Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muliadi Saleh

Hijrah dalam Perspektif dan Tradisi Para Wali

Agama | 2025-06-26 17:43:14

Oleh: Muliadi Saleh

Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban

Hijrah: Jejak Jiwa yang Berpindah

Hijrah bukan sekadar berpindah tempat. Ia adalah perjalanan ruhani dari gelap menuju terang, dari ego menuju tauhid, dari dunia menuju Allah. Sebuah perpindahan besar dalam ruang batin dan kesadaran diri.

Sebagaimana Nabi Muhammad SAW meninggalkan Makkah menuju Madinah, hijrah telah menjadi tonggak peradaban. Para wali menafsirkan hijrah lebih dari sekedar perpindahan geografis. Bagi mereka, hijrah adalah proses pencucian jiwa, peralihan dari nafsu amarah ke nafsu muthma'innah. Dari diri yang terbelenggu dunia, menuju insan yang merdeka dalam cinta Tuhan.

Allah SWT berfirman:

"Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak."

(QS. An-Nisa: 100)

Ayat ini bukan hanya bicara soal pindah tempat, tapi membuka makna hijrah sebagai peluang perubahan nasib dan ruhani.

Hijrah dalam Tradisi Para Wali: Dari Makna ke Laku

Wali-wali Allah, para pewaris nubuwah, tak hanya mengajarkan tauhid lewat lisan, tapi menghidupkannya dalam tindakan dan tradisi. Dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, kita temui jejak hijrah yang bukan sekadar perpindahan dakwah, tapi juga hijrah spiritual yang penuh kesabaran dan kasih sayang.

Syekh Yusuf Al-Maqassari berhijrah dari tanah Bugis ke Mekkah, Yaman, hingga Afrika Selatan, menebar ilmu dan ruh jihad yang lembut namun teguh. Dalam surat-suratnya, beliau menulis:

"Hijrah sejati adalah hijrah dari sifat kebinatangan menuju sifat malaikat. Dari cinta dunia menuju cinta Allah."

Sementara Imam Lapeo, sang wali dari tanah Mandar, memaknai hijrah sebagai laku khidmat kepada umat. Ia tidak meninggalkan kampungnya, namun membawa jiwanya berhijrah menuju kepasrahan dan zikir yang tak henti.

Dalam pesan-pesan beliau yang dikisahkan murid-muridnya:

“Hijrah itu zikir. Bila lidahmu mengingat Allah, maka kakimu akan melangkah di jalan-Nya.”

Begitu pula Wali Songo, para pembaharu dan penjaga Islam di Jawa, mempraktikkan hijrah dalam bentuk kesenian, pertanian, akhlak, dan pendidikan. Sunan Kalijaga misalnya, berhijrah dari dunia premanisme menuju dunia sufi yang melantunkan tembang-tembang cinta Ilahi.

Hadits dan Warisan Hikmah

Rasulullah SAW bersabda:

"Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah."

(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjadi fondasi pemahaman para sufi dan wali bahwa hijrah sejati adalah membebaskan diri dari syahwat, amarah, dan kesia-siaan, menuju pengabdian hakiki kepada Tuhan.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis:

"Hijrah bukan semata meninggalkan negeri, tetapi meninggalkan maksiat dengan istiqamah menuju cahaya kebenaran dan keindahan batin."

Bagi para wali, hijrah adalah perjalanan batin yang sepi tapi sakral. Ia bukan pameran, tapi latihan sunyi. Bukan keramaian, tapi tafakur. Ia membentuk kepribadian mukmin yang tahan godaan dunia dan sabar menghadapi ujian zaman.

Dimensi Tasawuf dalam Hijrah

Para sufi menjadikan hijrah sebagai maqam dalam suluk—tahapan perjalanan ruhani menuju Allah. Dalam pandangan Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari, hijrah sejati adalah perpindahan dari satu tingkatan maqam ke tingkatan yang lebih tinggi.

Dalam Al-Hikam, beliau berkata:

"Engkau berhijrah bukan untuk mengubah takdir, tapi untuk mempertemukan dirimu dengan Sang Penentu takdir."

Hijrah bukan hanya perubahan arah fisik, melainkan perubahan arah hati. Dari lalai ke sadar, dari keluh ke syukur, dari khawatir ke yakin.

Hijrah sebagai Gerakan Sosial dan Budaya

Di tangan para wali, hijrah bukan hanya konsep spiritual individual, tapi juga menjadi gerakan sosial yang membentuk peradaban. Mengubah adat yang menyimpang menjadi tradisi yang Islami. Menggeser budaya kekerasan menjadi budaya kasih sayang. Meninggalkan sikap egoisme menjadi semangat kolektif dan ukhuwah. Membangun tatanan sosial yang adil dan beradab.

Seperti yang diajarkan oleh Anregurutta Ambo Dalle:

“Hijrah bukan semata menuntut ilmu, tapi menjadikan ilmu itu cahaya yang menyinari kampung halaman.”

Menafsir Ulang Hijrah di Zaman Now

Hari ini, umat Islam menghadapi tantangan globalisasi, digitalisasi, dan sekularisasi nilai. Maka hijrah yang kita butuhkan bukan hanya pindah rumah atau kota, tapi pindah dari kemalasan menuju produktivitas, dari konsumtif menjadi kreatif, dari keluh menjadi solusi.

Hijrah digital, hijrah ekologis, hijrah intelektual—semua adalah bentuk-bentuk kontemporer dari semangat para wali: membentuk manusia yang utuh dan peradaban yang luhur.

Hijrah adalah kesadaran baru untuk tidak menjadi umat yang hanya ikut arus zaman, tapi menjadi umat yang membentuk arus sejarah dengan nilai-nilai langit.

Menjadi Wali Kecil di Jalan Hijrah

Hijrah adalah kerja seumur hidup. Dan setiap kita, sesungguhnya dipanggil menjadi wali kecil, pelanjut tradisi para kekasih Allah: menjaga iman, menyuburkan akhlak, dan menyalakan lentera harapan di tengah kegelapan zaman.

Di bulan Muharram ini, tahun baru hijriyah bukan sekadar momentum seremonial, tapi panggilan untuk menyusun ulang arah hidup kita. Menengok jejak para wali, kita tahu: hijrah adalah seni menapaki jalan Tuhan, dengan cinta, sabar, dan istiqamah.

"Sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati."

(QS. Yunus: 62)

Semoga kita semua senantiasa diberi kekuatan untuk berhijrah—dalam langkah, dalam pikiran, dan dalam hati—menuju Allah, sebagaimana para wali yang telah lebih dahulu menempuh jalan ini dengan cinta dan cahaya.

Penulis: Muliadi Saleh

Penulis, Pemikir, dan Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image