PBNU, Renstra, dan Jalan Panjang Peradaban: Dari Quick Win ke Legacy Bangsa
Pendidikan dan Literasi | 2025-09-08 16:12:43
Pendahuluan: NU, Negara, dan Zaman yang Bergerak
Ada kalimat bijak yang kerap didengar dalam lingkaran intelektual pesantren: “Barang siapa tak menyiapkan strategi, ia sedang menyiapkan kegagalan.” Kalimat sederhana ini seakan menemukan konteks paling nyata ketika PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menyusun Rencana Strategis (Renstra) 2023–2027. Bukan sekadar dokumen birokratis, Renstra ini lahir di persimpangan sejarah: di satu sisi, NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia Islam sedang menghadapi kompleksitas internal–eksternal; di sisi lain, Indonesia tengah bersiap memasuki babak baru pasca-Pemilu 2024, lengkap dengan RPJMN 2025–2029.
Renstra PBNU tak bisa hanya dipandang sebagai “dokumen internal organisasi.” Ia adalah peta jalan kebudayaan, politik, dan peradaban. Jika dibaca cermat, Renstra ini sesungguhnya merupakan ikhtiar NU meneguhkan diri sebagai aktor strategis bangsa: penjaga tradisi, penggerak transformasi, sekaligus penjamin masa depan umat.
NU dan Tantangan Konteks Kebangsaan
NU berdiri dengan visi besar: “Menjadi jam’iyah diniyah Islamiyah ijtima’iyah yang memperjuangkan tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, mewujudkan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, kesejahteraan, keadilan, dan kemandirian, serta rahmat bagi semesta.” Visi ini bukan jargon. Ia adalah janji sejarah.
Namun, mari jujur: dalam praktik, banyak capaian NU yang berjalan sporadis. Hasil Muktamar, Rakernas, hingga forum-forum penting kerap melahirkan gagasan besar, tetapi implementasi kadang tersendat oleh tumpang tindih program, kurang sinkronisasi, bahkan jebakan administratif. Renstra kali ini mencoba menutup jurang itu dengan konsep Program Strategis Nasional (PSN) dan Quick Win.
Bayangkan NU sebagai kapal besar. PSN adalah arah kompas, sementara Quick Win adalah layar tambahan agar kapal bisa segera bergerak meski angin perubahan begitu kencang.
Misi Besar: Islam Nusantara sebagai Solusi Peradaban
Dalam Renstra, tiga misi PBNU tampak sederhana, tapi sebenarnya radikal:
Mengembangkan gerakan Islam moderat (tawassuth), seimbang (tawazun), adil (i’tidal), dan toleran (tasamuh). Dunia sedang mengalami polarisasi: ekstremisme agama di satu sisi, sekularisme ekstrem di sisi lain. NU menempatkan diri di tengah, bukan sebagai kompromi, melainkan posisi peradaban..
Khidmah sosial untuk meningkatkan kualitas SDM dan kemandirian NU. Kata kuncinya adalah kemandirian. Di era ketergantungan pada negara dan donatur internasional, NU ingin membalik narasi: NU harus bisa menghidupi dirinya sendiri sekaligus menyejahterakan jamaahnya.
Mempengaruhi kebijakan publik agar berpihak pada masyarakat. Inilah wilayah yang kerap menimbulkan kontroversi. Banyak yang menuduh NU terlalu dekat dengan politik. Tapi mari jernih: tanpa pengaruh kebijakan, aspirasi jutaan warga NU akan tercecer dalam retorika tanpa daya tawar.
Quick Win: Antara Realisme dan Simbol
Quick Win dalam Renstra PBNU terasa segar. Ada publikasi pesan Aswaja di berbagai platform, pelayanan dakwah ke daerah 3T, pemanfaatan teknologi digital untuk dakwah, hingga pembentukan Pusat Studi Perdamaian Dunia dan NU Scholarship Peradaban Internasional .
Namun, di sinilah tantangan muncul:
Apakah Quick Win sekadar checklist tahunan agar terlihat ada gerakan?. Atau benar-benar bisa menjadi model keberlanjutan?
Ambil contoh NU Scholarship Peradaban Internasional. Jika sekadar beasiswa, banyak lembaga lain sudah melakukannya. Tetapi jika NU mampu merancangnya sebagai jembatan kaderisasi global, maka ini bisa menjadi soft power Islam Nusantara yang mendunia. NU bukan hanya eksportir ustaz, tapi juga eksportir gagasan moderasi.
Kemandirian Ekonomi: Dari Retorika ke Aksi
PBNU menempatkan kemandirian ekonomi sebagai salah satu pilar Renstra. Ada pembentukan Badan Pengelolaan dan Pengembangan Aset NU, kerjasama CSR dengan BUMN/BUMD, hingga peluang dari donor internasional .
Tapi mari kritis. Sudah puluhan tahun jargon kemandirian ekonomi NU digaungkan. Faktanya, sebagian besar warga NU masih bergelut dengan problem struktural: petani miskin, nelayan terpinggirkan, guru madrasah honor rendah.
Renstra baru ini harus berani mengambil langkah tidak populer tapi perlu:
Profesionalisasi badan usaha NU. Jangan lagi sekadar “badan usaha papan nama.”.
Menerapkan KPI ketat untuk semua pengelola aset..
Mengintegrasikan potensi warga NU (koperasi pesantren, UMKM santri, jejaring diaspora).
Jika ini berhasil, kemandirian ekonomi NU bukan lagi jargon, melainkan model ekonomi kerakyatan abad 21.
NU dan Negara: Relasi yang Abadi?
Renstra PBNU disusun dengan kesadaran akan RPJMN 2025–2029 . Ini menegaskan satu hal: NU ingin selaras dengan arah pembangunan negara.
Pertanyaan kritis: apakah ini bentuk kedekatan sehat, atau justru jebakan ketergantungan?
Bagi saya, jawabannya bergantung pada cara NU mengelola jarak politik. NU harus tetap menjaga critical engagement: dekat untuk memengaruhi, tapi cukup jauh agar tetap independen. Jika terlalu dekat, NU bisa larut dalam pragmatisme politik. Jika terlalu jauh, NU kehilangan daya tawar.
Di sinilah seni politik kebangsaan NU diuji.
Digitalisasi Dakwah: Antara Kitab Kuning dan TikTok
Salah satu gagasan Renstra yang menarik adalah digitalisasi kitab kuning . Ini bukan sekadar scanning teks klasik lalu diunggah ke internet. Ini tentang bagaimana warisan intelektual pesantren bisa bertransformasi dalam format digital yang ramah generasi Z dan Alpha.
Bayangkan: Tafsir Jalalain dibaca lewat aplikasi interaktif, Fathul Mu’in tersedia dalam bentuk podcast, atau Al-Hikam disajikan dalam potongan video TikTok berdurasi satu menit tapi penuh makna.
Jika NU gagal masuk ke ruang digital, jangan heran jika anak-anak muda lebih hafal “quotes motivasi” dari selebgram ketimbang mutiara hikmah Imam Al-Ghazali.
Dimensi Global: NU dan Diplomasi Kemanusiaan
Renstra PBNU juga menyebut penggalangan bantuan untuk Palestina, Sudan, dan negara lain . Ini langkah penting. NU tak lagi sekadar bicara dalam forum nasional, tapi mulai menempatkan diri sebagai aktor kemanusiaan global.
Ini sejalan dengan gagasan “Islam rahmatan lil alamin”. Dunia saat ini sedang mencari model Islam yang damai, humanis, dan solutif. NU punya modal kultural itu.
Tetapi, diplomasi kemanusiaan NU harus dikelola profesional, bukan hanya seremonial. Jika tidak, bantuan kemanusiaan bisa terjebak dalam romantisme solidaritas tanpa sistem akuntabilitas.
Renstra sebagai Legacy, Bukan Sekadar Dokumen
Satu poin penting dalam Renstra adalah penekanan pada legacy . Kata ini penting. Banyak organisasi sibuk dengan program jangka pendek, lupa menanam warisan jangka panjang.
Bagi NU, legacy itu bisa berupa:
Sistem pendidikan digital pesantren yang mendunia.
Kemandirian ekonomi warga NU yang konkret.
Pengaruh kebijakan nasional yang membela kaum lemah.
Jejaring internasional yang menempatkan NU sebagai mercusuar Islam moderat.
Jika Renstra ini berhasil dijalankan, maka pada 2027 nanti NU tidak hanya punya catatan program, tetapi juga jejak sejarah yang sulit dihapus.
Penutup: Dari Dokumen ke Aksi
Renstra PBNU 2023–2027 ibarat kompas. Tapi kompas tak ada artinya jika kapal tidak berlayar. Tugas NU kini adalah menjadikan dokumen ini sebagai gerakan nyata: di masjid, pesantren, kampus, parlemen, hingga ruang digital.
NU adalah arus besar umat Islam Nusantara. Dengan Renstra ini, NU punya peluang meneguhkan diri sebagai aktor global yang bukan hanya menjaga warisan masa lalu, tetapi juga menulis masa depan peradaban.
Pertanyaannya: apakah kita siap bergerak, atau hanya akan menjadikan Renstra sebagai “dokumen indah di rak kantor PBNU”?
Jawabannya, tentu ada pada kita semua
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
