Bahaya Mikroplastik: Potensi Pemicu Kerusakan Otak Mirip Alzheimer
Info Terkini | 2025-09-18 06:49:12
Mikroplastik dan nanoplastik kini semakin menjadi perhatian serius di dunia, bukan hanya karena mencemari laut dan rantai makanan. Akan tetapi, karena dampak langsungnya terhadap kesehatan manusia.
Sebuah penelitian terbaru dari University of Rhode Island mengungkapkan temuan yang mengejutkan: partikel plastik berukuran sangat kecil dapat menembus pelindung otak dan memicu kerusakan kognitif yang mirip dengan Alzheimer. Hasil ini memperlihatkan betapa erat kaitan antara polusi plastik dengan penyakit degeneratif yang selama ini dianggap hanya terkait faktor usia dan genetik.
Dalam penelitian tersebut, tim ilmuwan yang dipimpin oleh Jaime Ross melakukan uji coba pada tikus laboratorium. Hewan percobaan ini dimodifikasi secara genetik membawa varian gen APOE4, yang diketahui meningkatkan risiko Alzheimer lebih dari tiga kali lipat dibandingkan varian umum APOE3.
Selama tiga minggu, tikus-tikus tersebut diberikan paparan mikroplastik dan nanoplastik polystyrene melalui air minum mereka. Hanya dalam waktu singkat, partikel plastik ditemukan tidak hanya di tubuh, tetapi juga di otak, menembus blood-brain barrier yang seharusnya berfungsi sebagai benteng pelindung sistem saraf pusat.
Hasilnya mencengangkan. Pada tikus jantan dengan varian APOE4, terlihat perubahan perilaku berupa keberanian menjelajah area terbuka, sebuah indikasi penurunan kewaspadaan atau apati. Pada tikus betina, ditemukan penurunan kemampuan mengenali objek baru, tanda jelas adanya gangguan daya ingat.
Pola ini mengingatkan pada perbedaan gejala Alzheimer pada manusia, di mana perempuan sering mengalami penurunan memori lebih cepat, sedangkan laki-laki cenderung menunjukkan perubahan perilaku atau apatisme. Temuan ini menunjukkan bahwa mikroplastik tidak hanya masuk ke dalam sistem tubuh, tetapi juga mengubah cara otak bekerja sesuai faktor genetik dan jenis kelamin.
Penelitian ini menegaskan bahwa Alzheimer dan penyakit degeneratif lain tidak hanya dipengaruhi oleh faktor usia dan genetik, tetapi juga oleh kondisi lingkungan. Kombinasi faktor risiko seperti gen APOE4 dengan paparan mikroplastik bisa mempercepat munculnya gejala, bahkan dalam waktu relatif singkat.
Hal ini sejalan dengan bukti sebelumnya bahwa mikroplastik mampu menembus organ vital, termasuk paru-paru, usus, dan hati. Dengan demikian, ancaman mikroplastik terhadap manusia jauh lebih serius daripada sekadar masalah pencemaran lingkungan.
Kekhawatiran semakin besar karena sumber paparan plastik sangat melimpah di sekitar kita. Laporan lain dari University of Rhode Island mencatat lebih dari seribu ton mikroplastik hanya dalam dua inci lapisan dasar laut di Teluk Narragansett.
Jika laut yang luas saja sudah penuh dengan partikel kecil ini, bayangkan berapa banyak yang akhirnya masuk ke tubuh manusia melalui makanan laut, air minum, bahkan udara yang kita hirup setiap hari. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kita sedang perlahan-lahan menghancurkan kemampuan otak kita sendiri melalui konsumsi plastik yang tak terlihat?
Dari sisi kebijakan, beberapa negara sudah mulai bergerak. Amerika Serikat, misalnya, mendorong Microplastics Safety Act untuk menugaskan FDA menyelidiki dampak mikroplastik pada air, makanan, dan sistem tubuh sensitif seperti otak. Namun, langkah global masih sangat terbatas. Sementara laju produksi plastik dunia terus meningkat. Di negara berkembang seperti Indonesia, kesadaran tentang mikroplastik baru mulai tumbuh, padahal kita merupakan salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di laut.
Untuk mengurangi risiko, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, membatasi penggunaan plastik sekali pakai, terutama wadah polystyrene, styrofoam, dan sedotan. Kedua, memastikan kualitas air minum melalui filtrasi yang mampu menyaring partikel kecil. Ketiga, mendorong penelitian lokal untuk melihat sejauh mana mikroplastik sudah terakumulasi dalam tubuh manusia di Indonesia. Keempat, menguatkan regulasi dan sistem pengelolaan sampah plastik agar tidak terus mencemari lingkungan.
Penelitian dari University of Rhode Island ini hanyalah permulaan dari pemahaman lebih dalam tentang bagaimana polusi plastik memengaruhi kesehatan neurologis. Fakta bahwa hanya dalam tiga minggu efek nyata dapat terdeteksi pada otak tikus membuat kita harus waspada.
Jika partikel sekecil ini bisa melewati pertahanan otak, maka potensi kerusakan jangka panjang pada manusia tidak bisa diabaikan. Alzheimer yang selama ini dianggap penyakit usia tua mungkin saja diperburuk oleh kebiasaan kita sehari-hari yang tak lepas dari plastik.
Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah mikroplastik berbahaya, tetapi seberapa jauh kita mau bertindak untuk mengurangi ancaman ini. Setiap sedotan, kantong, atau wadah sekali pakai yang kita gunakan hari ini bisa menjadi partikel kecil yang suatu saat mengganggu memori dan perilaku generasi mendatang.
Kesadaran, perubahan gaya hidup, serta dorongan kebijakan publik harus menjadi prioritas agar kita tidak menuai konsekuensi kesehatan yang jauh lebih mahal di masa depan. ***
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
