Hak atau Utang? Dilema Posisi Penerima Beasiswa Negara di Mata Demokrasi
Pendidikan | 2025-10-14 09:13:53
Sumber: pexels.com
Credit: Mart Production
Sepanjang sejarah Indonesia, peran mahasiswa memberikan dampak besar dalam menentukan arah politik bangsa. Peristiwa sumpah pemuda yang menjadi tonggak awal persatuan bangsa di tengah perbedaan diinisiasi oleh pemuda dan mahasiswa. Reformasi 1998 terjadi sebab perjuangan panjang elemen masyarakat terutama mahasiswa. Sampai detik ini pun, mahasiswa terus bersuara untuk memperjuangkan hak warga negara atas beberapa kebijakan pemerintah yang justru mencekik rakyat.
Dalam hal ini, penerima beasiswa dari negara kerap menghadapi kebimbangan ketika mengkritisi kebijakan pemerintah. Julukan ‘penerima beasiswa negara’ tersebut justru malah menimbulkan persepsi yang berbeda. Anggapan bahwa penerima beasiswa dari negara seharusnya diam menyaksikan kebijakan pemerintah seolah sudah mengakar kuat sebagai peraturan tidak tertulis. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah penerima beasiswa otomatis kehilangan haknya dalam bersuara dan berdemokrasi?
Mari kembali pada sumber pembiayaan beasiswa tersebut. Dana yang digunakan untuk memberikan akses pendidikan kepada para mahasiswa tersebut bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perlu dicatat, sumber penerimaan terbesar bagi APBN adalah pajak dan pungutan yang dibayarkan oleh seluruh rakyat Indonesia, dari petani hingga pengusaha. Dengan kata lain, beasiswa tersebut adalah perwujudan dari cita-cita luhur “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Inilah kesalahan yang sering terjadi. Ketika menerima beasiswa yang merupakan hak warga negara untuk menerima akses pendidikan yang baik, justru dipersepsikan seolah-olah sebagai bantuan pribadi dari pemerintah.
Fenomena ini sering dijumpai di ruang publik, terutama media sosial. Ketika penerima beasiswa seperti LPDP atau KIP-K yang menyuarakan kritik melalui media sosial, mereka justru mendapat komentar sinis: “Sama sama makan pajak rakyat kok banyak omong.” Stigma ini jelas berbahaya karena mendorong mahasiswa untuk tidak bersuara.
Stigma yang berkembang bahwa penerima beasiswa harus diam karena dibiayai oleh negara adalah keliru. Perlu ditekankan bahwa dalam hal ini pemerintah hanyalah mediator yang menyalurkan dana sesuai mandat dan tugasnya yang tertuang dalam undang-undang. Mahasiswa tidak perlu merasa berhutang budi dan ‘tidak enak hati’ kepada pemerintah. Beasiswa yang didapat bukanlah utang pribadi kepada pejabat atau partai tertentu, melainkan tanggung jawab moral dan utang kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah membayar pajak.
Negara menjamin hak setiap orang untuk mengeluarkan pendapat pada pasal 28E ayat 3 UUD 1945. Dengan landasan ini, sudah jelas bahwa penerima beasiswa memiliki hak konstitusional untuk bersuara dan dilindungi haknya. Dalam sistem demokrasi, partisipasi publik mutlak dibutuhkan. Mahasiswa penerima beasiswa memiliki posisi strategis dengan kemampuan akademik yang lebih terasah. Sebagai negara demokrasi, kebijakan yang dibuat di Indonesia harus dikomunikasikan dua arah kepada rakyat. Kritik yang dilontarkan bukan sebagai bentuk pengkhiatan kepada negara, tetapi kontribusi dalam bentuk sumbangsih pemikiran. Pemerintah memerlukan kritik tersebut untuk refleksi agar kebijakan yang dibuat lebih tepat sasaran.
Sebagai penerima beasiswa, tanggung jawab mahasiswa adalah mengembalikan uang pajak tersebut melalui inovasi dan pengabdian kepada masyarakat dari ilmu yang sudah diperoleh selama masa studi. Penerima beasiswa tidak berkewajiban menutupi dan mengikis kritik untuk pemerintah. Malah seharusnya, mereka lah yang paling vokal bersuara sebagai orang yang dibekali kemampuan analitis dan sumber daya ilmu pegetahuan untuk memberikan kritik yang konstruktif.
Dalam setiap langkah mahasiswa penerima beasiswa negara, terdapat harapan rakyat yang disisipkan dengan kesempatan menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Beasiswa bukan hadiah pribadi secara cuma-cuma, namun hak rakyat yang disalurkan melalui negara. Menerima beasiswa dari negara bukan berarti mematikan suara tetapi justru memperkuat tanggung jawab moral untuk menyurakan kebenaran.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
