisasi ini memiliki kekuatan internal yang mencegahnya larut dalam politik identitas berlebihan (Burhani, 2019).
Kekuatan perubahan Muhammadiyah terletak pada doktrin pelayanan sosial al-Mā’ūn yaitu ajaran tentang amal sholih atau perbuatan baik yang sejak awal menjadi napas utama Muhammadiyah. Ajaran ini mendorong warganya untuk terjun dalam layanan sosial, bukan sekadar pada simbol dan retorika agama. Maka, di balik stigma konservatif, Muhammadiyah tetap hadir sebagai gerakan sosial yang mengakar pada pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan umat.
Sejak berdiri tahun 1912, Muhammadiyah dikenal dengan amal usaha di bidang sekolah, rumah sakit, hingga panti asuhan. Di titik ini, Muhammadiyah lebih pantas dilihat sebagai gerakan modernis-reformis, bukan semata puritan. Orientasi pada layanan sosial ini membuat Muhammadiyah relatif imun terhadap godaan utopianisme, seperti cita-cita khilafah atau negara Islam sebagai jalan pintas penyelesaian masalah bangsa.
Namun, persoalan budaya tetap menjadi arena yang rumit bagi Muhammadiyah. Penolakannya terhadap TBC membuat hubungan dengan tradisi lokal maupun dengan NU sering kali tegang. Kendati ada upaya dari tokoh progresif untuk melunakkan sikap kultural Muhammadiyah, hasilnya belum sepenuhnya tampak. Muhammadiyah masih berada dalam tarik-menarik antara puritanisme dan kebutuhan adaptasi budaya.
Keragaman internal juga memperlihatkan wajah lain Muhammadiyah. Studi di berbagai daerah menunjukkan variasi identitas warganya. Ada yang disebut MuNU (Muhammadiyah-NU), Marmud (Marhaenis-Muhammadiyah), hingga Krismuha (Kristen-Muhammadiyah). Ragam kategori ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah bukanlah monolit, melainkan rumah besar dengan spektrum identitas yang luas.
Di sinilah konsep Islamisme pragmatis Muhammadiyah relevan dipahami. Ketika menghadapi isu-isu kontroversial, Muhammadiyah berusaha menjaga posisi dominasi Islam di ruang publik, tetapi tetap diimbangi dengan komitmen pada demokrasi dan rasionalitas sosial. Artinya, Muhammadiyah memang sesekali condong ke Islamisme, tetapi dengan kalkulasi realistis dan tidak menolak keberagaman sepenuhnya.
Dominasi doktrin al-Mā’ūn berfungsi sebagai jangkar moral yang mencegah Muhammadiyah jatuh ke fundamentalisme. Ajaran ini menanamkan kebiasaan melayani, mendidik, dan merawat, sehingga setiap anggota yang aktif di bidang sosial mendapat penghormatan luar biasa dalam komunitas. Dari situlah, Muhammadiyah membangun habitus sosial yang berkelanjutan dan humanis (Burhani, 2019).
Dalam pemikiran Buya Yos, salah satu petinggi Muhammadiyah Sumbar (wawancara, 23 September, 2025), dinamika Muhammadiyah termasuk di Sumatera Barat menggambarkan sebuah organisasi Islam besar yang terus bernegosiasi dengan zaman. Ia mungkin terbelah dalam isu-isu politik dan budaya, tetapi layanan sosial tetap menjadi wajah otentiknya. Di tengah polarisasi agama dan politik di Indonesia, Muhammadiyah menunjukkan bahwa amal sholih berbasis al-Mā’ūn adalah kunci untuk menjaga relevansi, sekaligus meneguhkan Islam yang membumi, toleran, rasional dan penuh kepedulian.
E. Menuju Inovasi Dakwah Digital
Keberhasilan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan pembangunan terlihat pada dekade 1970–1980-an. Situasi politik nasional pasca peristiwa G30S/PKI menciptakan ruang baru bagi agama, termasuk Muhammadiyah, untuk tampil lebih kuat. Di Kota Gede, Muhammadiya mulai berjaya, sedang di Sumatera Barat, Muhammadiyah semakin mengakar (Hamka, 1974; Nakamura, 2012).
Pertanyaan besar setelah Muhammadiyah mengisi ruang publik sejak 1970-an sampai hari ini adalah sejauh mana proses dakwah Muhammadiyah berhasil? Apakah generasi mereka sekadar menjadi kekuatan penikmat kemapanan atau sebagai kekuatan protes sosial, atau justru berbaur dalam masyarakat luas? Bagaimana Muhammadiyah termasuk di Sumatera Barat beradaptasi dengan era digital? Pertanyaan ini menjadi pekerjaan rumah penting yang belum sepenuhnya dijawab Muhammadiyah hari ini.
Hubungan Muhammadiyah dengan rezim Soeharto juga menarik. Di satu sisi, Orde Baru memanfaatkan Muhammadiyah dalam kampanye anti-ateisme dan anti-komunisme. Namun, di sisi lain, pemerintah juga berusaha membatasi aspirasi politik umat Islam, termasuk dengan menutup pintu bagi kebangkitan Masyumi. Akibatnya, lahirlah tarik-menarik internal Muhammadiyah antara kelompok muda yang ingin politik lebih aktif dan kepemimpinan arus utama yang memilih kompromi.
Di tingkat akar rumput, Muhammadiyah tetap berkembang karena aktivitasnya dipusatkan pada dakwah, pendidikan, dan layanan sosial. Orientasi modernisasi Soeharto yang menekankan kemajuan sejalan dengan spirit tajdid Muhammadiyah. Tetapi, tidak semua kebijakan rezim menguntungkan. Misalnya, dominasi modal asing dan konglomerat Tionghoa menggerus basis ekonomi pribumi yang selama ini menjadi tumpuan sosial Muhammadiyah. Secara keseluruhan Muhammadiyah mampu bertahan sebagai mitra kritis yang loyal sepanjang Orde Baru.
Namun, keberhasilan besar di tahun 1970–1980-an justru melahirkan stagnasi. Pertumbuhan sekolah, rumah sakit, hingga amal usaha menyerap energi aktivis. Para relawan berubah menjadi pegawai, dan organisasi terjebak dalam birokratisasi. Inovasi merosot, wajah kepemimpinan itu-itu saja, dan regenerasi macet. Stagnasi ini makin menguat setelah adanya UU Organisasi Sosial tahun 1984, yang membuat kepemimpinan lama terus bertahan.
Generasi muda Muhammadiyah secara nasional melontarkan kritik melalui forum-forum. Mereka menilai kepemimpinan lokal di berbagai tempat gagal menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Namun, kritik itu sering tak berlanjut karena banyak anak muda merantau atau beralih ke organisasi lain, bahkan ada yang masuk ke PKS atau lembaga non-Muhammadiyah. Akibatnya, regenerasi kepemimpinan tertunda hingga awal tahun 2000-an hingga kini. Hal ini meninggalkan kesenjangan generasi yang dalam.
Era Reformasi membawa Muhammadiyah termasuk di Sumatera Barat pada pusaran politik praktis. Kelahiran PAN disambut sebagai rumah politik Muhammadiyah, meski tidak semua kader sepakat. Ada yang tetap bersama PPP, ada pula yang masuk PK atau kemudian PKS. Bahkan Partai Demokrat ikut merekrut kader Muhammadiyah. Fragmentasi ini melemahkan kohesi internal, tetapi di sisi lain memperluas partisipasi politik masyarakat. Muhammadiyah kemudian memilih menjaga jarak setara dengan semua partai, demi menghindari perpecahan lebih jauh (Nakamura, 2012).
Di era digital kotemporer hari ini ini, Muhammadiyah sedang berbenah diri untuk tetap relevan dan bermanfaat di panggung nasional dan lokal. Dalam pandangan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, Buya Bachtiar (Wawancara, 18 September 2025), Muhammadiyah termasuk di Sumatera Barat menghadapi tantangan besar untuk keluar dari stagnasi, merangkul generasi muda, dan relevan dengan isu-isu kemasyarakatan mulai dari kemiskinan, lingkungan hidup, hingga dakwah digital yang semakin mendesak.
Kuncinya ada di basis akar rumput, dari cabang dan ranting yang menjadi ruang eksperimen sosial. Jika energi inovasi digital ini didukung oleh kepemimpinan yang visioner di berbagai level organisasi Muhammadiyah, Muhammadiyah termasuk di Sumatera Barat dapat terus melangkah di era digital ini sebagai kekuatan moral, sosial, dan budaya yang membawa Islam berkemajuan di abad ke-21.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
