Kuasa Media dan Pergeseran Koneksi Transnasional di Era Digital
Iptek | 2025-09-20 11:19:21Kekuatan media global pada dekade terakhir ditandai oleh konsentrasi kepemilikan melalui merger, akuisisi, dan ekspansi transnasional. Fenomena ini menghasilkan sejumlah kecil perusahaan media raksasa dengan kendali oligopolistik atas industri komunikasi global (Castells, 2009; Flew, 2018; Noam, 2016). Kekuasaan ekonomi dan simbolik perusahaan-perusahaan ini menjadikan mereka aktor dominan dalam produksi, distribusi, dan konsumsi media di berbagai belahan dunia. Dalam konteks tersebut, jaringan kantor transnasional dan posisi kota-kota global menjadi refleksi nyata dari apa yang disebut Mirrlees (2013) sebagai end game media global: kontrol atas audiens, hak cipta, dan sarana produksi-distribusi media.
Data 2018 menunjukkan New York tetap menjadi simpul utama dalam jaringan kota media global, diikuti London, Los Angeles, Singapura, dan Paris. Namun, jika ditinjau dari perspektif struktural, posisi dominan kota-kota ini merupakan hasil dari kepemilikan sumber daya material dan simbolik oleh TNMCs, termasuk kapitalisasi, jaringan produksi-distribusi, dan prestise merek (Mirrlees, 2013). Dengan kata lain, konektivitas kota global bukan hanya statistik jaringan, tetapi wujud konkret dari structural power perusahaan media untuk mengendalikan arus informasi lintas benua.
Namun, pergeseran mulai tampak dengan naiknya kota-kota seperti Seattle, San Jose, dan Beijing. Kehadiran perusahaan new media seperti Amazon, Microsoft, Apple, Baidu, dan Tencent telah menempatkan kota-kota tersebut dalam orbit jaringan global. Gershon (2020) mencatat bahwa perusahaan ini tidak sekadar media tradisional, melainkan platform corporations yang mengaburkan batas antara teknologi, telekomunikasi, dan hiburan. Dengan ekspansi ini, structural power media tidak lagi terkonsentrasi hanya di Barat, tetapi mulai bergeser ke Asia.
Perubahan ini juga memperlihatkan ekspresi dari relational power (Castells, 2009), yakni kapasitas perusahaan untuk memengaruhi keputusan dan strategi aktor lain. Misalnya, masuknya Apple, Amazon, dan Facebook ke dalam strategi media Tiongkok memperlihatkan relasi asimetris: perusahaan Barat membutuhkan pasar Tiongkok, sementara Tiongkok memanfaatkan keterikatan itu untuk memperkuat posisinya. Hubungan ini menegaskan bahwa media power tidak semata soal kepemilikan aset, tetapi juga hasil negosiasi antaraktor dalam jaringan global.
Kecenderungan internasionalisasi juga menegaskan apa yang oleh Mosco (2009) disebut sebagai corporate restructuring dalam industri media, yakni remapping ruang korporasi ke dalam pusat-pusat urban tertentu. New York dan London tetap memimpin, tetapi Singapura, Hong Kong, dan New Delhi muncul sebagai media capitals baru. Kota-kota ini menjadi nodes dalam aliran talenta, modal, dan konten yang membentuk jaringan budaya transnasional (Curtin, 2009). Hal ini sejalan dengan logika kapitalisme global: memperluas pasar dan memusatkan sumber daya di lokasi yang efisien.
Di sisi lain, penurunan konektivitas kota seperti Buenos Aires, Amsterdam, dan Tokyo menunjukkan bahwa status global media cities bukanlah posisi tetap. Pergeseran jaringan merefleksikan dinamika New International Division of Cultural Labour (Miller et al., 2001), di mana TNMCs secara selektif mengalokasikan produksi, distribusi, dan pemasaran sesuai kebutuhan pasar dan keunggulan lokal. Dengan demikian, daya tarik kota media ditentukan oleh kemampuan mereka menyediakan tenaga kerja kreatif, infrastruktur digital, serta akses ke jaringan finansial global.
Merger besar seperti AT&T–Time Warner, Disney–21st Century Fox, dan akuisisi Sky oleh Comcast (Birkinbine & Gómez, 2020) memperkuat logika oligopolistik dalam industri ini. Konsolidasi ini memungkinkan perusahaan raksasa memusatkan kendali atas jaringan kantor di kota-kota global, sekaligus menutup ruang bagi kompetitor kecil. Implikasinya, struktur kekuasaan media global semakin homogen, dengan sedikit perusahaan menentukan arah produksi budaya dunia. McChesney (2008) memperingatkan bahwa konsentrasi semacam ini membatasi keberagaman ide dan memperkuat agenda korporasi.
Perlu dicatat bahwa globalisasi media bukanlah proses satu arah. Data menunjukkan munculnya contraflow dari Asia, terutama Tiongkok, yang kini menjadi pasar media terbesar potensial. Beijing dan Shenzhen, misalnya, tidak hanya menjadi pusat produksi domestik tetapi juga simpul dalam jaringan global berkat Baidu dan Tencent. Kondisi ini mengkonfirmasi tesis Castells (2009) bahwa kekuasaan media kontemporer beroperasi melalui jaringan global yang menghubungkan skala lokal dan global secara simultan.
Temuan mengenai kota media global memperlihatkan realisasi konkret dari teori media power. Struktur kepemilikan dan jaringan kantor transnasional adalah basis dari structural power, sementara relasi antaraktor lintas negara mencerminkan relational power. Pergeseran dari dominasi Barat menuju konfigurasi multipolar, dengan Asia sebagai pemain utama, menunjukkan bahwa media power adalah fenomena ekonomi sekaligus kultural, di mana kota-kota global menjadi arena utama dalam pertarungan hegemoni media dunia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
