Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfin Nur Ridwan

Dakwah yang Tersesat di Jalan Tol Proyek Strategis Nasional

Politik | 2025-06-11 08:30:23
Ilustrasi: AI

Dulu, di desa kecil yang dindingnya masih menyesap bau tanah dan sajadahnya belum ditenggelamkan parfum donatur, seorang pemuda duduk bersila. Di hadapannya terbuka buku tafsir serta buku-buku pemikiran dari Jean Paul Sarte hingga Muhammad Iqbal, di sampingnya tergeletak majalah Suara Muhammadiyah dan risalah Muktamar NU.

Sorot matanya penuh semangat, suaranya bergetar tiap kali berbicara tentang keadilan sosial dan keberpihakan terhadap rakyat. Ia mengutip ayat-ayat Tuhan seolah dunia bisa dibenahi dari atas panggung Tanwir atau Konbes. Di titik itu, ia percaya: kekuasaan bukan tujuan, melainkan alat. Dan alat itu tak boleh membuat pemiliknya lupa tujuan.

Kini, beberapa tahun berselang, pemuda itu tak lagi duduk di surau, melainkan di ruang rapat ber-AC sentral. Peci hitamnya tetap menempel, tapi kini jadi pelengkap formal dalam sidang komisaris. Di tangannya bukan lagi tafsir atau novel Pram, tapi lembar-lembar analisis risiko investasi tambang nikel. Idealismenya tetap ada, katanya, hanya sedikit beradaptasi. “Kita tak bisa melawan sistem dari luar, kita harus masuk ke dalam.” Kalimat yang sejuk di permukaan, tapi getir bagi yang paham betapa masuk ke dalam itu seringkali berarti larut, lalu lebur, lalu hilang.

Ah, betapa gampangnya idealisme berubah bentuk menjadi retorika. Dahulu ia berseru lantang menolak tambang yang merusak tanah Papua. Kini ia menandatangani SK komisaris perusahaan tambang yang sama, sambil menyelipkan narasi “transformasi ekonomi berkelanjutan”. Retorika, kata Hannah Arendt, adalah pelumas paling licin dalam mesin kekuasaan. Ia membuat pengkhianatan pada nilai-nilai awal terasa seperti bentuk pengabdian baru.

Kita tentu tahu ketika nama Ahmad Fahrur Rozi, Ketua PBNU, muncul sebagai komisaris PT Gag Nikel. Publik bereaksi. Komentar netizen beragam. Tapi seakan sudah ada template jawabannya: “Beliau profesional, tidak membawa-bawa institusi.” Tentu saja. Karena institusi cukup dibawa dalam nama, bukan dalam tanggung jawab.

Maka kader-kader muda pun terdiam. Antara ingin marah, tapi takut dicap tidak sopan pada ulama. Ingin membela, tapi logika tak bisa dibohongi. Di sinilah sarkasme sejarah bekerja dengan halus–orang-orang yang dahulu mengajarkan amar ma’ruf, kini mengutip efisiensi pasar dan daya saing global.

Ada ironi yang menyakitkan di sini. Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU punya sejarah panjang perjuangan moral. KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah dan rumah sakit saat Belanda masih menganggap bumiputra hanya layak jadi kuli. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menyatukan umat untuk melawan penjajah, bukan untuk rebutan proyek kementerian.

Tapi kini, keturunan ideologis mereka malah bersaing dalam daftar komisaris dan posisi strategis. Lihat saja data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2021: 397 komisaris BUMN diisi oleh orang-orang yang punya afiliasi ke partai, relawan, bahkan ormas. Dan 53,9 % melakukan rangkap jabatan. Apakah ini distribusi peran? Atau distribusi kompromi?

Tentu tak semua tokoh kehilangan arah. Ada juga mereka yang menolak jabatan–seperti AR Fachruddin, Buya Hamka, Buya Syafi’i, hingga Teuku Hamid Azwar–dengan alasan menjaga independensi dan integritas nilai yang dipegangnya. Tapi mereka hanya sedikit. Dalam politik, yang viral adalah mereka yang duduk, bukan yang mundur. Kamera lebih suka menyorot pelantikan komisaris daripada pidato tolak jabatan. Barangkali itulah sebabnya surau makin sepi, sementara ruang rapat direksi makin ramai.

Tentu akan selalu ada yang membela, “Masuknya tokoh ormas ke kekuasaan adalah bentuk strategi dakwah struktural.” Tapi siapa yang mengawal struktur agar tidak menyedot nurani? Dakwah tidak akan pernah hidup jika dijalankan sambil menindas tanah adat, menghancurkan hutan, dan membungkam kritik. Apakah benar Islam rahmatan lil ‘alamin bisa disalurkan lewat pabrik nikel dan pembabatan lahan? Atau semua itu cuma akrobat lidah agar proyek tetap jalan?

Sebagai kader muda, kritik bukan sekadar hak, tapi tanggung jawab. Ketika mereka yang dulunya membimbing kita bicara soal etika kini bergandengan tangan dengan oligarki, maka diam adalah bentuk pengkhianatan. Mereka mungkin bilang: “Jangan kritik, itu senior/panutan kita.” Tapi justru karena senior, maka harus lebih dulu kita evaluasi. Karena kekecewaan terburuk bukan datang dari lawan, tapi dari panutan sendiri.

Pierre Bourdieu menyebut ini sebagai efek habitus: manusia berubah cara berpikirnya saat lingkungannya berubah. Yang dulu sederhana dan peduli, bisa berubah jadi pengatur skenario kekuasaan karena sudah terbiasa dengan rasa nyaman. Lama-lama, rasa nyaman itu membuatnya lupa bahwa surau tempat ia tumbuh, dulu tidak pernah mengajarkan kompromi dengan kezaliman.

Maka, dalam dunia yang penuh eufemisme dan bahasa teknokratis, kritik jadi satu-satunya suara yang bisa menjernihkan realitas. Kritik bukan benci. Kritik adalah bentuk cinta. Kita mengkritik bukan karena ingin menjatuhkan tokoh ormas tertentu, tapi karena ingin menyelamatkan nilai yang mereka bawa. Jika mereka lupa siapa dirinya, maka kita lah yang harus mengingatkan.

Sayangnya, hari ini banyak kader ormas Islam yang lebih memilih menjadi fans daripada menjadi penjaga. Mereka memuja tokoh, bukan mengawal nilai. Mereka lebih nyaman membuat twibbon “100 Tokoh Hebat NU/Muhammadiyah” daripada membuat riset independen soal penyimpangan etika pejabat yang berasal dari ormas untuk bahan evaluasi.

Maka wajar jika kekuasaan makin tak merasa bersalah. Kritik dari luar bisa diabaikan, kritik dari dalam sudah mati. Mereka merasa aman, karena yang pernah bersama surau pun kini ikut mendiamkan.

Peci boleh tetap hitam, jas boleh tetap licin. Tapi jangan biarkan hati ikut mengkilap karena cairan kompromi. Kita butuh suara-suara yang berani berkata: “Cukup sudah!” Karena dunia ini tidak kekurangan tokoh, yang kurang adalah keberanian untuk mengingatkan bahwa menjadi pejabat negara bukanlah maqam kenabian.

Dan jangan lupa, tidak semua yang berpakaian putih itu bersih. Kadang, justru yang tampak suci adalah yang paling pandai berkamuflase dalam lumpur kekuasaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image