Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Kemesraan Sejarah, Meraih Persatuan Hakiki

Politik | 2025-09-22 22:32:32

Ada yang istimewa dalam pertemuan antara Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana dengan Profesor Talip Küçükcan, Duta Besar Turki untuk Indonesia di Jakarta, Jumat , 19 September 2025. Pertemuan awalnya membahas penguatan hubungan pariwisata kedua negara berujung pada terungkapnya Indonesia Turki memiliki ikatan sejarah yang mendalam serta nilai-nilai budaya yang sama, yang semakin menguatkan kontribusinya pada sektor pariwisata (Republika.co.id, 20-9-2025).

Pada abad ke-16, Menteri Widiyanti menjelaskan, Kesultanan Turki Utsmani sudah membuka konsulat jenderal di Batavia (Jakarta) tepatnya pada tahun 1880-an. Selain itu, Turki dan Indonesia adalah sekutu dekat, yang bekerja sama di PBB, OKI, MIKTA, dan D-8.

Pada relasi kali ini, Indonesia ingin mengembangkan peluang kerja sama dengan Turki di bidang pariwisata medis. TKI yang terlatih dapat dipekerjakan di Turki. Selain itu juga disepakati pengembangan pariwisata halal. Hal ini ditegakkan oleh Duta Besar Küçükcan , bahwa sistem dan institusi layanan kesehatan Turki menyediakan layanan berkualitas tinggi, sehingga WNI yang berkunjung ke Turki bisa dengan aman menerima layanan diagnostik dan perawatan berkualitas tinggi dan terjangkau dari fasilitas layanan kesehatan swasta dan publik di Turki.

Turki menegaskan pula pihaknya terbuka untuk proyek bersama guna mendukung pariwisata kesehatan. Sungguh, jika bisa diminta, kemesraan ini janganlah cepat berlaku, bahkan jangan berhenti pada kerjasama pariwisata dan kesehatan.

Sejarah yang dipaparkan, sebetulnya masih bisa ditarik lebih ke belakang lagi yaitu saat Turki menjadi perisai kaum muslimin se dunia termasuk Indonesia dengan tegaknya Khilafah Ustmani di Turki.

Sejarah tak mungkin pudar ketika didapati bukti surat dari Sultan Aceh yang dikirim untuk Sultan Turki Utsmani dari tahun 1566 M. Pada waktu itu, penduduk muslim di Timur abad ke-16 menganggap Khalifah Turki Utsmani sebagai pemimpin dan pelindung dunia Islam. Terlebih, Turki Utsmani sebagai Khadim Al-Haramayn Al-Sharifayn yakni khalifah dari dunia Islam dan penjaga dua kota suci Makkah dan Madinah (republika.co.id, 25-7-2025).

Sultan Aceh, Alauddin Riayat Syah melalui sebuah komite, mengirimkan surat kepada Sultan Turki Utsmani yakni Sulaiman Yang Agung untuk meminta pertolongan dari Turki Utsmani, karena serangan Portugis yang semakin gencar. Surat Sultan Aceh tertanggal 7 Januari 1566 dikirim oleh komite Husein Efendi dan Lutfi Bey, petugas dari Turki Utsmani yang dikirim ke Aceh beberapa tahun sebelumnya.

Sultan Alauddin, juga dengan sangat rendah hati meminta agar Sultan Turki Utsmani menganggap Aceh sebagai bagian dari provinsi Turki dan menganggap dirinya sebagai Gubernur Turki Utsmani, bukan sebagai Sultan. Lantas sekarang mengapa semuanya tak sama? Indonesia dan Turki menjadi dua negara yang berbeda padahal sama-sama seakidah dan seagama, Islam.

Padahal Rasulullahsaw. bersabda, "Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya. Tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya ( dizalimi)." (HR.Bukhari dan Muslim). Tak lain Dan tak bukan akibat penjajah barat memaksakan ide nasionalisme dan kesukuan di antara kaum muslim sehingga berpecah belah, setelah ditandatanganinya Perjanjian Skyes Picot, menjadi 56 negara.

Negara-negara itu diberi kemerdekaan semu, pemerintahan boneka dan undang-undang yang menjadikan negeri muslim yang awalnya kaya raya menjadi negara jajahan dan miskin . Sumber daya alamnya dieksploitasi, dijual kepada asing, akibatnya rakyat tetap menderita.

Islam Pemersatu Umat untuk Perubahan

Maka sejatinya alangkah sayangnya jika hari ini hubungan Indonesia -Turki hanya sekadar hubungan kedua negara di bidang pariwisata dan kesehatan. Bukankah seharusnya bisa lebih dari itu? Indonesia-Turki sama-sama penduduknya mayoritas beragama Islam dan pasti diseru oleh Allah kepada hal yang benar. Yaitu Ukhuwah Islamiyah meraih kekuasaan agar penerapan Islam bisa sempurna.

Sebagai dua negara muslim memiliki kewajiban menggalang persatuan antar negara muslim lainnya. Satu akidah, tentu satu syariat. Persatuan kaum muslim inilah yang bisa memisahkan penjajahan di muka bumi. Terlebih jika melihat penderitaan saudara seiman di Palestina.

Maka, ide Nasionalisme harus dihapuskan. Diganti dengan Ukhuwah Islamiyah, yang kemudian melahirkan gerakan menerapkan Islam kafah. Jadi, jika kita kembali kepada sejarah hubungan kedekatan Indonesia-Turki semestinya juga kembali kepada pengaturan syariat itulah yang utama dan diminta oleh para pemimpin muslim kala itu. Kaum muslim tanpa kekuasaan dan pemimpin yang bertakwa hanyalah kumpulan buih ombak di pantai. Wallahualam bissawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image