Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image AIVRE 2021

Rakyat Jadi ATM Negara : Saatnya Bongkar Sistem Pajak

Agama | 2025-09-11 08:23:32
credit by : pixabay

Awal 2025, masyarakat di berbagai daerah Indonesia diguncang keresahan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melonjak tajam hingga 250 sampai 1200 persen di Pati, Jombang, Bone, Cirebon, dan sejumlah wilayah lain. Lonjakan ini tak hanya memberatkan rakyat, tetapi juga memicu demonstrasi besar. Kepercayaan publik terhadap pemerintah pun kian merosot.

Namun, pajak sebenarnya bukan sekadar urusan teknis fiskal. Di baliknya ada persoalan lebih besar: sistem ekonomi yang melandasi kebijakan tersebut. Kapitalisme, dengan turunannya yaitu neoliberalisme, menempatkan pajak sebagai instrumen permanen untuk menopang negara, tetapi justru sering berujung pada beban rakyat. Pertanyaannya, bagaimana kapitalisme melahirkan neoliberalisme yang makin mencekik, dan bagaimana Islam kaffah menawarkan alternatif?

Kapitalisme: Dasar dari Sistem Pajak

Kapitalisme lahir dengan prinsip kepemilikan privat atas sumber daya dan dorongan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Dalam sistem ini, negara menjadikan pajak sebagai tulang punggung:

1. Untuk membiayai administrasi dan menjaga stabilitas.

2. Untuk redistribusi kekayaan melalui pajak progresif, seperti dalam konsep welfare state.

3. Untuk regulasi, misalnya melalui cukai atau tarif tertentu.

Negara-negara Skandinavia kerap dipuji karena berhasil memakai pajak besar untuk membiayai layanan publik berkualitas. Tapi di sisi lain, model kapitalisme liberal ala Amerika Serikat menunjukkan wajah lain: pasar dibiarkan sebebas mungkin, negara minim campur tangan, sementara jurang kesenjangan makin lebar. Artinya, apapun modelnya, pajak tetap menjadi beban rutin yang harus ditanggung masyarakat.

Neoliberalisme: Kapitalisme dengan Wajah Baru

Pada 1970-an, dunia dilanda krisis stagflasi: ekonomi mandek, inflasi tinggi. Model welfare state dianggap gagal. Dari situlah ide-ide neoliberal mendapatkan momentum.

Tokoh seperti Friedrich Hayek dan Milton Friedman menyerukan pengurangan peran negara, deregulasi, dan privatisasi. Pasar dipandang lebih efisien daripada negara. Ide ini lalu diterapkan secara nyata oleh Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika.

Melalui IMF dan Bank Dunia, paradigma neoliberal kemudian disebarkan ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Hasilnya? Negara semakin berperan sebagai “penjaga” kepentingan pasar, bukan pelindung rakyat.

Pajak dalam Sistem Neoliberal

Dalam neoliberalisme, pajak diarahkan bukan untuk kesejahteraan, melainkan untuk menjaga disiplin fiskal dan menarik investor. Korporasi besar mendapat fasilitas tax holiday, tarif pajak rendah, bahkan keringanan luar biasa. Sebaliknya, rakyat kecil harus menanggung beban melalui PPN, PBB, dan berbagai pungutan lainnya.

Lebih ironis lagi, meski Indonesia kaya sumber daya alam, pengelolaannya banyak diprivatisasi. Hasilnya tidak dinikmati rakyat, tetapi keuntungan tetap mengalir ke segelintir pihak. Sementara rakyat dipaksa membayar pajak demi menutup defisit negara.

Indonesia: Rakyat Jadi Tulang Punggung

Tahun 2024, penerimaan pajak Indonesia mencapai Rp2.309 triliun atau 82,4% dari APBN. Namun, APBN tetap defisit Rp309 triliun sehingga ditutup dengan utang. Artinya, fondasi fiskal Indonesia rapuh karena bertumpu berlebihan pada pajak rakyat.

Kenaikan PBB hingga ribuan persen pada 2025 menunjukkan logika neoliberal bekerja: negara mencari jalan pintas dengan membebani rakyat, sementara hasil pengelolaan SDA tidak kembali kepada mereka.

Dampak yang Terasa

Neoliberalisme melahirkan ketidakadilan. Kelompok miskin makin terhimpit oleh pajak konsumsi harian, sementara subsidi terus berkurang. Kelas menengah pun menjerit karena kewajiban fiskal yang tinggi menggerus daya beli.

Di sisi lain, korporasi dan investor justru mendapat insentif melimpah. Ketimpangan ini memicu demonstrasi besar 2025—sebuah tanda nyata krisis legitimasi fiskal. Rakyat bertanya: mengapa kami terus diperas, sementara negara kaya sumber daya alam?

Islam Kaffah: Paradigma Alternatif

Islam kaffah menghadirkan konsep keuangan negara yang adil dan berpihak pada rakyat. Dalam Islam, harta dibagi menjadi tiga kategori: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

1. Individu: zakat, sedekah, hibah.

2. Umum: SDA seperti tambang, hutan, energi dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.

3. Negara: jizyah, kharaj, ganimah, fai’, usyur, khumus.

Dengan model ini, negara tidak menggantungkan diri pada pajak. Pajak (dharîbah) hanya boleh dipungut saat darurat, misalnya ketika baitulmal kosong. Itupun hanya dari kalangan kaya, bukan rakyat miskin.

Berbeda jauh dengan sistem kapitalisme, Islam menjadikan pajak sebagai instrumen tambahan, bukan utama. Hal ini memastikan beban fiskal tidak menjerat rakyat.

Kesimpulan

Kapitalisme menanamkan sistem pajak permanen, neoliberalisme memperparah dengan privatisasi SDA dan pajak regresif. Hasilnya adalah jeritan rakyat yang memuncak dalam demonstrasi 2025.

Islam kaffah menawarkan solusi: negara yang kuat dengan baitulmal, pajak hanya darurat, dan rakyat terlindungi dari pungutan zalim. Maka, reformasi sejati bukan sekadar menaikkan atau menurunkan tarif pajak, melainkan berani mengganti paradigma ekonomi yang rusak dengan sistem Islam kaffah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image