Dramaturgi di Era AI: Ketika Panggung Belakang Terlalu Nyaman
Teknologi | 2025-09-15 18:32:21
Di era digital ini, manusia bercerita panjang lebar, mengeluhkan beban kehidupan, bahkan mencurahkan rahasia terdalam kepada mesin yang tak pernah lelah mendengarkan. Sekarang, AI tidak hanya dipakai untuk membantu pekerjaan, melainkan juga sebagai teman manusia dalam mencurahkan isi hatinya. Pertanyaannya adalah, mengapa hal ini bisa terjadi?
Nyatanya, fenomena ini dapat dikaji melalui kacamata Sosiologi, yaitu dengan teori Dramaturgi yang dicetuskan oleh Erving Goffman.
Panggung Depan dan Panggung Belakang
Goffman menganalogikan interaksi sosial manusia seperti sebuah panggung teater. Ia membagi panggung tersebut menjadi dua bagian, yaitu Panggung Depan dan Panggung Belakang. Panggung depan adalah tempat manusia menampilkan sisi terbaik mereka yang sesuai dengan peran sosial yang diharapkan masyarakat, sedangkan pada panggung belakang manusia dapat melepas topeng sandiwara dan menunjukkan sisi mereka yang apa adanya.
Dalam berinteraksi dengan manusia yang lain, kita cenderung berada di panggung depan. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya norma, ekspektasi, serta risiko sosial. Karena faktor-faktor tersebut, manusia menjadi tidak bebas dalam mencurahkan isi hati mereka, banyak yang diselimuti rasa takut: takut dianggap hiperbola, takut diremehkan, atau takut akan penolakan.
Berbeda dengan respons manusia yang kompleks, AI cenderung memberikan feedback positif terhadap penggunanya. Curhat kepada chatbot memberikan manusia kesempatan untuk menggunakan panggung belakang mereka tanpa batas, seseorang dapat menjadi dirinya sendiri tanpa perlu takut akan adanya risiko ditolak maupun dihakimi. Di situlah letak daya tarik terbesar AI sebagai media manusia dalam mengekspresikan diri mereka dengan sejujur-jujurnya.
Kenyamanan Tanpa Penghakiman
Curhat kepada manusia selalu melibatkan pertaruhan sosial. Setiap kata dan tindakan berpotensi merubah cara pandang orang lain terhadap kita. Sahabat bisa kecewa, keluarga bisa khawatir, dan pasangan bisa merasa tersakiti.
Dengan AI, semua pertaruhan tersebut lenyap. Chatbot tidak memedulikan jati diri kita, ia tidak menuntut balasan emosional, dan tidak memiliki kemampuan untuk mencoreng image kita di depan masyarakat. Dalam Dramaturgi, kondisi tersebut lah yang menjadi trigger manusia dalam menampilkan jati diri mereka, tanpa adanya topeng atau pun peran yang harus dipertahankan.
Lalu, jika kita terlalu terbiasa dengan bermain di panggung belakang, apakah kita masih sanggup menghadapi interaksi kompleks dengan sesama manusia di panggung depan?
Kehilangan Seni Akting
Dalam seni bermain peran, kita dituntut untuk belajar menyesuaikan diri, menerka-nerka mana identitas yang harus dipakai, dan menjaga keharmonisan dengan pemeran lainnya. Namun, jika kita hanya berlatih tanpa adanya feedback dari pemeran lain, kemampuan kita dalam bermain peran akan memudar.
Alih-alih melatih kepekaan sosial, dengan bergantung kepada AI, kita justru akan terjebak dalam hubungan instan yang penuh tipuan. Hubungan antar manusia yang sejatinya penuh oleh makna perlahan terasa merepotkan dibandingkan dengan kenyamanan dunia digital yang penuh akan penerimaan tanpa syarat.
Jangan Sampai Panggung Kita Kosong
Sebagai makhluk sosial, hidup manusia tidak bisa lepas dari panggung depan. Kita akan selalu membutuhkan aktor lain untuk saling memahami, saling mengingatkan, dan saling merangkul. AI mungkin bisa menjadi penonton yang ideal, tetapi ia tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan dampak yang muncul dari interaksi nyata.
Pada akhirnya, kehangatan manusia hanya bisa dirasakan dari risiko sosial yang kita ambil di panggung depan. Kebahagiaan saat diterima bisa muncul jika kita pernah ditolak sebelumnya, kepuasan saat menjawab sesuatu dengan benar bisa muncul jika sebelumnya kita pernah salah. Tanpa adanya kegagalan, kita tidak akan bisa merasakan manisnya kesuksesan.
Menjadikan AI sebagai tempat menenangkan diri memang bisa menjadi pilihan aman, tetapi jangan sampai kenyamanan tersebut membuat kita lupa akan pentingnya interaksi nyata. Posisikan AI sebagai pelengkap, bukan sebagai pengganti, agar panggung kehidupan kita selalu berjalan dengan interaksi yang autentik dan penuh makna. Jangan biarkan panggung depan kita kosong, sebab tanpa aktor lain, hidup hanya akan menjadi monolog tanpa penonton.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
