Keteladanan Nabi - Jabatan adalah Amanah, Bukan Jalan Tol Menuju Kekayaan
Politik | 2025-09-05 00:35:27
JAKARTA – Di tengah maraknya kasus korupsi dan krisis integritas yang seakan menjadi penyakit kronis bangsa, solusi dari ranah hukum dan birokrasi seringkali terasa tak cukup ampuh. Publik pun semakin jenuh dengan berita penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat. Namun, cermin sejarah dari kepemimpinan Nabi Muhammad SAW lebih dari 1.400 tahun lalu menawarkan prinsip fundamental yang tajam dan relevan untuk menjawab tantangan zaman ini.
Berikut adalah tiga pelajaran utama dari keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam tata kelola pemerintahan yang berintegritas.
1. Jabatan Bukan Hak Istimewa, Tapi Amanah Mutlak
Pangkal korupsi adalah ketika jabatan dianggap sebagai jalan tol menuju kemewahan, bukan sebagai amanah dari Tuhan dan rakyat. Nabi Muhammad SAW memandang kekuasaan sebagai sebuah pertanggungjawaban mutlak.
Sikap tegas ini tecermin dalam kisah Abdullah bin al-Lutbiyyah, seorang petugas pemungut zakat. Saat kembali, ia memisahkan harta negara dengan "hadiah" yang diterimanya secara pribadi. Nabi tidak menegurnya secara diam-diam, melainkan memberikan dua pelajaran fundamental:
- Logika Anti-Gratifikasi: Beliau bertanya, "Jika engkau hanya duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, apakah hadiah itu akan datang kepadamu?". Pertanyaan ini menetapkan standar bahwa setiap pemberian yang diterima karena fasilitas jabatan adalah ilegal.
- Akuntabilitas Publik: Nabi segera naik ke mimbar dan mengumumkan peristiwa itu kepada publik. Tindakan yang disebut tasyhir ini bertujuan menciptakan sanksi sosial dan efek jera melalui rasa malu, yang seringkali lebih efektif daripada hukuman penjara.
2. Hukum Berlaku Sama, Bahkan untuk Putri Nabi
Salah satu masalah akut di Indonesia adalah hukum yang terasa tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Nabi Muhammad SAW telah menetapkan standar keadilan yang absolut.
Ketika seorang wanita bangsawan dari kabilah Bani Makhzum terbukti mencuri, para sahabat mencoba melobi agar hukumannya diringankan untuk menjaga nama baik keluarganya. Nabi dengan marah menolaknya dan mengucapkan kalimat legendaris yang seharusnya menjadi pedoman di setiap institusi hukum: "Demi Allah, andaikan Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya."
Pernyataan ini adalah sebuah deklarasi bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, baik itu anak pejabat maupun keluarga terpandang. Menurut Nabi, hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu disebabkan oleh diskriminasi hukum semacam ini.
3. Oposisi Dirangkul, Bukan Diberangus
Di era ketika kritik sering dianggap ancaman, cara Nabi mengelola perbedaan pendapat memberikan pelajaran tentang kedewasaan politik. Tokoh oposisi paling vokal saat itu, Abdullah bin Ubai bin Salul, berulang kali melakukan tindakan yang membahayakan negara.
Meskipun banyak yang mendesak agar ia dieksekusi, Nabi secara konsisten menolak. Alasannya sangat strategis dan humanis: "Agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya". Beliau memahami bahwa kekerasan terhadap lawan politik hanya akan menciptakan citra tiran dan memicu konflik yang lebih besar. Sebaliknya, Nabi justru mendorong kritik yang membangun, bahkan menyebut bahwa menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim adalah jihad yang paling utama.
Refleksi untuk Indonesia
Keteladanan Nabi ini bukanlah utopia masa lalu, melainkan cermin yang memantulkan kondisi bangsa saat ini. Solusinya bukan meniru bentuk negara secara harfiah, melainkan menginternalisasi ruh kepemimpinannya: integritas, keadilan absolut, dan akuntabilitas publik. Selama jabatan masih menjadi alat memperkaya diri, hukum bisa ditawar, dan kritik dianggap ancaman, Indonesia akan terus terjebak dalam masalah yang sama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
