Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizka Shabrina

Mikroplastik Turun dari Langit, Masihkah Pemerintah Bungkam Soal Regulasi?

Info Sehat | 2025-11-06 08:57:33

Mikroplastik merupakan potongan-potongan super kecil kurang dari lima milimeter yang saat ini tersebar hampir di seluruh penjuru bumi. Menurut NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), mikroplastik adalah jenis sampah laut yang paling sering ditemukan, baik di samudra maupun di danau-danau besar Amerika. Sumbernya beragam, mulai dari serpihan plastik yang terurai, benang sintetis dari pakaian, hingga butiran kecil dalam produk kecantikan. Meski ukurannya nyaris tak terlihat, dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia sangat serius. Menurut ECOTON (Ecological Observation and Wetlands Conservation), mikroplastik terbagi menjadi dua jenis, yaitu mikroplastik primer dan sekunder, sumber mikroplastik tersebut adalah dari sampah plastic atau limbah cair industri, serta microbeads yang ada dalam produk perawatan pribadi.

Mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh dapat memicu respons imun berlebihan, menyerupai reaksi terhadap infeksi, sehingga berpotensi menimbulkan peradangan kronis dan kerusakan jaringan jangka panjang. Selain itu, partikel ini juga dapat menyebabkan stres oksidatif, yakni kondisi ketika sel-sel tubuh rusak akibat ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan. Tak hanya itu, mikroplastik membawa risiko gangguan hormonal karena kandungan zat kimia seperti bisfenol A (BPA) dan ftalat yang dikenal sebagai pengganggu sistem endokrin. Paparan jangka panjang terhadap zat tersebut dapat memengaruhi kesuburan, sistem reproduksi, dan perkembangan janin, serta berkontribusi pada gangguan metabolik dan hormonal lainnya.

Mikroplastik telah menyusup ke berbagai aspek kehidupan tanpa disadari, ditemukan dalam air galon isi ulang, ikan laut, garam dapur, udara, bahkan ASI, sehingga bayi pun berisiko terpapar sejak dini. Penyebaran ini diperparah oleh lemahnya sistem daur ulang dan rendahnya kesadaran Masyarakat yang membuat partikel plastik terus beredar tanpa kendali. Salah satu sumber utama adalah microbeads dalam produk konsumen seperti sabun mandi dan pasta gigi yang tidak tersaring oleh sistem pengolahan air limbah dan langsung mencemari sungai serta laut. Di lingkungan perairan, partikel ini dikonsumsi oleh biota laut dan berpotensi kembali masuk ke tubuh manusia melalui rantai makanan.

Tanpa regulasi yang melarang penggunaan microbeads dan sistem pengelolaan sampah yang efektif, siklus paparan mikroplastik akan terus berulang dan membahayakan kesehatan masyarakat.Berbeda dengan Amerika Serikat yang sudah melarang penggunaan Microbead-Free Waters Act pada tahun 2015 dalam produk kosmetik dan perawatan tubuh, Indonesia bahkan masih belum memerhatikan secara serius terkait isu mikroplastik dari sisi regulasi. Regulasi mikroplastik di Indonesia masih tergolong minim dan belum terintegrasi dalam sistem pengawasan lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Salah satu tantangan utamanya adalah belum adanya standar batas aman mikroplastik dalam makanan atau air minum. Nyatanya, standar ini, sangat penting sebagai langkah strategis untuk mengurangi dampak pencemaran yang semakin meluas. Tanpa adanya standar ini, tidak ada acuan yang jelas bagi laboratorium, industri, maupun lembaga pengawasan untuk menilai dan mengendalikan paparan mikroplastik.

Indonesia belum mewajibkan pelabelan peringatan pada produk yang berpotensi mengandung mikroplastik, meskipun negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris telah melarang penggunaannya dalam kosmetik tertentu dan mewajibkan pelabelan bahan mikroplastik. Akibatnya, konsumen Indonesia tidak memiliki akses informasi yang memadai untuk mengetahui apakah produk seperti sabun wajah, pasta gigi, air minum dalam kemasan, atau makanan laut mengandung partikel mikroplastik. Banyak produk skincare masih menggunakan microbeads tanpa transparansi komposisi, dan istilah teknis seperti “polyethylene” sering tidak dikenali sebagai plastik oleh masyarakat. Tidak adanya regulasi yang mewajibkan pengujian atau pencantuman kadar mikroplastik menciptakan kesenjangan antara hak konsumen untuk tahu dan kewajiban produsen untuk memberi tahu. Ketidaktahuan ini memperlemah kesadaran publik dan memperlambat perubahan perilaku konsumsi, padahal pelabelan yang jelas dapat menjadi sarana edukasi yang efektif serta mendorong inovasi bahan yang lebih aman dan ramah lingkungan.

Pengendalian mikroplastik di Indonesia menghadapi kendala besar akibat terbatasnya fasilitas pengujian. Karena ukuran mikroplastik yang sangat kecil dan komposisinya yang kompleks, deteksi membutuhkan teknologi canggih dan tenaga ahli, seperti spektroskopi FTIR atau mikroskop elektron. Namun, laboratorium yang memiliki kemampuan tersebut hanya tersedia di beberapa lembaga penelitian besar dan universitas, sementara fasilitas di daerah umumnya belum memadai. Keterbatasan ini menghambat kemampuan pemerintah dalam memantau dan menindak pencemaran secara efektif. Tanpa data yang akurat dan standar, sulit bagi regulator menetapkan kebijakan berbasis bukti. Bahkan jika standar baku mutu ditetapkan, pelaksanaannya tetap terhambat oleh minimnya kapasitas teknis, sehingga terjadi kesenjangan antara regulasi dan implementasi di lapangan.

Untuk mengatasi masalah mikroplastik, pemerintah perlu mengambil langkah strategis yang terintegrasi. Langkah awal yang penting adalah menetapkan standar baku mutu mikroplastik dalam makanan, air minum, dan produk konsumen sebagai dasar pengawasan. Selain itu, pelabelan kandungan mikroplastik pada produk kosmetik dan perawatan pribadi perlu diwajibkan agar konsumen dapat membuat pilihan yang lebih sadar dan aman.

Pemerintah juga perlu memperkuat kapasitas laboratorium, khususnya di daerah, dengan menyediakan peralatan deteksi dan pelatihan tenaga ahli. Isu mikroplastik harus diintegrasikan ke dalam kebijakan pengelolaan sampah nasional, termasuk peningkatan sistem daur ulang dan pengawasan limbah industri. Kampanye edukasi publik juga penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Dengan pendekatan menyeluruh ini, Indonesia dapat memperkuat perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat dari ancaman mikroplastik.

Sumber: betahita.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image