Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Thaufan Arifuddin

Demokrasi yang Komunikatif di Era Digital

Kolom | 2025-09-14 18:12:08

Demokrasi sering dipahami sebatas pemilu saja dan sistem politik formal yang sangat kaku. Padahal, demokrasi adalah ruang komunikasi yang hidup. Gagasan demokrasi deliberatif menekankan bahwa tanpa komunikasi dan musyawarah, tanpa ruang publik untuk berdiskusi, demokrasi tidak akan pernah hidup. Demokrasi hanya berarti jika warga memiliki kesempatan untuk berbicara, mendengar, dan bersama-sama memutuskan persoalan yang menyangkut nasib mereka.

Deliberasi adalah proses yang komunikatif. Manusia bertemu, berdialog, dan mencari solusi kolektif. Inilah sebabnya ruang publik menjadi syarat utama bagi demokrasi. Dalam pandangan tokoh seperti Jürgen Habermas dan Benjamin Barber, demokrasi deliberatif harus menjamin hak setiap orang untuk berbicara dan didengar, menggunakan argumen rasional, serta memiliki akses yang setara pada sumber daya untuk berpartisipasi. Demokrasi bukan hanya soal suara mayoritas, tapi juga soal kualitas komunikasi (Fuch, 2023).

Diskusi demokratis dapat terjadi di mana saja termasuk warung kopi lalu video dan foto kegiatannya dapat disebarkan ke media digital. Ilustrasi foto: Penulis.

Deliberasi demokratis bisa berjalan maka dibutuhkan institusi penopang. Jurnalisme yang berkualitas, media publik yang independen, dan bahkan internet yang dirancang untuk kepentingan publik adalah fondasi penting bagi kehidupan demokrasi. Ketiganya memungkinkan informasi yang relevan dipublikasikan, isu-isu politik diperdebatkan secara terbuka, dan masyarakat belajar serta tumbuh melalui partisipasi bersama. Tanpa media publik yang sehat, deliberasi akan mandek, digantikan oleh propaganda atau dominasi informasi sepihak.

Di era digital, pembahasan demokrasi tidak bisa dipisahkan dari teknologi komunikasi. Demokrasi di era digital berbicara tentang bagaimana praktik demokrasi dimediasi oleh teknologi digital sekaligus bagaimana masyarakat demokratis didukung oleh teknologi digital. Artinya, platform digital tidak boleh hanya menjadi alat komersial atau instrumen kekuasaan elit, melainkan ruang publik yang benar-benar terbuka untuk partisipasi warga.

Namun, demokrasi digital tidak netral. Di balik layar, ada dinamika politik-ekonomi yang menentukan siapa menguasai data, siapa punya kuasa algoritma, dan siapa diuntungkan dari model bisnis digital. Karena itu, analisis demokrasi komunikatif dan digital perlu menyentuh isu kepemilikan, kelas, kapitalisme, dan perjuangan sosial. Demokrasi sejati hanya bisa tegak jika sistem komunikasi digital tidak dikuasai segelintir perusahaan raksasa, melainkan dikelola secara demokratis oleh masyarakat (Fuch, 2023).

Dalam kerangka humanisme Marxis, demokrasi komunikatif menuntut agar media, teknologi digital, dan ruang publik diorganisir secara partisipatif. Demokrasi disebut sosialis-kolektif jika ia mengupayakan kebaikan bersama di sektor ekonomi, politik, maupun budaya bagi semua manusia. Sosialisme-kolektif disebut demokratis jika ia memastikan pengelolaan ekonomi berlangsung secara terbuka dan setara. Keduanya saling melengkapi demi menghadirkan masyarakat yang lebih manusiawi.

Implikasi praktisnya jelas bahwa sistem komunikasi, termasuk media digital, seharusnya tidak berfungsi sebagai diktator yang dikendalikan oleh segelintir elite pemilik modal. Sebaliknya, ia harus menjadi sistem publik yang demokratis dimiliki, dikelola, dan diawasi oleh pekerja komunikasi serta warga. Dengan begitu, media benar-benar bisa berperan sebagai penopang deliberasi demokratis, bukan sekadar mesin iklan atau instrumen kekuasaan (Fuch, 2023).

Alhasil, di tengah krisis kepercayaan terhadap politik formal hari ini yang dikuasai oleh segelintir elit, gagasan demokrasi deliberatif menghadirkan perspektif segar terutama bagi Gen Z yang membutuhkan komunikasi dan trust. Demokrasi bukan sekadar hitung suara dan mengumpulkan kekayaan, melainkan proses panjang yang bertumpu pada komunikasi sejajar dan partisipasi bermakna menuju keadilan sosial.

Memperkuat ruang publik demokrasi yang komunikatif baik melalui aktivisme warga, jurnalisme independen, media layanan publik, maupun internet yang mudah diakses oleh siapapun, rakyat Indonesia terutama Gen Z bisa memastikan bahwa demokrasi bukan hanya slogan kosong, melainkan kenyataan hidup dialektis dan tanggung jawab menuju kesetaraan dan keadilan sosial.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image