Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ismail Suardi Wekke

Setahun MBG: Evaluasi, Keberlanjutan, dan Transformasi

Politik | 2025-09-26 09:58:47
MBG (Photo Republika)

Program makan siang di sekolah atau 'MBG' (Makan Bergizi) yang sudah berjalan selama setahun terakhir telah menjadi sorotan penting dalam sistem pendidikan kita. Awalnya, program ini didesain untuk memastikan siswa menerima nutrisi yang cukup, yang secara langsung berdampak positif pada konsentrasi dan kinerja akademik mereka.

Namun, implementasinya dalam satu tahun ini menunjukkan baik keberhasilan maupun tantangan yang perlu dievaluasi secara menyeluruh. Termasuk wujudnya pro dan kontra.

Evaluasi Setahun MBG: Pencapaian dan Tantangan

Dalam setahun terakhir, program MBG telah berhasil meningkatkan asupan gizi harian bagi ribuan siswa, terutama di daerah yang secara ekonomi kurang beruntung. Data menunjukkan bahwa terjadi penurunan angka ketidakhadiran siswa karena sakit, yang sebagian besar dikaitkan dengan peningkatan imunitas tubuh. Namun, kita tidak bisa serta merta menjadikan ini sebagai bagian keberhasilan MBG.

Selain itu, program ini juga berperan sebagai media edukasi gizi. Anak-anak belajar mengenal berbagai jenis makanan sehat dan pentingnya diet seimbang, yang merupakan bekal penting untuk gaya hidup sehat di masa depan.

Namun, implementasi di lapangan juga menghadapi tantangan signifikan. Beberapa sekolah melaporkan kendala logistik, terutama dalam hal penyediaan bahan baku segar dan peralatan memasak yang memadai.

Standar kebersihan dan higienitas juga menjadi perhatian, karena beberapa insiden keracunan makanan ringan sempat terjadi meskipun jarang. Keterbatasan dana dan sumber daya manusia juga menjadi faktor penghambat, yang seringkali membebani pihak sekolah.

MBG (Jangan) Menjadi Beban bagi Guru

Salah satu isu krusial yang muncul adalah adanya suara bahwa program MBG menambah beban kerja guru. Guru seringkali harus mengawasi proses makan, memastikan semua siswa makan dengan baik, dan bahkan terlibat dalam penyediaan makanan. Ini menciptakan beban ganda bagi mereka di luar tugas utama mengajar.

Namun, untuk memastikan keberlanjutan program, transformasi paradigma diperlukan. Alih-alih menjadikan MBG sebagai tugas tambahan, program ini harus diintegrasikan sebagai bagian dari kurikulum. Sekolah dapat melibatkan siswa dalam proses persiapan sederhana, seperti mencuci sayuran atau menata meja, untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kerja sama.

Para mitra BGN yang disebut SPPG perlu menyediakan tenaga kerja tambahan atau kerja sama dengan komunitas lokal juga dapat mengurangi beban administrasi dan logistik dari para guru. Bahkan beberapa unggahan di media sosial maupun laporan guru, mereka harus ikut membersihkan piring dan dikembalikan ke vendor.

Dengan begitu, guru dapat kembali fokus pada tugas mengajar mereka, sementara program makan siang tetap berjalan efektif dan bahkan menjadi sarana pembelajaran interaktif.

Penutup: Keberlanjutan dan Transformasi

Evaluasi setahun ini menunjukkan bahwa program MBG memiliki potensi besar untuk menjadi pilar utama dalam peningkatan kesehatan dan pendidikan. Tantangan yang ada bukanlah alasan untuk menghentikan program, melainkan kesempatan untuk melakukan perbaikan dan transformasi.

Keberlanjutan MBG membutuhkan kerja sama lintas sektor—antara pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat. Dengan merancang ulang sistem logistik yang lebih efisien, melibatkan pihak profesional, dan mengintegrasikan program ini ke dalam budaya sekolah, kita dapat memastikan bahwa MBG bukan hanya sekadar program pemberian makan, melainkan investasi jangka panjang untuk masa depan anak-anak bangsa.

Dengan demikian, program ini akan menjadi warisan berharga yang melahirkan generasi yang lebih sehat, cerdas, dan siap menghadapi segala persoalan di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image