Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afen Sena

Ekoteosistem Nahdlatul Ulama: Antara Filsafat, Teologi, dan Praktik Sosial-Ekologis

Eduaksi | 2025-09-29 18:37:45
Ekoteosistem Nahdlatul Ulama

(Dr. Afen Sena - Kader Penggerak Nahdlatul Ulama)

Pendahuluan

Krisis ekologi dewasa ini semakin nyata: perubahan iklim, kerusakan hutan, degradasi tanah, hingga krisis air bersih. Dampaknya bukan hanya pada lingkungan, melainkan juga pada kemanusiaan, keadilan sosial, dan bahkan geopolitik. Di tengah situasi ini, muncul kebutuhan mendesak untuk menghadirkan paradigma baru yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga filosofis, etis, dan spiritual.

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, dengan basis tradisi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, memainkan peran strategis dalam menjawab tantangan ekologi. NU bukan hanya organisasi sosial-keagamaan, melainkan juga kekuatan moral dan budaya yang memiliki kapasitas besar untuk membentuk kesadaran kolektif.

Konsep Ekoteosistem Nahdlatul Ulama hadir sebagai sintesis antara ekologi (alam), teologi (spiritualitas Islam), dan sistem sosial. Ia bukan sekadar jargon, melainkan kerangka filosofis dan praksis untuk membangun hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.

Filosofi Ekoteosistem dalam Perspektif NU

1. Teologi Tauhid sebagai Basis Ekoteosistem

NU memandang alam semesta sebagai ciptaan Allah yang mengandung tanda-tanda kebesaran-Nya (ayat kauniyyah). Prinsip tauhid mengajarkan bahwa seluruh eksistensi tidak berdiri sendiri, melainkan bergantung pada Sang Pencipta. Dari sinilah lahir kesadaran bahwa eksploitasi alam secara berlebihan adalah bentuk pengingkaran terhadap tauhid.

2. Konsep

Khilafah fil Ard. Dalam tradisi Islam, manusia diletakkan sebagai khalifah fil ard (wakil Tuhan di bumi). Bagi NU, khilafah bukan dominasi absolut atas alam, melainkan amanah untuk menjaga, merawat, dan melestarikan bumi. Oleh karena itu, perusakan ekologi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan.

3. Kesadaran Holistik (Tawazun dan Wasathiyah)

NU memiliki prinsip tawazun (keseimbangan) dan wasathiyah (moderasi). Prinsip ini menolak ekstrimisme eksploitasi maupun romantisme alam yang berlebihan. Filosofi ekoteosistem NU menekankan bahwa manusia harus mengambil manfaat dari alam secara proporsional, sembari menjaga keberlanjutannya untuk generasi mendatang.

4. Kearifan Lokal dan Tradisi Pesantren

NU tumbuh dari tradisi pesantren dan komunitas pedesaan. Filosofi hidup sederhana, gotong royong, serta keterikatan dengan tanah dan air menjadi modal sosial penting. Kearifan lokal seperti slametan bumi, nyadran, atau ruwatan alam dipandang bukan sekadar ritual budaya, tetapi ekspresi ekoteologi yang menjaga harmoni antara manusia dan alam.

Ekoteosistem dalam Praksis NU

1. Gerakan Lingkungan Berbasis Pesantren

Pesantren sebagai basis utama NU berpotensi besar menjadi pusat ekoteosistem. Beberapa pesantren telah mengembangkan Pesantren Hijau dengan praktik pertanian organik, konservasi air, dan energi terbarukan. Program ini memperlihatkan bahwa transformasi ekologi bisa berangkat dari pendidikan agama.

2. Nahdlatul Ulama dan Advokasi Ekologi

NU memiliki perangkat kelembagaan yang aktif dalam isu lingkungan, seperti Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI NU). Melalui lembaga ini, NU terlibat dalam advokasi kebijakan publik, mitigasi bencana, hingga pemberdayaan masyarakat terdampak perubahan iklim.

3. Ekonomi Ekoteosistem

NU juga mendorong lahirnya model ekonomi yang berbasis keberlanjutan. Konsep ekonomi ekoteosistem menekankan tiga nilai utama: keberlanjutan ekologis, keadilan sosial, dan keberkahan spiritual. Praktiknya bisa berupa koperasi energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan perdagangan berbasis komunitas.

4. Diplomasi Hijau NU

Sebagai organisasi dengan jejaring internasional, NU juga memainkan peran dalam diplomasi hijau. NU dapat membawa nilai ekoteosistem ke forum global, menampilkan Islam Nusantara sebagai model peradaban ekologis yang ramah lingkungan. Dengan demikian, ekoteosistem bukan hanya agenda lokal, tetapi juga kontribusi NU pada tata dunia.

Analisis Konseptual: Ekoteosistem sebagai Paradigma Baru

1. Dari Antroposentrisme ke Teo-Ekosentrisme

Paradigma modern cenderung antroposentris: manusia ditempatkan sebagai pusat, sedangkan alam sebagai objek. Ekoteosistem NU menawarkan pergeseran menuju teo-ekosentrisme, yaitu paradigma yang menempatkan Tuhan sebagai pusat, manusia sebagai khalifah, dan alam sebagai bagian integral dari sistem kehidupan.

2. Integrasi Sains, Agama, dan Budaya

Ekoteosistem NU tidak menolak sains modern, tetapi mengintegrasikannya dengan nilai agama dan budaya lokal. Misalnya, praktik climate-smart agriculture bisa digabungkan dengan nilai-nilai pesantren dan ritual keagamaan, sehingga lebih diterima masyarakat.

3. Etika Ekologi dalam Syariat Islam

Dalam fikih Islam, terdapat prinsip la dharar wa la dhirar (tidak boleh merugikan diri sendiri maupun orang lain). NU menafsirkan prinsip ini secara ekologis: merusak alam berarti merugikan generasi sekarang dan mendatang. Maka, syariat Islam dalam perspektif NU mengandung etika ekologi yang kuat.

Praktikalitas Membumikan Ekoteosistem secara Konkret dan Berkeadaban

Agar ekoteosistem NU tidak berhenti di ranah gagasan, perlu strategi konkrit untuk membumikan dalam kehidupan sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik. Praktikalitas ini mencerminkan ekoteologi yang berkeadaban: bukan sekadar teknis, melainkan juga bernilai luhur, adil, dan sesuai dengan prinsip kemanusiaan.

1. Pendidikan Ekoteosistem di Pesantren dan Madrasah

Integrasi Kurikulum Hijau: Menyisipkan mata pelajaran ekologi Islam dalam fikih, tafsir, dan akhlak. Contoh: menafsirkan ayat-ayat penciptaan sebagai dasar etika lingkungan.. Praktikum Ekologis: Pesantren mengembangkan kebun organik, bank sampah, energi surya, dan biogas. Santri belajar langsung bagaimana menjaga bumi.. Model Pesantren Hijau Nasional: NU dapat membuat standardisasi “Green Pesantren” dengan indikator keberlanjutan, efisiensi energi, dan praktik ramah lingkungan.

2. Pemberdayaan Ekonomi Hijau Berbasis Komunitas

Koperasi Energi Terbarukan: Desa-desa NU bisa mengembangkan PLTS komunal. Energi murah sekaligus pemberdayaan ekonomi warga.. Pertanian dan Perikanan Ramah Lingkungan: Mendorong agroecology dan eco-fishery berbasis tradisi lokal, sehingga warga mendapat keuntungan tanpa merusak alam.. Ekonomi Sirkular NU: Membiasakan reuse-reduce-recycle, termasuk dalam hajatan besar (misalnya Muktamar NU atau acara keagamaan), sehingga jadi teladan publik.

3. Ekoteosistem dalam Politik dan Kebijakan Publik

Advokasi Kebijakan Hijau: NU melalui PBNU dan lembaga afiliasinya bisa menjadi penekan agar negara lebih serius dalam transisi energi, penghentian deforestasi, dan pengendalian tambang.. Fatwa Lingkungan: PBNU atau Bahtsul Masail dapat mengeluarkan fatwa ekologis, misalnya haram membakar hutan, wajib melestarikan sumber air.. Gerakan “Kota NU Berkelanjutan”: Menginisiasi kota/kabupaten percontohan di mana tata ruang, transportasi, dan industri diarahkan ramah lingkungan.

4. Ekoteosistem dalam Kehidupan Beragama dan Budaya

Ritual Hijau: Setiap acara keagamaan NU seperti tahlil akbar, maulid, atau istighosah bisa disertai aksi nyata: penanaman pohon, bersih sungai, atau gotong royong sampah.. Doa Ekologi: Kiai dapat memasukkan doa khusus menjaga alam, sehingga kesadaran ekoteologis tumbuh bersama ibadah.. Revitalisasi Tradisi Lokal: Upacara tradisional yang berkaitan dengan bumi diberi makna baru: bukan sekadar budaya, tapi juga dakwah ekologis.

5. Diplomasi Ekoteosistem NU di Tingkat Global

Forum Antaragama: NU memimpin dialog lintas agama tentang perubahan iklim, memperlihatkan Islam Nusantara sebagai model hidup selaras dengan bumi.. Jaringan Ekologis Global: NU bergabung dengan gerakan dunia seperti Laudato Si’ Movement atau Faith for Earth Initiative.. Diplomasi Kultural: Menghadirkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin melalui kontribusi ekologis, sehingga NU tampil sebagai aktor moral dunia.

Tantangan Implementasi Ekoteosistem NU

Kapitalisme Global dan Ekstraksi Sumber Daya Tantangan besar datang dari kapitalisme global yang mendorong eksploitasi sumber daya secara masif. NU harus mampu menawarkan alternatif model pembangunan yang tidak sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan ekologis.. Keterbatasan Kapasitas Institusional Meski NU besar, tidak semua struktur kelembagaannya siap mengintegrasikan isu ekologi. Diperlukan penguatan kapasitas, kurikulum pesantren hijau, serta kaderisasi yang fokus pada ekoteologi.. Kesadaran Masyarakat Banyak warga NU yang masih bergantung pada aktivitas ekonomi berbasis eksploitasi alam (misalnya tambang rakyat, pembakaran hutan untuk ladang). Transformasi menuju ekoteosistem membutuhkan pendekatan kultural dan edukasi yang sabar.

Prospek Masa Depan: Ekoteosistem NU sebagai Gerakan Peradaban

Model Islam Hijau Nusantara Ekoteosistem NU berpotensi menjadi model peradaban Islam hijau yang unik. Berbeda dengan ekoteologi Barat yang cenderung sekuler, NU menggabungkan tauhid, syariat, tasawuf, dan kearifan lokal.. Kontribusi Global Dengan jaringan internasionalnya, NU dapat menjadi aktor penting dalam diskursus global tentang perubahan iklim dan keberlanjutan. Ekoteosistem NU bisa menjadi “diplomasi kultural” Indonesia di forum internasional.. Revitalisasi Pesantren sebagai Pusat Perubahan Pesantren bisa menjadi laboratorium ekoteosistem: pusat riset pertanian berkelanjutan, energi bersih, pendidikan lingkungan, hingga kewirausahaan hijau.. Gerakan Umat sebagai Agen Perubahan Dengan basis puluhan juta jamaah, NU dapat menggerakkan masyarakat untuk mengubah pola konsumsi, gaya hidup, dan cara berinteraksi dengan alam. Jika satu keluarga NU menanam pohon atau mengurangi plastik sekali pakai, dampaknya bisa sangat besar.

Kesimpulan

Ekoteosistem Nahdlatul Ulama bukan sekadar konsep normatif, melainkan paradigma baru yang mengintegrasikan filsafat, teologi, dan praksis sosial. Berangkat dari tauhid, khilafah fil ard, serta tradisi pesantren, NU menawarkan jalan tengah antara eksploitasi modern dan romantisme ekologis.

Tantangan tentu tidak ringan, mulai dari kapitalisme global hingga keterbatasan kapasitas internal. Namun dengan modal tradisi, basis sosial yang luas, serta jejaring global, NU memiliki peluang besar untuk menjadikan ekoteosistem sebagai gerakan peradaban yang membawa Islam Nusantara ke panggung dunia.

Membumikan ekoteosistem secara konkret dan berkeadaban bukan hanya mungkin, tetapi harus dilakukan: melalui pendidikan hijau, ekonomi berkelanjutan, advokasi kebijakan, diplomasi internasional, serta integrasi dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Akhirnya, ekoteosistem NU bukan hanya jawaban atas krisis ekologi, tetapi juga tawaran peradaban yang meneguhkan kembali relasi harmonis antara Tuhan, manusia, dan alam semesta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image