Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agus Setiyono

Mengurus Persyarikatan Muhammadiyah Itu Mudah, Kecuali Saat Harus Rapat

Agama | 2025-09-16 11:40:52

Mengurus Persyarikatan Muhammadiyah, konon katanya, adalah pekerjaan yang mudah. Begitu mudahnya hingga setiap kader bisa melakukannya sembari tersenyum, sambil tetap berjualan di pasar, mengajar di sekolah, atau bahkan bercocok tanam di sawah. Sebab Muhammadiyah tidak menuntut bayaran, tidak pula menjanjikan fasilitas. Yang dituntut hanyalah kesediaan hati untuk ikhlas berkhidmat.

Namun, sebagaimana semua kisah klasik organisasi, ada satu titik yang membuat kata mudah itu tiba-tiba berubah menjadi berat. Bukan ketika mendirikan sekolah, bukan pula saat mengelola rumah sakit. Justru yang paling berat adalah ketika harus menghadiri rapat.

Ya, rapat. Kata sederhana yang menyimpan beragam drama manusia.

Rapat: Antara Idealisme dan Kursi Kosong

Rapat Muhammadiyah seringkali dimulai dengan doa yang khusyuk, tetapi beberapa kursi masih kosong. Sebab sebagian pengurus masih terjebak di jalan, atau mungkin terjebak pada urusan pribadi yang lebih mendesak. Di sinilah letak beratnya: menghadiri rapat seringkali bukan perkara waktu, melainkan perkara prioritas.

Dalam rapat, ada yang bersemangat dengan konsep besar membangun Amal Usaha, ada yang sibuk mencatat notulen dengan wajah serius, dan ada pula yang khidmat menguap sambil sesekali melirik jam dinding, menanti kapan sidang berakhir.

Sederhana Tapi Rumit

Sungguh, mengurus Muhammadiyah tidaklah serumit birokrasi negara. Tidak ada tender proyek, tidak ada pungutan liar, dan tidak ada kursi empuk penuh fasilitas. Yang ada hanyalah rasa tanggung jawab moral terhadap dakwah dan pendidikan umat. Tetapi kerumitan itu kadang muncul dalam bentuk sederhana: perbedaan pendapat soal waktu rapat, lokasi rapat, bahkan apakah perlu rapat lanjutan atau cukup dengan grup WhatsApp.

Dalam konteks inilah Muhammadiyah menjadi cermin: organisasi besar dengan amal usaha raksasa, tapi rapatnya tetap menghadirkan dilema klasik—antara hadir atau izin, antara mufakat atau voting, antara semangat atau sekadar menggugurkan kewajiban.

Di Balik Kesungguhan

Ironisnya, rapat yang berat itu justru menjadi urat nadi kehidupan organisasi. Tanpa rapat, keputusan tidak lahir; tanpa keputusan, amal usaha tidak bergerak. Maka mau tidak mau, semua harus kembali ke meja panjang, bersabar dengan notulen, dan mendengarkan suara-suara yang kadang berputar-putar tanpa ujung.

Di sinilah satirnya: rapat Muhammadiyah sering lebih panjang daripada khutbah Jum’at, tetapi dampaknya bisa lebih panjang umur daripada usia para pesertanya. Sebab dari rapatlah lahir sekolah-sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan universitas yang kini berdiri tegak di seluruh Indonesia.

Sebagai Penutup

Maka benar adanya pepatah kecil di kalangan kader: Mengurus Muhammadiyah itu mudah, yang berat hanya ketika rapat. Berat bukan karena tak sanggup, melainkan karena rapat adalah ujian kesabaran, ketulusan, dan kesetiaan pada jalan persyarikatan.

Di balik kursi-kursi rapat yang sering terasa melelahkan, Muhammadiyah tetap bergerak, tetap tumbuh, dan tetap menjadi cahaya pencerahan bagi umat dan bangsa. Karena pada akhirnya, rapat hanyalah perantara; yang sejatinya menggerakkan adalah keikhlasan hati para kadernya.

Wallahu a' lam bish shawab.

*) Penggiat dakwah Online Jambi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image