Zionis Israel Membungkam Gaza, Boikot Internasional Tak Hentikan Penjajahan
Khazanah | 2025-09-26 11:00:45
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA — Gaza kembali menjadi saksi kebrutalan Israel. Sejak Kamis (18/9/2025), jaringan listrik, internet, dan telekomunikasi di wilayah tersebut diputus total. Pemadaman itu tidak hanya menutup akses komunikasi warga sipil, tetapi juga melumpuhkan koordinasi darurat, distribusi bantuan kemanusiaan, hingga akses media ke dunia luar. Dalam kondisi mencekam ini, ribuan tank Israel digerakkan untuk mengepung kota, sementara jalur Salah al-Din dibuka guna memaksa warga meninggalkan tanah mereka (Tempo, 26/9/2025).
Kebijakan represif Israel langsung menuai kecaman dunia internasional. Belgia mengambil langkah tegas dengan melarang seluruh impor dari Israel. Spanyol mengubah embargo senjata de facto menjadi undang-undang resmi, serta menolak kapal maupun pesawat pembawa senjata Israel singgah di wilayahnya. Norwegia menyatakan akan melakukan divestasi dari perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Israel. Uni Eropa pun berencana memberikan sanksi kepada sejumlah menteri sayap kanan Israel dan menangguhkan sebagian perjanjian dagang (Media Indonesia, 26/9/2025).Gelombang penolakan juga menjalar ke dunia hiburan dan olahraga. Di Hollywood, lebih dari 4.000 seniman dan pekerja kreatif menandatangani seruan boikot terhadap festival, perusahaan, dan penyiaran yang mendukung Israel. Dari dunia olahraga, sejumlah federasi cabang balap sepeda dan catur juga menyatakan sikap serupa. Bahkan, Sekretaris Jenderal PBB mengingatkan masyarakat dunia agar tidak tunduk pada intimidasi dan propaganda Israel (BBC Indonesia, 26/9/2025).Namun, meskipun tekanan semakin meluas, Israel tetap bergeming. Dukungan penuh dari Amerika Serikat membuat negeri zionis leluasa melanjutkan strategi militer dan politiknya. Seperti ditulis oleh sejumlah pengamat geopolitik, pemboikotan internasional sering kali hanya menjadi “lipstik politik” dalam sistem kapitalisme. Di depan publik seakan ada jarak, tetapi di balik layar hubungan ekonomi, militer, dan intelijen dengan Israel tetap berjalan selama ada keuntungan (Tribunnews, 26/9/2025).Tujuan Israel sendiri sudah lama digariskan: membangun “Israel Raya” dengan menjadikan Palestina sebagai pusat kekuasaannya. Pembungkaman komunikasi, pengepungan Gaza, dan serangan demi serangan bukanlah peristiwa sporadis, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk menguasai tanah yang dimuliakan dalam tiga agama samawi (Media Indonesia, 26/9/2025). Dengan kata lain, tragedi Gaza adalah buah dari proyek kolonialisme modern yang dikuatkan oleh aliansi global pro-zionis.Di tengah kondisi demikian, muncul seruan agar dunia Islam tidak lagi berhenti pada kecaman dan diplomasi semata. Sejumlah ulama mengingatkan firman Allah dalam QS al-Maidah ayat 82, bahwa permusuhan Yahudi dan kaum musyrik terhadap kaum Muslimin merupakan kenyataan yang akan selalu ada. Maka, strategi menghadapi zionisme pun tidak bisa sebatas mengandalkan tekanan internasional yang mudah diabaikan Israel.Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, ulama dan pemikir Islam abad ke-20, menegaskan bahwa persoalan Palestina tidak akan pernah selesai dengan kompromi, perundingan, ataupun boikot semata. Dalam salah satu risalah politiknya, beliau menulis: “Palestina hanya bisa dibebaskan dengan kekuatan umat Islam yang bersatu di bawah satu kepemimpinan, yaitu Khilafah. Karena Palestina adalah tanah Islam, maka wajib dibebaskan dengan jihad, bukan dengan diplomasi.” Pandangan ini menunjukkan bahwa solusi sejati tidak terletak pada meja perundingan, tetapi pada persatuan politik dan militer umat Islam.Boikot internasional tentu penting sebagai bentuk solidaritas dan tekanan moral. Namun, jika hanya berhenti pada aksi ekonomi dan diplomasi, hasilnya tidak akan mengubah realitas penjajahan. Gaza tetap dibombardir, rakyat tetap terisolasi, dan Palestina tetap terampas. Karena itu, yang dinanti umat hari ini adalah hadirnya kepemimpinan Islam global yang mampu menjadi perisai bagi kaum Muslimin, sekaligus menegakkan keadilan bagi rakyat Palestina.Sejarah Islam membuktikan, ketika umat bersatu dalam satu kepemimpinan, penjajah dapat diusir dari tanah suci. Dari Perang Hittin yang dipimpin Shalahuddin al-Ayyubi hingga pembebasan berbagai negeri Muslim di masa Khilafah Utsmaniyah, semuanya menunjukkan bahwa kekuatan politik dan militer Islam adalah faktor penentu dalam menghadapi kolonialisme. Maka, mengulang kembali sejarah kejayaan itu bukan sekadar romantisme, tetapi tuntutan zaman yang nyata.Hari ini, umat Islam menghadapi pilihan: terus bergantung pada kecaman dan boikot yang tak menggoyahkan Israel, atau bergerak menuju persatuan hakiki di bawah satu komando kepemimpinan Islam. Hanya dengan Khilafah ala minhajin nubuwah, Gaza, Palestina, dan seluruh umat manusia dapat terbebas dari makar zionisme. Dan hanya dengan jalan itu, tragedi kemanusiaan yang menimpa Palestina bisa benar-benar berakhir.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
