Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mulyadi, S.H., M.H.

Rak Buku Kosong, Kebijakan Kosong

Eduaksi | 2025-09-26 16:16:31
ILUSTRASI RAK BUKU KOSONG

JAKARTA – Di etalase media sosial, kita terbiasa melihat pejabat publik memamerkan kemewahan: mobil baru, jam tangan berkilau, perjalanan glamor. Tapi, ada satu hal yang hampir tak pernah terlihat: tumpukan buku yang sedang atau telah selesai dibaca. Ini bukan sekadar soal selera atau hobi. Ini adalah gejala dari sebuah krisis yang lebih dalam, yang dampaknya kita rasakan setiap hari: krisis kebijakan publik.

Mari kita jujur. Setiap kali kita mengeluh tentang kebijakan yang tambal sulam, aturan yang berubah-ubah, atau proyek triliunan yang gagal total, kita harus berani menunjuk ke akarnya. Kebijakan yang buruk lahir dari pemikiran yang dangkal. Dan pemikiran yang dangkal adalah produk dari pikiran yang jarang diasah oleh bacaan berkualitas.

Indonesia kini berada dalam status "darurat literasi". Peringkat membaca kita konsisten berada di papan bawah dunia. Krisis ini bukan hanya soal anak sekolah yang malas membaca. Krisis ini sudah merayap masuk ke ruang-ruang ber-AC tempat nasib jutaan rakyat ditentukan.

Hasilnya? Proyek ambisius seperti Food Estate yang gagal mencapai tujuan karena miskin kajian. Kebijakan yang dibuat tergesa-gesa hanya karena sebuah isu menjadi viral, bukan karena analisis mendalam. Ini bukan lagi soal salah strategi, ini soal kapasitas berpikir.

Ilmu pengetahuan modern sudah membuktikan, membaca adalah "olahraga otak". Aktivitas ini secara langsung melatih kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan empati, dan membangun visi jangka panjang—syarat mutlak seorang pemimpin. Tanpa "nutrisi" dari buku, otak pengambil keputusan menjadi tumpul.

Sejarah bangsa ini seharusnya menjadi pengingat. Soekarno dan Hatta adalah para pemikir yang melahap buku-buku kelas dunia sebelum memproklamasikan kemerdekaan. B.J. Habibie, yang mendedikasikan 7,5 jam sehari untuk membaca, melahirkan industri pesawat terbang bukan dari angan-angan kosong, melainkan dari penguasaan ilmu yang solid. Mereka adalah bukti hidup bahwa pemimpin besar adalah pembaca yang hebat.

Lalu, apa dalih yang sering kita dengar hari ini?

"Pengalaman lebih penting dari buku." Ini adalah logika yang keliru. Pengalaman tanpa wawasan dari buku adalah pengalaman yang buta. Pemimpin hanya akan mengulang kesalahan yang sama karena wawasannya sempit.

"Cukup baca ringkasan dari staf." Ini lebih berbahaya. Pemimpin yang hanya bergantung pada ringkasan adalah pemimpin yang menyerahkan otaknya untuk dikendalikan orang lain. Ia rentan terhadap informasi yang bias dan kehilangan kemampuan melihat gambaran besar. Ia tak lebih dari seorang manajer, bukan visioner.

Pada akhirnya, kualitas sebuah bangsa adalah cerminan dari kualitas pemikiran para pemimpinnya. Jika rak buku di ruang kerja mereka hanya pajangan berdebu, jangan heran jika solusi untuk masalah-masalah besar bangsa ini juga ikut berdebu dan usang.

Maka, sudah saatnya kita, sebagai publik, mengajukan pertanyaan yang paling mendasar namun paling tajam kepada setiap pejabat:

Buku apa yang terakhir kali Anda baca sampai tuntas?

Jawaban mereka—atau kebisuan mereka—adalah masa depan kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image