Melihat dengan Hati, Memaknai dengan Cinta: Jalan Sunyi Pandangan Sufi
Agama | 2025-05-30 13:36:59Di tengah riuh kehidupan yang sering menjadikan dunia sebagai pusat segalanya, para sufi hadir seperti embun fajar yang menyejukkan pandangan. Mereka memandang bukan dengan mata biasa, tapi dengan mata hati. Mereka melihat kehidupan bukan sekadar rangkaian kejadian, tapi sebagai pesan-pesan cinta dari Tuhan yang perlu dibaca dengan keheningan dan penghayatan.
Sufi tidak sibuk menjelaskan dunia. Mereka sibuk merasakan maknanya. Dalam pandangan mereka, peristiwa bukan sekadar fakta, tapi isyarat. Derita bukan sekadar musibah, tapi undangan pulang. Bagi sufi, segala sesuatu adalah jalan menuju Tuhan — bahkan air mata.
Bila ilmuwan menggunakan logika untuk menyimpulkan, filsuf menganalisis dengan rasio, maka sufi menyerap dengan nurani dan merenung dengan cinta. Mereka tidak menyimpulkan sesuatu demi menang debat atau mencari pembenaran. Mereka menakar dengan kelembutan, menimbang dengan kasih, dan menyimpulkan dengan kerendahan hati.
Di tengah dunia yang penuh perdebatan tafsir, silang pendapat, dan saling klaim kebenaran, para sufi memilih jalan sunyi: menyatukan yang berselisih, menyembuhkan yang terluka. Mereka tidak membenturkan mazhab, tidak menyalakan api fitnah. Mereka hadir sebagai jembatan: antara dzahir dan batin, antara ilmu dan cinta, antara logika dan rahmat.
Pandangan sufi berdiri bukan untuk menolak pandangan lain. Tapi untuk melengkapi, melembutkan, dan menenangkan. Dalam semesta kebenaran, sufi adalah sisi malam yang meneduhkan, bukan siang yang menyilaukan. Mereka mengajarkan kita untuk menunduk sebelum menilai, dan menangis sebelum menghakimi.
Jalan sufi adalah jalan cinta, bukan sekadar dalam makna romantik, tapi cinta yang transenden. Mereka mencintai Tuhan bukan karena takut neraka atau ingin surga, tapi karena cinta itu sendiri adalah surga. Dalam cinta itulah mereka menemukan kekuatan untuk memaafkan, memberi, dan tetap bersyukur dalam kehilangan.
Cinta yang diajarkan para sufi bukan hanya tertuju pada Tuhan, tapi menjalar ke seluruh makhluk-Nya. Maka mereka bisa melihat keagungan Tuhan pada anak kecil yang tertidur, pada orang tua yang letih di sudut pasar, pada hujan yang jatuh diam-diam. Segalanya adalah tanda. Segalanya adalah bahasa cinta.
Menjadi sufi di zaman kini bukan berarti menjauh dari dunia, tapi menjalani dunia tanpa diperbudak dunia. Menjadi sufi adalah menjaga hati tetap jernih di tengah lumpur ambisi, menjaga nurani tetap hidup meski diterpa hiruk-pikuk zaman.
Kita semua bisa belajar dari pandangan mereka: dari cara mereka menunda penilaian, dari cara mereka mendekati hidup dengan kasih. Dunia tidak kekurangan orang cerdas, tapi kekurangan orang lembut. Tidak kekurangan pengetahuan, tapi kekurangan penghayatan. Tidak kekurangan pemahaman, tapi kekurangan pemaknaan.
Sufi mengajarkan bahwa makna terdalam tidak selalu ditemukan di buku, tetapi dalam keheningan. Dalam sujud panjang. Dalam air mata yang jatuh diam-diam.
“Tugas kita bukan mencari cinta, tetapi menemukan penghalang-penghalang yang kita bangun terhadap cinta itu sendiri.” — Rumi
Di tengah dunia yang serba tergesa, semoga kita sempat berhenti sejenak, memandang hidup dengan mata hati, dan mulai menata kembali cinta dalam diri.
Tentang Penulis:
Muliadi Saleh adalah penulis dan penggagas Cinta Masjid Cinta Al-Qur’an (CMCA), alumnus Pesantren IMMIM, tinggal di Makassar. Aktif menulis esai, opini, dan artikel ilmiah populer bertema kebudayaan, spiritualitas, dan kemanusiaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
