Mengaktifkan Etika Parlementarian
Hukum | 2025-09-06 10:50:18Kita semua sepakat bahwa pembenahan lembaga parlemen adalah suatu imperatif demokrasi saat ini. Tuntutan ini mengandaikan sebuah perubahan radikal sekaligus sistemik agar parlemen dapat secara sungguh-sungguh mengargumentasikan kepentingan warga demi investasi demokrasi jangka panjang. Perubahan radikal dan sistemik yang dimaksud akan diulas melalui aktivasi etika parlementarian yang selama ini gagal dipahami dan luput diselenggarakan.
Perubahan radikal Pertama, perubahan radikal bisa diawali dengan ketenangan kita dalam mendeteksi berbagai macam penyakit yang sedang menjangkit tubuh parlemen. Jika ditelaah lebih sabar, permasalahan ini disebabkan oleh keengganan kita –baik secara gradual maupun konstan- untuk membenahi problematika yang sudah seperempat abad lamanya menggeletak begitu saja. Fenomena itu bisa dijelaskan sebagai gejala raibnya energi reformasi dalam sistem politik kita. Gairah reformasi sebagai energi perubahan sudah lama jauh meninggalkan empunya: warga. Misalnya, parlemen hari ini bukan lagi ruang ideologis dimana percapakan warga negara diolah dan dipertengkarkan, melainkan lokasi untuk mencicil kepentingan komunal bahkan partikular. Ambisi pribadi yang tergoda oleh kenaikan tunjangan gaji menjadi contoh nyata.
Fakta itu sangat jauh berbeda dari tuntutan etika parlementarian bahwasannya argumentasi warga negara (argumentative society) adalah dalil primer bernegara. Bahkan term parlemen yang berasal dari bahasa Prancis, “parler”, memiliki makna “berbicara/bersuara”. Sebabnya: bersuara lantang, keras, nyaring, kritis terhadap kebijakan pemerintah merupakan fungsi utama parlemen. Artinya, argumentasi warga negara harus diorientasikan sebagai bahan bakar parlemen demi memastikan kebijakan negara yang berkeadilan sosial bagi seluruh warga Indonesia.
Fungsi semacam itu terbaca dalam skema mutakhir parlemen Eropa yang mulai mengandalkan kekuatan argumentasi sebagai instrumen perjuangan politik. Dengan kata lain, argumentasi terbaik lah (force the better argument) yang hanya boleh beroperasi di wilayah parlemen. Partai Buruh Inggris (the labour party) misalnya, yang berhaluan kiri (liberal-demokrat), bahkan sejak awal abad ke-21 sudah mengubah ideologi perjuangan kelasnya dari gerakan demonstrasi jalanan (aksi massa) menuju gerakan politik parlemen (pelembagaan argumen). Saat itu mereka membaca adanya pergeseran paradigma yang mengharuskan perjuangan kelas dirintis melalui perdebatan argumentatif di parlemen.
Amandemen konstitusi partai adalah cara yang mereka tempuh. Perubahan radikal itu juga terlihat tatkala Partai Hijau Inggris dan Wales (the green party of England and Wales) yang berideologi kanan, pada kisaran periode 2010-2020, mulai merubah perjuangan lingkungan dan keadilan sosialnya melalui gerakan politik parlemen. Lebih-lebih, perjuangan parlemen oleh Partai Hijau Uni Eropa berhasil diterima oleh kalangan mayoritas masyarakat dengan statistik kemenangan yang belum pernah tercapai sebelumnya di beberapa wilayah Eropa.
Era kejayaan Partai Hijau dimulai saat perolehan suara pemilu 2019 di Jerman, Prancis, Inggris menembus angka 752 kursi parlemen Eropa (voaindonesia.com, 27/05/2019), sebelum akhirnya tertatih di pemilu 2024 (kompas.id, 10/06/2024). Maka demikian, wilayah perdebatan parlemen bukan saja berdampak signifikan terhadap persentase kemenangan partai namun juga menunjukkan betapa efektif dan efisiennya kekuatan argumen sebagai arena pertarungan ideologi partai. Etika parlementarian itu yang gagal dimamah oleh parpol kita sehingga mengakibatkan penyumbatan argumentasi warga yang berujung pada situasi huru-hara demontrasi belakangan ini.
Perubahan radikal bisa dimulai melalui upaya memetakan ulang lembaga parlemen sebagai lokasi dimana argumentasi warga negara harus dikuras, diolah, dan dipertengkarkan secara habis-habisan. Perubahan radikal ini perlu dibarengi dengan perubahan sistemik kelembagaan parlemen. Perubahan sistemik Kedua, perubahan sistemik mensyaratkan transformasi di dua elemen yakni sistem partai dan sistem pemilu. Preservasi kedua bidang itu dimaksudkan untuk mengaktifkan ulang etika parlementarian dengan cara menempatkan argumentasi warga negara sebagai keutamaan politik (political virtue).
Mengapa demikian, sebab etika parlementarian yang dimaksud pernah melintasi lini masa parlemen kita sebagai hasil maupun capaian pemilu pertama tahun 1955. Walaupun digelar bersamaan dengan pelbagai krisis kenegaraan akibat revolusi kemerdekaan, pemilu pertama berhasil menelurkan performa parlemen yang argumentatif, ideologis, sekaligus konfrontatif. Perubahan sistemik bisa mereplikasi medium saat itu, bahwa perjuangan parlemen harus dilatari oleh perdebatan argumentatif-ideologis sehingga mampu menghasilkan suasana konfrontatif yang sempurna. Dari ketegangan konfrontasi itulah kesepakatan yang autentik bisa dihasilkan.
Selain menunjukkan diferensiasi ideologi partai, konfrontasi juga memastikan kontinuitas argumentasi warga negara. Konvensi kebijakan sebagai akumulasi pikiran warga hanya tercapai bila antagonisme politik ditempuh melalui perjuangan yang oleh Ernst Bloch (1959) dalam esainya “the principle of hope”, disebut the ontology of not yet. Semacam imajinasi utopia terhadap hasrat politik yang tak pernah tiba (politics of hope) dan tersimpan dalam memori kolektif warga (politics of memory). Mengembalikan politik ke wilayah intelektual Pertama, sistem parpol yang kadung feodal dan pragmatis sehingga menghasilkan kompromi-lobi antar anggota parlemen harus diorientasikan ulang melalui inspirasi pemilu 1955. Dimasa itu, tiga kekuatan besar menguasai kursi parlemen: kelompok nasionalis (PNI), islamis (MASYUMI), dan komunis (PKI). Disatu sisi, pemilu 1955 sebagai wujud demokrasi liberal (1955-1959) tidak lepas dari pelbagai persoalan. Kondisi itu bermuara pada krisis konstitusional, sebab badan konstituante sebagai perumus konstitusi baru, tak kunjung menyepakati dasar negara yang hendak digunakan. Namun disisi lain, kondisi itu sekaligus membuktikan bagaimana tarik-menarik kepentingan dibasiskan oleh perdebatan ideologi partai. Ideologinya jelas dan itu pula yang tak henti diperjuangkan di parlemen saat itu walau berujung deadlock. Parlemen harus mengembalikan ideologi politik sebagai fondasi perjuangan. Pengetatan ideologi dalam sistem kaderisasi harus dilakukan pertama-tama demi memperjuangkan ideologi warga negara. Sekolah partai wajib membuat semacam kurikulum pendidikan yang menghidupkan kuriositas kadernya sehingga perdebatan di parlemen menyuguhkan tontonan yang berkualitas bagi warga. Hal itu tidak saja memberi edukasi demokrasi namun juga mensugesti daya kritis warga agar ikut berpartisipasi secara aktif dalam mempengaruhi kebijakan negara. Kedua, perubahan sistem pemilu perlu dilakukan supaya warga tidak sekedar dihidangkan teknis-prosedural pemilu tetapi juga menstimulasi perdebatan substansial saat pencalonan parlemen berlangsung. Dalam konteks ini, diperlukan keterlibatan universitas sebagai komunitas intelektual (epistemic community) yang mampu menjadi lokasi ujian pikiran bagi calon politisi senayan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) bisa membuat semacam MoU atau bentuk kesepakatan lain bersama kampus untuk menyelenggarakan debat diluar agenda formal KPU - yang biasanya sangat kaku, formal, dan terbatas itu. Seperti menyontoh penyelenggaraan pemilu di Amerika Serikat yang selalu mengadakan debat bagi calon pemimpinnya dilingkungan universitas. Disamping menekan anggaran pemilu karena aksesnya terhitung lebih mudah, sekaligus juga mengembalikan politik kedalam wilayah perdebatan intelektual. Hanya di universitas lah ideologi dikuras habis-habisan melalui peralatan metodologis kampus. Hanya dengan cara itu pula etika parlementarian ditumbuhkan ulang. Tawaran ini sangat mudah untuk dilaksanakan bila negara, penyelenggara pemilu, dan partai politik punya kehendak baik (political will) untuk mengembalikan etika parlementarian yang sempat berlalu-lalang dalam sejarah kemerdekaan bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
