Menyongsong Masa Depan Ilmu Dakwah: Dari Rekonstruksi Paradigma Menuju Epistemologi Emansipatoris
Agama | 2025-09-04 11:27:33Ilmu dakwah, dalam lintasan sejarahnya, telah mengalami dialektika panjang antara kecenderungan normatif-teologis dan kebutuhan praksis-transformatif. Artikel sebelumnya menegaskan pentingnya rekonstruksi paradigma, agar ilmu dakwah tidak terjebak dalam pengulangan tradisi yang kaku ataupun sekadar menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman secara pragmatis. Pada titik ini, muncul pertanyaan lanjutan yang lebih mendasar: ke arah mana sesungguhnya ilmu dakwah hendak dibawa? Apakah rekonstruksi paradigma cukup, ataukah perlu langkah lebih jauh menuju sebuah epistemologi emansipatoris yang mampu membebaskan, memberdayakan, dan mentransformasi masyarakat?
Di sinilah relevansi dakwah sebagai ilmu sosial-religius diuji. Dakwah bukan sekadar instrumen penyampaian pesan keagamaan, melainkan juga medan perjumpaan antara teks, konteks, dan praksis. Dalam kerangka ini, dakwah tidak cukup dipahami sebagai tabligh (komunikasi) atau irsyad (bimbingan), tetapi juga sebagai praksis sosial yang berorientasi pada transformasi struktur ketidakadilan. Ilmu dakwah karenanya harus menegaskan diri sebagai ilmu emansipatoris, sebagaimana teologi pembebasan di Amerika Latin ataupun teologi transformatif di kalangan pemikir Muslim progresif.
Paradigma normatif yang selama ini menekankan ketaatan pada teks suci memang tetap memiliki ruang penting, sebab di sanalah legitimasi dakwah berakar. Namun, jika normativitas diposisikan sebagai satu-satunya horizon, maka dakwah akan kehilangan daya transformatifnya. Sebaliknya, paradigma transformatif menuntut keberanian untuk membaca realitas sosial secara kritis: bagaimana dakwah mampu merespons kemiskinan, ketidakadilan gender, kerusakan ekologi, hingga tantangan etika digital. Inilah ruang epistemologis yang menuntut keberanian akademik untuk merumuskan dakwah sebagai ilmu yang membebaskan dan memberdayakan.
Epistemologi emansipatoris dalam ilmu dakwah berarti melampaui sekadar dikotomi normatif-transformatif, dengan menawarkan sintesis yang kreatif. Tradisi normatif dijaga sebagai basis moralitas, sementara pendekatan transformatif didorong sebagai metodologi praksis. Pada titik temu inilah dakwah menemukan relevansinya: ia tetap berpijak pada nilai wahyu, tetapi sekaligus menyatu dengan denyut sejarah umat manusia. Dakwah tidak lagi sekadar hadir di mimbar, layar digital, atau ruang-ruang formal, melainkan juga dalam gerakan sosial, kebijakan publik, dan praksis kemanusiaan.
Lebih jauh, dakwah emansipatoris menuntut pembaruan epistemologis pada level akademik. Ilmu dakwah perlu mengadopsi pendekatan multidisipliner, memanfaatkan ilmu komunikasi, sosiologi, psikologi, antropologi, hingga studi media digital. Lebih dari itu, ia harus memiliki keberanian untuk menyerap teori kritis, poskolonial, hingga ekologi politik sebagai lensa analisis. Dengan begitu, dakwah tidak hanya relevan dalam wacana internal umat Islam, tetapi juga menjadi kontribusi akademik dalam percaturan ilmu pengetahuan global.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana menginstitusikan paradigma ini dalam pendidikan dakwah di perguruan tinggi Islam. Kurikulum perlu diarahkan pada pembentukan intelektual dakwah yang kritis, kreatif, dan berdaya transformatif. Mahasiswa dakwah tidak lagi cukup dibekali dengan kemampuan retorika atau manajemen dakwah konvensional, tetapi juga dengan keterampilan riset, advokasi sosial, literasi digital, hingga strategi komunikasi publik. Dengan demikian, ilmu dakwah bukan hanya dipelajari, melainkan juga dipraktikkan sebagai alat emansipasi sosial.
Pada akhirnya, rekonstruksi paradigma ilmu dakwah hanya akan bermakna jika berlanjut pada pembentukan epistemologi emansipatoris. Ini bukan sekadar soal memperbarui konsep, melainkan membangun habitus intelektual dan praksis sosial yang berakar pada nilai-nilai keislaman, tetapi sekaligus mampu membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan. Di sinilah ilmu dakwah menemukan makna paling mendalamnya: dakwah bukan hanya untuk menyampaikan, melainkan juga untuk membebaskan. (srlk)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
