Pentingnya Wajah Baru Negara Indonesia untuk Gen Z dan Tuntutan Rakyat 17+8
Kolom | 2025-09-12 17:03:28Tuntutan rakyat yang mengemuka melalui gerakan 17 plus 8 tidak bisa lagi dipandang sebagai keluhan sesaat. Ia adalah refleksi dari kekecewaan publik terhadap struktur negara yang dianggap gagal menjawab tantangan zaman. Jika tidak ada terobosan sistemik, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran stagnasi. Karena itu, perlu dipikirkan prakondisi untuk lahirnya perubahan yang hakiki.
Tantangan hari ini tidak ringan. Selain problem internal berupa ketimpangan sosial dan ekonomi, Indonesia juga menghadapi tekanan Malthusian yaitu jumlah penduduk yang besar tidak diimbangi dengan distribusi kesejahteraan. Ditambah lagi, dinamika geopolitik global membuat agenda welfare state yang selama ini dijanjikan pemerintah sulit tercapai. Negara kita kian tertinggal dalam persaingan global.
Dalam situasi ini, tawaran visioner dari para pendiri bangsa layak ditinjau kembali. Bung Hatta, misalnya, pernah menyuarakan gagasan federalisme. Negara federal diyakini lebih menjanjikan karena mampu mendistribusikan kekuasaan, sumber daya, dan peluang secara lebih merata. Jika kita belajar dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, atau bahkan Malaysia, federalisme terbukti memberi ruang yang luas bagi kreativitas dan pemerintahan lokal yang lebih adaptif.
Model negara federal juga memberi keuntungan psikologis dan material. Negara-negara Skandinavia, dengan populasi rata-rata hanya 5–6 juta jiwa, mampu mengelola masyarakatnya dengan relatif baik. Bayangkan jika Indonesia membagi pengelolaan ke dalam unit-unit federal maka birokrasi yang lebih ramping, pengawasan publik yang lebih dekat, dan generasi muda yang tumbuh dalam kultur bersih dari praktik korupsi Jakarta-sentris.
Selain reformasi struktural, pendidikan tinggi harus diperkuat sebagai motor inovasi. Wajib belajar sembilan atau dua belas tahun tidak lagi relevan. Yang dibutuhkan adalah akses universal hingga perguruan tinggi. Dengan demikian, lahir generasi yang tidak hanya melek literasi dasar, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan sains, teknologi, dan kreativitas industri. Negara yang tidak menguasai inovasi akan selamanya tertinggal.
Langkah berikutnya adalah mempercepat industrialisasi berbasis grassroots. Pertanian modern harus menjadi fondasi, karena sektor ini menyerap banyak tenaga kerja sekaligus menopang kedaulatan pangan. Industrialiasi tidak boleh hanya berorientasi pada konglomerasi besar, melainkan menyentuh usaha kecil dan menengah. Dalam kerangka ini, kebijakan hukum juga krusial di mana undang-undang perampasan aset, penerapan pajak progresif bagi orang kaya, serta kenaikan upah yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi kontemporer harus segera ditegakkan.
Namun, semua agenda ini tidak akan berhasil tanpa perubahan mentalitas elit. Kita masih terjebak dalam kutukan kolonial-feodal, di mana kekuasaan dipahami sebagai alat memperkaya diri dan mengutamakan kepentingan kelas kecil di atas penderitaan mayoritas rakyat. Pola pikir ini merusak, karena menghalangi redistribusi yang adil dan menempatkan hukum sebagai alat represi, bukan keadilan.
Alhasil, kesetaraan harus dijamin di semua lini baik ekonomi, politik, maupun hukum. Struktur hukum yang akuntabel dan sistem redistribusi yang adil adalah fondasi dari demokrasi yang sehat. Jika tidak, siapa pun presidennya, siapa pun anggota DPR-nya, dan siapa pun penegak hukumnya, akan tetap terjebak dalam sistem lama yang korup dan timpang.
Pada akhirnya, memikirkan negara baru bukanlah sekadar utopia. Ia adalah agenda realistis jika elit politik mau mendengar tuntutan rakyat dan berani mengubah fondasi sistem. Jika semua poin di atas dijalankan, kita bisa berharap lahirnya neara baru dan ekosistem politik yang kondusif bagi keadilan dan kemakmuran. Sebaliknya, jika tuntutan ini terus diabaikan, maka kondisi stagnan hari ini akan tetap menghantui Indonesia bahkan hingga puluhan tahun ke depan. Suatu kutukan lintas generasi. Semoga tidak. Hasta La Victoria Siempre.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
