Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Dakwah dalam Berbagai Perspektif: Multidimensi Transformasi Islam di Era Kontemporer

Agama | 2025-09-04 23:29:00

Dakwah, dalam perjalanan sejarah Islam, selalu hadir sebagai denyut nadi yang menghubungkan teks suci dengan realitas sosial. Ia tidak sekadar ajakan ritual menuju kesalehan individual, tetapi juga instrumen perubahan sosial yang merambah ranah budaya, politik, ekonomi, hingga digital. Di era kontemporer, ketika umat berhadapan dengan kompleksitas globalisasi, penetrasi teknologi, serta krisis multidimensi, dakwah tampil sebagai medan perjumpaan berbagai perspektif: normatif, sosial, intelektual, dan bahkan ekologis.

Dalam perspektif normatif, dakwah tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber rujukan utama. Akan tetapi, wajah dakwah tidak lagi tunggal. Tafsir keagamaan berkembang seiring dengan tantangan zaman. Umat Islam dituntut memahami teks bukan hanya secara literal, tetapi juga kontekstual. Inilah yang melahirkan pendekatan dakwah rasional dan inklusif, sebagaimana pernah ditekankan oleh Harun Nasution. Islam, dalam pandangan ini, tidak hanya hadir sebagai dogma, melainkan juga sebagai panduan moral untuk menjawab problematika modern.

Sementara itu, dalam perspektif sosial, dakwah tidak bisa dilepaskan dari realitas masyarakat yang majemuk. Indonesia, misalnya, merupakan laboratorium keberagaman agama, budaya, dan etnis. Dakwah di sini tidak boleh eksklusif, melainkan harus membangun ruang dialog dan koeksistensi. Azyumardi Azra dalam gagasannya tentang Islam Nusantara menekankan pentingnya Islam yang berakar di bumi lokal, namun tetap terbuka pada nilai-nilai universal. Dakwah yang membumi inilah yang memperkuat harmoni sosial dan memperkokoh identitas keislaman di tengah pluralitas.

Dalam perspektif intelektual, dakwah tidak hanya berupa ceramah di mimbar, melainkan juga gerakan pemikiran. Para sarjana Muslim, baik di kampus maupun ruang publik, berperan mengartikulasikan Islam yang kompatibel dengan demokrasi, HAM, dan keadilan sosial. Diskursus keilmuan yang dikembangkan Mazhab Ciputat misalnya, telah membuktikan bahwa dakwah bisa hadir dalam bentuk wacana kritis, dialog antar-disiplin, dan bahkan gerakan sosial. Dakwah bukan hanya menyampaikan pesan, melainkan juga membangun kesadaran kolektif menuju transformasi.

Era digital melahirkan perspektif baru bagi dakwah. Media sosial telah menjadi ruang dakwah virtual yang melampaui batas geografis. Namun, sekaligus di situlah problem muncul. Di satu sisi, dakwah digital memperluas akses umat terhadap ilmu keislaman, menghadirkan ulama, cendekiawan, hingga influencer Islam di layar gawai. Di sisi lain, muncul pula banjir informasi keagamaan yang kadang dangkal, provokatif, bahkan sarat ujaran kebencian. Transformasi dakwah digital menuntut etika baru: dakwah yang ramah, menyejukkan, dan mampu meneguhkan nilai moderasi.

Tak kalah penting adalah perspektif ekologis. Dalam konteks krisis iklim dan kerusakan alam, dakwah Islam juga memikul tanggung jawab kosmologis. Konsep khalifah fil-ardh bukan hanya retorika, tetapi mandat spiritual untuk menjaga bumi. Dakwah ekologis mengingatkan bahwa kesalehan tidak berhenti pada ibadah mahdhah, melainkan juga kepedulian terhadap lingkungan. Inilah bentuk dakwah yang menghubungkan spiritualitas dengan kelestarian bumi, membangun kesadaran bahwa merawat alam adalah bagian dari iman.

Keseluruhan perspektif ini menunjukkan bahwa dakwah pada dasarnya adalah ruang multidimensi. Ia hidup dalam teks dan konteks, dalam mimbar dan media sosial, dalam ruang privat dan publik, dalam kesalehan individual dan tanggung jawab kolektif. Transformasi Islam di era kontemporer tidak bisa dipisahkan dari dinamika dakwah yang terus beradaptasi.

Pada akhirnya, tantangan dakwah kontemporer adalah bagaimana menghadirkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam arti yang nyata: menumbuhkan spiritualitas, memperkuat moralitas, merawat keberagaman, memperjuangkan keadilan, serta menjaga bumi. Dakwah, dalam segala perspektifnya, adalah jembatan menuju peradaban yang lebih manusiawi dan berkeadaban. (srlk)

* Direktur Eksekutif P3ID FDIKOM UIN Syarif Hudayatullah Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image