Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rafi Hamdallah

Antara WNI dan KBBI: Mengikuti Siapa?

Sastra | 2025-09-15 21:40:53
Buku Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) edisi V

Retizen, pada dasarnya bahasa Indonesia menjadi salah satu lingua franca yang telah dituturkan oleh 200 juta orang di seluruh dunia. Bahkan bahasa ini diakui sebagai salah tujuh bahasa utama UNESCO (organisasi dunia bidang pendidikan dan kebudayaan) dan diajarkan di sejumlah universitas negara tetangga. Menariknya, tidak semua penutur turunan dari bahasa Melayu ini yang mampu berbahasa dengan baik dan benar. Bahkan tak sedikit pula yang menyangkal dan mempertanyakan kaidah manakah yang tepat digunakan?

Aturan berbahasa Indonesia sejatinya dibukukan dalam bentuk Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang telah bertransformasi dari masa ke masa. Diawali dari bentuk adaptasi masyarakat dari bahasa Melayu klasik yang disesuaikan dengan dialek daerah masing-masing. Kemudian pada masa kolonial Belanda terjadi penggubahan ejaan Van Ophuisjen dengan dalih agar bahasa klasik ink mirip dengan tuturan bahasa Belanda. Puncaknya, bahasa ini dinamai sebagai bahasa Indonesia (bahasa persatuan) sebagaimana yang ditulis dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 sekaligus memicu terselenggaranya Kongres Bahasa Indonesia pertama pada 1935-an. Pada masa awal kemerdekaan, bahasa ini pernah direvisi dalam bentuk Ejaan Soewandi yang selanjutnya disempurnakan menjadi EYD pada tahun 1975. Bahasa ini terus berkembang berjilid-jilid dari edisi ke edisi hingga sekarang. Walaupun sempat dirilis dalam bentuk Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), nomenklatur mengenai aturan tata bahasa ini kembali ke versi awalnya, yaitu EYD. Adapun kumpulan kosakata Indonesia (baik yang diadaptasi dari dialek lokal maupun serapan dari bahasa asing) dibukukan dalam bentuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Apakah Masyarakat yang Mengikuti KBBI atau Sebaliknya?

Lantas pertanyaan tersebut muncul dikarenakan intensifnya penyesuaian kosakata terhadap gaya bahasa yang berlaku di masyarakat. Ini bisa memengaruhi tingkat pemahaman akan berbahasa yang baik dan benar. Ironisnya, masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya mengetahui kaidah berbahasa Indonesia sesuai dengan EYD maupun KBBI. Bahkan tak sedikit pula yang mempertanyakan manakah kaidah yang benar?

 

  1. Catatan: penulis tidak menyinggung penuturan bahasa gaul ataupun dialek lokal sekalipun tidak mengikuti EYD.

Sebagai hipotesis:

1. Masih banyak orang yang tidak membedakan penggunaan "di" sebagai kata depan atau preposisi. Contoh: di pasar/dipasar, dibeli/di beli, dsb.

2. Masih banyak orang yang saltik/tipo terutama dalam menulis sembang. Ini bisa ditemukan dari pengguna media sosial yang sering menambahkan tanda bintang (*) di bawah sembangnya. Contoh: mati (*mata).

3. Masih sering ditemukan kosakata baku yang tidak lazim bagi masyarakat. Contoh: andal/handal, analisis/analisa, memengaruhi/mempengaruhi, memesona/mempesona, salat/shalat, karena/karna, dsb.

4. Masih keliru dalam penggunaan kaidah EYD, terutama dalam penulisan karya ilmiah. Ini ditemukan pada skripsi atau jurnal para mahasiswa yang terus direvisi.

5. Masih terpengaruh oleh dialek lokal. Contoh: marah mu ma aku?

6. Masih banyak padanan kosakata yang belum digunakan secara umum. Contoh: warganet/netizen, tetikus/mouse, gawai/gadget, palum/sudah minum, dsb.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ternyata memiliki tantangan terhadap penurutnya. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya edukasi ataupun ketidaklaziman bahasa baku terhadap gaya bahasa dalam masyarakat. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan peningkatan kemampuan berbahasa secara inklusif dan konsisten terutama dalam penggunaan kaidah bahasa yang baku, baik, dan benar. Meski demikian, penggunaan bahasa gaul atau dialek lokal masih relevan selama tidak bermaksud menyalahi kaidah bahasa. Selain itu juga diharapkan kesadaran untuk mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sehingga dapat memperkuat identitas nasional.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image