Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Thresia Antiq

Jejak Do'a di Tanah Suci

Sastra | 2025-09-13 13:16:41

Angin sore menyusup lembut melalui jendela ruang tamu Bu April. Di ruang tamu sekaligus ruang belajar, seorang guru les privat itu tengah membaca buku soal-soal latihan. Setelah kesibukan harian selesai, bu April beristirahat di kamarnya, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan WhatsApp muncul di layar. Dari Radeya.

"Bu, besok aku mau umroh, mau titip doa apa?" tulisnya singkat.

Radeya, anak laki-laki yang sudah menjadi murid lesnya sejak kelas 5 SD, kini telah duduk di kelas 8. Ia bukan hanya murid, tapi juga keponakan jauhnya (anak dari sepupunya sendiri). Sejak kecil, Radeya dikenal sebagai anak yang cerdas, kritis, dan suka bercerita. Selalu ada saja topik yang ingin ia bahas saat belajar, dari pelajaran sekolah, isu yang sedang ramai, hingga lelucon yang sering membuat ruangan itu pecah oleh tawa.

Dengan hati-hati, Bu April mengetik balasannya. “Titip doa ya, semoga Bu April juga bisa segera ke Tanah Suci. Bisa beribadah di sana dengan tenang. Dan semoga Allah lancarkan semua urusan. Hati-hati ya, Nak. Semoga umrohnya mabrur....” Setelah menekan kirim, ia meletakkan ponsel dan tertidur. Mendengar kabar itu ia turut senang Radeya akan menunaikan ibadah yang mulia, dan itu di bulan Ramadan pula, bulan ketika doa-doa terbang setinggi langit.

Keesokan paginya tepatnya pukul 03.00 WIB, saat membuka ponselnya, Bu April mendapati balasan dari Radeya. “Habis ini aku berangkat, Bu.” Tak butuh waktu lama, ia pun membalas dengan kalimat penuh doa, “Semoga Allah lancarkan ibadahmu, Nak. Jaga diri baik-baik di sana.”

Hari-hari setelah keberangkatan Radeya berjalan seperti biasa. Kelas-kelas les masih berlangsung di bulan puasa, meskipun ada ruang kosong dalam jadwal. Beberapa kali, Bu April membuka pesan terakhir Radeya, membacanya ulang dengan rasa haru. Senyumnya hadir, tapi samar.

Namun, lima hari setelah keberangkatan itu, sebuah kabar buruk mengguncang. Seorang kerabat memberi kabar di sore hari, saat Bu April sedang bersantai setelah kelas.

“Radeya...dia kecelakaan di Mekkah,” kata orang itu.

“Astaghfirullah kecelakaan gimana?” tanya Bu April dengan nada panik.

“Mobil yang ditumpangi dia dan budenya terbakar budenya meninggal di tempat. Radeya luka bakar 60 persen. Sekarang dirawat intensif.”

Bu April terdiam dan duduk lemas. Air mata jatuh tanpa diminta, mengalir seperti sungai yang kehilangan bendungannya. Tak bisa ia bayangkan bagaimana kondisi Radeya, anak yang penuh semangat dan selalu tersenyum, kini harus berjuang menahan sakit begitu berat di tanah yang jauh dari rumah dan ayah ibunya.

Hari berganti minggu. Doa demi doa terus dipanjatkan oleh Bu April. Pada setiap sujudnya, nama Radeya tak pernah absen ia sebut. Ia terus berharap, Radeya bisa sembuh, bisa kembali ke rumah, dan duduk lagi di ruang tamu itu, bercerita panjang lebar dengan penuh semangat.

Namun, harapan itu akhirnya pupus. Empat bulan setelah kecelakaan itu, kabar duka datang. Radeya menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit Arab Saudi. Allah lebih menyayanginya. Kepergian Radeya menjadi pukulan berat bagi Bu April. Tangisnya pecah. Dunia seolah berhenti sejenak. Ia tak bisa berkata apa-apa selain, “Ya Allah Radeya ”

Beberapa hari kemudian, jenazah Radeya dipulangkan ke tanah air. Rumah duka dipenuhi oleh keluarga, sanak saudara, teman-teman sekolah, dan para guru yang mengenalnya. Tangis mengiringi setiap takbir dan doa yang dipanjatkan. Di antara kerumunan itu, Bu April berdiri dengan mata sembab, memandangi peti jenazah dengan hati yang hancur.

“Selamat jalan, Radeya. Bahagia di sisi Allah ya, Nak...Terima kasih sudah jadi bagian indah dalam hidup Ibu,” bisiknya pelan, suaranya bergetar.

Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa kehilangan itu. Namun satu hal yang ia tahu pasti, doa terakhir yang dititipkan kepada Radeya telah sampai. Dan kini, ia menitipkan lagi satu doa, bukan untuk dirinya, tapi untuk Radeya.

"Selamat jalan, Nak...semoga langkahmu ringan menuju surga-Nya. Engkau telah lebih dulu memenuhi panggilan Ilahi di Tanah Suci, tempat yang kita semua rindukan. Doa-doamu akan tetap hidup bersama Ibu. InsyaAllah, suatu hari nanti, Ibu akan menyusul menapaki jejakmu, menghadap Baitullah..."

Bu April menatap langit siang, seakan warna langit itu membawa pesan dari Radeya. Air matanya jatuh, namun bibirnya bergetar lirih,

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nyalah kita kembali..."

Di antara tangis dan doa, Bu April menyadari satu hal bahwa Radeya telah pergi dengan membawa doa terakhirnya, dan meninggalkan jejak iman yang tak akan pernah padam di hatinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image