Membaca Ulang Fenomena Pamer Anak di Dunia Maya
Gaya Hidup | 2025-09-15 13:26:35Membaca Ulang Fenomena Pamer Anak di Dunia Maya
Di era digital yang serba terhubung, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi para orang tua. Tren membagikan foto dan video anak-anak di dunia maya, atau yang sering disebut sharenting, kini bukan lagi hal baru. Namun, di balik kelucuan dan momen-momen manis yang dibagikan, terdapat lapisan-lapisan isu yang kompleks dan perlu dibaca ulang secara mendalam. Fenomena ini bukan sekadar tentang ekspresi cinta orang tua, melainkan juga cerminan dari budaya digital, dilema privasi, hingga potensi risiko yang mengintai.
Motivasi Orang Tua: Antara Cinta dan Pengakuan
Mengapa banyak orang tua begitu antusias "memamerkan" buah hati mereka? Alasan utamanya sering kali berakar pada hal yang tulus. Orang tua ingin merayakan setiap pencapaian anak, mulai dari langkah pertama hingga kelulusan sekolah. Media sosial menjadi wadah ideal untuk berbagi kebahagiaan ini dengan keluarga besar dan lingkaran pertemanan yang luas.
Namun, ada juga motivasi yang lebih halus, yaitu pencarian validasi dan pengakuan. Di dunia maya, "like" dan komentar positif berfungsi sebagai penguat (reinforcement). Pujian atas "anak yang lucu" atau "orang tua yang hebat" dapat memberikan rasa kepuasan dan validasi emosional. Ini menciptakan semacam siklus: semakin banyak pujian, semakin sering orang tua merasa terdorong untuk membagikan konten serupa, mengubah sharenting dari sekadar berbagi menjadi bagian dari pencitraan diri.
Risiko yang Sering Terlupakan: Jejak Digital Seumur Hidup
Masalah utama dari sharenting adalah konsep persetujuan (consent). Anak-anak tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan atas apa yang diunggah tentang mereka. Setiap foto, video, atau cerita yang dibagikan akan menjadi jejak digital permanen yang tidak bisa dihapus sepenuhnya. Jejak ini akan mengikuti mereka hingga dewasa, membawa potensi risiko:
- Dampak Psikologis Jangka Panjang: Anak yang tumbuh dengan identitas digital yang dibuat oleh orang tuanya mungkin merasa tertekan atau malu saat dewasa. Mereka tidak memiliki kendali atas narasi yang terbentuk tentang diri mereka, terutama jika ada foto-foto memalukan dari masa kecil.
- Keamanan dan Privasi: Informasi yang tampaknya tidak berbahaya, seperti nama, tanggal lahir, atau bahkan lokasi, dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Predator daring bisa menggunakan foto dan informasi ini untuk membangun profil target.
- Monetisasi dan Eksploitasi: Beberapa orang tua mengubah akun anak menjadi "aset" komersial, menjadikannya brand ambassador atau influencer cilik. Ini berpotensi mengeksploitasi anak untuk keuntungan finansial, mengikis batas antara cinta orang tua dan bisnis.
Menuju Etika Digital yang Lebih Bijak
Membaca ulang fenomena ini bukan berarti melarang total orang tua untuk berbagi. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk menerapkan etika digital yang lebih bijak. Beberapa prinsip yang bisa diterapkan adalah:
1. Berpikir Kritis Sebelum Mengunggah: Tanyakan pada diri sendiri, "Apakah konten ini benar-benar perlu dibagikan? Bagaimana perasaan anak saya jika melihat ini saat ia dewasa?"
2. Batasi Lingkup Audiens: Manfaatkan fitur privasi di media sosial. Bagikan momen hanya kepada lingkaran terdekat dan terpercaya.
3. Hormati Batasan: Jika anak sudah cukup besar untuk berpendapat, ajak mereka berdiskusi dan minta izin sebelum mengunggah foto mereka. Ajari mereka tentang privasi dan batasan digital sejak dini.
4. Lindungi Informasi Pribadi: Hindari membagikan informasi sensitif seperti lokasi sekolah, rumah, atau jadwal rutin anak.
Pada akhirnya, pamer anak di dunia maya adalah pengingat bahwa di balik kemudahan berbagi, ada tanggung jawab besar untuk melindungi privasi dan masa depan anak. Kebahagiaan dan keamanan mereka jauh lebih berharga daripada "like" atau komentar di media sosial. Mari kita biarkan anak-anak menikmati masa kecil mereka, bebas dari sorotan dan beban jejak digital yang tidak mereka pilih sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
