Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Menuju Epistemologi Dakwah yang Integratif: Dialog antara Teori Barat dan Tradisi Islam

Agama | 2025-09-03 21:55:46

Salah satu tantangan besar dalam pengembangan ilmu dakwah dewasa ini adalah pertanyaan epistemologis: dari mana sumber ilmu dakwah ditarik, bagaimana ia dikembangkan, serta dengan cara apa ia dapat memberi jawaban atas problem keagamaan dan sosial di tengah perubahan zaman? Dakwah, sebagai disiplin ilmu yang tumbuh dalam lingkungan keilmuan Islam, memiliki akar kuat dalam teks wahyu, tradisi ulama, dan pengalaman historis umat. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu sosial modern, ilmu dakwah juga bersinggungan dengan teori-teori Barat yang menawarkan perangkat analisis, metodologi, dan paradigma baru dalam membaca realitas manusia.

Dialog antara tradisi Islam dan teori Barat sering kali dipersepsikan secara dikotomis: antara orisinalitas wahyu dan sekularitas ilmu modern, antara normativitas agama dan netralitas sains. Padahal, jika dicermati lebih dalam, benturan tersebut bisa dilihat bukan sebagai pertentangan mutlak, melainkan peluang untuk membangun sintesis epistemologis yang lebih integratif. Dalam konteks ini, ilmu dakwah perlu menempuh jalan tengah yang kreatif: tidak menolak ilmu Barat secara apriori, tetapi juga tidak larut dalam arus positivistik yang berpotensi mengabaikan dimensi teologis.

Tradisi Islam menawarkan fondasi normatif dan spiritual yang bersumber dari al-Qur’an, hadis, serta khazanah pemikiran ulama klasik dan kontemporer. Di sisi lain, teori Barat menghadirkan perangkat analisis empiris yang memungkinkan dakwah dipahami dalam konteks relasi kuasa, media, masyarakat, dan perubahan sosial. Misalnya, teori komunikasi dari Harold Lasswell, Habermas, atau McLuhan dapat dipakai untuk membaca strategi dakwah di era digital. Sementara itu, teori sosial kritis ala Mazhab Frankfurt dapat membantu mengkritisi bagaimana dakwah terjebak dalam komodifikasi industri media.

Namun, epistemologi dakwah tidak cukup berhenti pada penerapan teori Barat secara mentah. Yang dibutuhkan adalah upaya kreatif untuk mengontekstualisasikan, menafsir ulang, dan mengharmoniskan kerangka tersebut dengan basis nilai Islam. Sebagai contoh, konsep da‘wah bil hal—yakni dakwah melalui keteladanan dan praksis sosial—dapat diperkaya dengan pendekatan praxis theory dari Paulo Freire yang menekankan kesadaran kritis dan transformasi sosial. Begitu pula gagasan ummah wasathiyah (umat moderat) dapat berdialog dengan teori deliberasi Habermas untuk merumuskan ruang publik Islam yang beradab dan inklusif.

Dengan demikian, epistemologi dakwah yang integratif bukanlah upaya meleburkan tanpa kritik, melainkan menghadirkan dialog produktif. Ia menempatkan wahyu sebagai poros normatif, tradisi Islam sebagai sumber historis-kultural, dan ilmu sosial Barat sebagai mitra metodologis. Integrasi ini memungkinkan dakwah hadir sebagai ilmu yang bukan hanya normatif, tetapi juga analitis; bukan hanya spiritual, tetapi juga sosial; bukan hanya individual, tetapi juga struktural.

Arah baru ini menegaskan bahwa dakwah sebagai ilmu sekaligus praksis harus bergerak menuju paradigma transformatif. Dakwah tidak lagi dipahami sekadar menyampaikan pesan keagamaan, melainkan juga membangun kesadaran kritis, mengadvokasi keadilan sosial, serta memperjuangkan nilai kemanusiaan universal. Dengan epistemologi integratif, dakwah dapat meneguhkan dirinya sebagai disiplin ilmu yang mampu menjawab tantangan zaman sekaligus setia pada ruh wahyu.

Pada akhirnya, dialog antara teori Barat dan tradisi Islam membuka horizon baru bagi pengembangan ilmu dakwah di perguruan tinggi Islam. Ia menegaskan bahwa Islam tidak anti ilmu, dan ilmu sosial tidak harus steril dari nilai. Keduanya dapat saling melengkapi, sehingga dakwah dapat menjadi sebuah disiplin ilmu yang relevan, membumi, dan berkontribusi bagi peradaban manusia. (srlk)

* Direktur Eksekutif P3ID FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image