Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Baitullah adalah Hati: Kajian Sufi atas QS. Al-Baqarah (2:125)

Agama | 2025-09-11 20:40:43

Penulis : Muliadi Saleh

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, 'Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang itikaf, orang yang rukuk, dan orang yang sujud!'" (QS. Al-Baqarah [2]:125)

Ayat ini, dalam pandangan para ahli fikih, menegaskan fungsi Ka’bah sebagai pusat ibadah, simbol kesatuan umat, dan kiblat shalat. Namun dalam pandangan para sufi, ayat ini jauh melampaui sekadar tata aturan ritual. Ia berbicara tentang dimensi batin, tentang rumah yang sesungguhnya: hati manusia. Sebab hati adalah Baitullah, rumah Allah yang hakiki.

Hati sebagai Ka’bah Batin

Ka’bah di Makkah adalah tanda. Ia menjadi poros lahiriah yang mengikat jutaan tubuh dalam satu arah sujud. Namun bagi para pencari Tuhan, ada Ka’bah yang lebih halus: hati. Nabi pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa dan harta kalian, tetapi Allah memandang hati dan amal kalian.”

Jalaluddin Rumi berkata: “Ka’bah sejati bukanlah bangunan batu. Ka’bah itu adalah hati seorang kekasih Allah. Pergilah tawaf di sekitarnya.” Maka seorang sufi melihat hatinya sebagai ruang suci. Jika Ka’bah di Makkah menjadi aman bagi semua orang, maka hati juga harus begitu: siapapun yang singgah di dalamnya, apapun latar belakangnya, harus merasa aman.

Maqam Ibrahim: Kedudukan Kedekatan

Ayat itu juga memerintahkan, “Jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” Secara zahir, maqam Ibrahim adalah batu pijakan Nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah. Namun dalam tafsir sufi, maqam Ibrahim adalah kedudukan spiritual Ibrahim, yaitu kepasrahan sempurna.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis: “Maqam Ibrahim adalah maqam kepasrahan. Barangsiapa beribadah di maqam itu, ia seakan menanggalkan segala kehendak selain kehendak Allah.” Shalat di maqam Ibrahim berarti menyembah Allah dengan spirit Ibrahim—ketaatan murni tanpa sisa.

Ismail dalam Jiwa Kita

Kisah Ismail adalah kisah cinta yang diuji. Ibrahim diperintahkan menyembelih anaknya, bukan untuk menumpahkan darah, melainkan untuk memutus ikatan. Ibn ‘Arabi menafsirkan, “Ismail adalah simbol keterikatan hati manusia pada selain Allah. Perintah penyembelihan adalah perintah untuk menyembelih segala belenggu itu.”

Setiap orang punya Ismail dalam dirinya: harta, ambisi, jabatan, bahkan egonya sendiri. Selama Ismail belum disembelih, kita belum sampai pada maqam tauhid. Allah tidak mau diduakan. Cinta-Nya harus murni.

Najis Batin dan Pembersihan Rumah

Allah memerintahkan Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku.” Jika secara lahiriah Ka’bah dibersihkan dari berhala, maka secara batin hati dibersihkan dari penyakit. Dengki, sombong, tamak, dan syahwat yang menyesatkan adalah najis batin.

Rumi menulis dengan puitis: “Bersihkanlah rumah hatimu dari tikus nafsu dan kelelawar syahwat, agar Sang Cahaya bisa tinggal di dalamnya.” Karena rumah yang kotor tak layak bagi tamu agung.

Tawaf dan Hari-hari Kita

Allah menyebut orang-orang yang tawaf, i’tikaf, rukuk, dan sujud. Dalam makna lahiriah, itu amalan haji. Tapi dalam tafsir sufi, tawaf adalah putaran hari-hari kita. Hidup ini tawaf mengelilingi pusat yang kita cintai.

Pertanyaannya: siapa pusat hidup kita? Apakah Allah, atau ego kita sendiri? Ibn ‘Arabi menulis, “Engkau adalah hamba dari apa yang kau kelilingi. Jika kau bertawaf pada dunia, engkau hamba dunia. Jika kau bertawaf pada Allah, engkau hamba-Nya.”

Maka, setiap aktivitas harian adalah tawaf. Jika pusatnya Allah, maka semua menjadi ibadah.

Cinta sebagai Kesetiaan

Kisah Ibrahim adalah kisah janji. Janji bahwa hati ini hanya milik Allah. Janji untuk tidak menduakan-Nya. Seorang sufi berkata: “Hati adalah singgasana Allah, jangan dudukkan selain Dia di atasnya.”

Cinta kepada Allah bukan sekadar rasa, tetapi kesetiaan. Sebagaimana Ibrahim tetap setia, meski diperintah menyembelih sesuatu yang paling dicintai.

Penutup: Ka’bah dalam Diri

Maka ayat ini bukan sekadar kisah sejarah, melainkan cermin batin. Ka’bah bukan hanya di Makkah, tetapi juga dalam dada kita. Tawaf bukan hanya di tanah haram, tetapi juga dalam hidup kita. Najis bukan hanya kotoran lahir, tetapi juga penyakit jiwa.

Rumi menutupnya dengan kalimat penuh cahaya: “Janganlah mencari Ka’bah di tanah Makkah, jika kau belum membangun Ka’bah di dalam hatimu. Ka’bah batu itu akan sirna, tetapi Ka’bah hati tak pernah lenyap.”

Tasawuf mengajarkan: bersihkanlah hati, sembelihlah Ismail, dan biarkan Allah menjadi pusat tawaf hidup kita. Hanya dengan begitu, hati kita akan benar-benar menjadi Baitullah—rumah yang aman, rumah yang suci, rumah tempat "Cahaya Allah bersemayam".

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image