Pesta Kursi, Jeritan Jalanan
Politik | 2025-09-05 13:45:40Pemerintah Indonesia tampak sedang berpesta. Kursi kekuasaan ditambah, kementerian digandakan, dan Wakil Menteri diperbanyak. Kabinet Prabowo-Gibran kini menjadi yang paling tambun sepanjang sejarah republik dengan 48 kementerian dengan total pejabat tinggi menembus lebih dari seratus orang. Dari istana, pemandangan ini ditampilkan sebagai simbol stabilitas politik dan rekonsiliasi. Namun di luar pagar kekuasaan, rakyat justru menjerit. Tambahan kursi hanya menambah beban fiskal, sementara perut rakyat tetap kosong.
Gelombang demonstrasi sejak akhir Agustus 2025 menjadi sinyal keras. Jeritan jalanan bukan sekadar ekspresi muak pada DPR atau gaya represif aparat, melainkan akumulasi rasa frustrasi ekonomi. Retorika “efisiensi anggaran” yang digaungkan pemerintah ternyata hanya ilusi. Anggaran dipangkas di daerah, belanja publik ditekan, tetapi di pusat kursi dan jabatan terus bertambah.
Sun Tzu pernah menulis dalam The Art of War bahwa kemenangan ditentukan oleh strategi, bukan oleh jumlah pasukan. Pemerintah kita justru melakukan sebaliknya yakni menambah jumlah Menteri dan Wakil Menteri, seolah kuantitas bisa menutupi ketiadaan arah. Tan Malaka dalam Madilog mengajarkan pentingnya berpikir materialis-logis. Fakta material kita jelas, dimana anggaran negara terbatas. Namun superstruktur politik justru melebar tanpa kendali. Kontradiksi inilah yang menumbuhkan ilusi efisiensi sekaligus menyesakkan rakyat.
Data BPS memperlihatkan ironi itu. Persentase penduduk miskin pada Maret 2025 memang turun ke 8,47 persen, terendah dalam dua dekade. Tetapi di desa, angka kemiskinan masih 11,03 persen, dan di kota justru naik ke 6,73 persen. Total penduduk miskin tetap tinggi, 23,85 juta orang. Tingkat Pengangguran Terbuka Februari 2025 tercatat 4,76 persen, tetapi jumlah penganggur absolut naik menjadi 7,28 juta orang. Lebih parah, 460 ribu pekerja hanya bekerja paruh waktu sambil mencari tambahan. Inflasi tahunan Juli 2025 relatif rendah, 2,37 persen, tetapi harga beras dan biaya sekolah menjadi penyumbang utama. Angka makro terlihat indah, tetapi realitas di dapur rumah tangga tetap getir.
Ironi makin kentara ketika kita melihat BUMN. Sejumlah perusahaan pelat merah strategis masih merugi, namun direksi dan komisarisnya bergaji fantastis. Komisaris utama Pertamina, misalnya, menerima hingga Rp134 miliar per tahun, setara lebih dari Rp11 miliar per bulan. Di Bank Mandiri, PLN, dan BUMN grade I lainnya, remunerasi petinggi juga mencapai puluhan miliar rupiah per tahun. Semua itu belum termasuk tantiem, tunjangan hari raya, fasilitas transportasi, hingga asuransi kelas premium.
Yang lebih problematis, sejumlah wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Praktik ini jelas melanggar semangat putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi tetap berlangsung hingga akhirnya dipersoalkan publik. Fenomena ini menegaskan bahwa jabatan publik lebih sering dipandang sebagai ruang patronase ketimbang amanah pelayanan rakyat. Negara bermurah hati pada elit, tetapi pelit pada daerah dan rakyat kecil.
Kajian Bank Dunia dan OECD sudah lama mengingatkan bahwa fragmentasi kelembagaan dan tumpang tindih kewenangan memperbesar biaya koordinasi sekaligus mengurangi efektivitas belanja publik.
Dalam perspektif materialisme dialektika historis, kontradiksi antara kabinet gemuk dan rakyat lapar ini tak akan bertahan lama. Tesis kabinet tambun dan efisiensi semu pasti akan melahirkan antitesis berupa perlawanan sosial. Demonstrasi di jalanan adalah tanda awal. Jika pemerintah gagal membangun sintesis berupa kebijakan yang lebih ramping, transparan, dan berpihak ke rakyat, krisis legitimasi akan semakin dalam.
Efisiensi sejati bukan menghemat dengan menekan jatah daerah, melainkan memangkas pemborosan di pusat. Bukan memangkas subsidi rakyat, tetapi merasionalisasi gaji petinggi BUMN sesuai kinerja nyata. Bukan menambah kursi kekuasaan, tetapi memperkuat kursi sekolah, kursi puskesmas, dan kursi kerja bagi pengangguran muda.
Demokrasi pada akhirnya tidak diukur dari seberapa penuh kursi kabinet, melainkan seberapa jauh kebijakan negara mampu membuat rakyat kenyang, sehat, dan berdaya. Jika jeritan jalanan terus diabaikan, pesta kursi ini akan berakhir sebagai tragedi politik, ketika rakyat berhenti percaya dan jalanan kembali menjadi panggung utama koreksi sejarah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
