Revitalisasi Legenda Lokal: Masa Depan Sastra Pariwisata di Indonesia
Wisata | 2025-09-03 19:54:58Oleh Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Pariwisata di era modern tidak lagi hanya soal panorama alam atau arsitektur megah. Wisatawan masa kini mencari pengalaman yang lebih dalam, autentik, dan bermakna. Mereka ingin bukan hanya melihat, tetapi juga merasakan dan terhubung dengan budaya setempat. Salah satu bentuk inovasi yang menjawab kebutuhan itu adalah pariwisata sastra atau literary tourism.
Menurut Abouelmagd (2023), pariwisata sastra merupakan cabang dari pariwisata budaya yang menghadirkan pengalaman perjalanan melalui eksplorasi narasi sastra, baik berupa karya fiksi, puisi, drama, maupun legenda lokal. Konsep ini memungkinkan wisatawan berinteraksi tidak hanya dengan tempat, tetapi juga dengan kisah dan imajinasi yang melekat padanya. Sejalan dengan itu, Putra (2019) menegaskan bahwa pariwisata sastra dapat menjadi jembatan antara warisan budaya imaterial dengan penguatan citra destinasi, sekaligus mendukung pengembangan ekonomi kreatif.
Secara historis, pariwisata sastra berkembang pesat di Eropa. Herbert (2001) mencatat bahwa rumah-rumah sastrawan besar seperti Jane Austen di Inggris dan Victor Hugo di Prancis menjadi magnet wisata. Para pengunjung tidak hanya melihat bangunan, tetapi juga merasakan atmosfer kehidupan penulis dan terhubung dengan karya-karyanya.
Model ini kemudian meluas ke berbagai negara lain. Di Tiongkok, misalnya, puisi klasik diintegrasikan ke dalam pengelolaan destinasi wisata Three Gorges. Ryan et al. (2008) menjelaskan bahwa integrasi tersebut tidak hanya memperindah estetika destinasi, tetapi juga memperkuat persepsi autentisitas budaya dan meningkatkan daya tarik naratif. Dengan kata lain, wisatawan tidak hanya melihat keindahan alam, tetapi juga memahami nilai-nilai budaya yang melingkupinya.
Indonesia pun memiliki potensi besar dalam pengembangan pariwisata sastra. Salah satu contoh sukses adalah Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) di Bali. Purnami (2022) mencatat bahwa festival ini mampu memperpanjang masa tinggal wisatawan hingga 25%, meningkatkan pengeluaran mereka, serta memperkuat branding Ubud sebagai destinasi budaya kelas dunia. Keberhasilan ini memperlihatkan bagaimana festival sastra dapat memberi dampak langsung bagi sektor pariwisata dan ekonomi lokal.
Selain UWRF, ada pula Festival Temu Penyair Asia Tenggara di Padang Panjang. Penelitian Saniro (2023) menunjukkan bahwa festival ini tidak hanya berfungsi sebagai ajang promosi destinasi, tetapi juga memperkuat keterlibatan budaya komunitas lokal. Masyarakat setempat berperan aktif dalam acara, sehingga festival menjadi wadah pemberdayaan yang membuka peluang ekonomi kreatif.
Namun, di balik capaian tersebut, ada tantangan yang belum terjawab. Sebagian besar festival sastra di Indonesia masih dominan menampilkan karya sastra modern dan diskusi kontemporer. Narasi lokal berupa legenda atau cerita rakyat belum sepenuhnya menjadi bagian sentral festival. Padahal, penelitian Hoppen, Brown, dan Fyall (2014) menegaskan bahwa narasi lokal mampu menciptakan keterikatan emosional (place attachment) yang menjadi faktor kunci dalam membangun pengalaman wisata berkesan dan berkelanjutan.
Kekuatan legenda lokal dalam pariwisata sastra dapat dilihat dari contoh di Bali. Studi Artika (2024) tentang kisah Jayaprana-Layonsari menunjukkan bahwa integrasi cerita rakyat dalam pengelolaan destinasi memperkaya pengalaman wisatawan melalui empat dimensi keterhubungan: geografis, historis, arkeologis, dan ritualistik. Wisatawan tidak hanya mengetahui kisah cinta tragis tersebut, tetapi juga memahami keterkaitannya dengan lokasi, sejarah, hingga ritual masyarakat.
Contoh internasional lainnya adalah Jane Austen Trail di Inggris. Dalam lima tahun, program tur tematik berbasis karya Austen berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan hingga 25% (Herbert, 2001). Hal ini membuktikan bahwa narasi, baik berupa karya sastra maupun legenda, mampu menjadi motor penggerak promosi destinasi.
Sayangnya, di Indonesia, potensi besar itu masih belum sepenuhnya tergarap. Ambil contoh Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF). Borobudur memiliki segudang narasi lokal, mulai dari mitos penciptaan candi hingga legenda Roro Jonggrang. Namun, program festival masih lebih banyak menampilkan diskusi sastra modern dan isu kontemporer, dengan sedikit ruang bagi legenda lokal. Padahal, storytelling berbasis tempat bisa menjadi daya tarik yang membedakan Borobudur dari destinasi lain.
Hingga kini, belum banyak penelitian yang secara khusus menilai dampak integrasi legenda lokal dalam festival sastra terhadap keterlibatan wisatawan dan loyalitas mereka. Studi yang ada lebih fokus pada kontribusi festival bagi ekonomi kreatif (Saniro, 2023; Purnami, 2022) atau hubungan umum sastra dan pariwisata (Putra, 2019).
Karena itu, penelitian terbaru mencoba mengajukan model baru: revitalisasi legenda lokal melalui festival sastra. Strategi ini mencakup literasi budaya, storytelling berbasis tempat, serta pemberdayaan komunitas lokal. Tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan pengalaman wisatawan, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan menciptakan pariwisata yang berkelanjutan.
Borobudur dikenal sebagai salah satu keajaiban dunia yang menyimpan nilai sejarah luar biasa. Namun, jika hanya diposisikan sebagai artefak statis, daya tariknya bisa terbatas pada kunjungan sekali seumur hidup. Dengan menghidupkan kembali legenda-legenda lokal melalui festival, Borobudur dapat tampil sebagai ruang budaya dinamis.
Festival yang menghadirkan penceritaan legenda Roro Jonggrang atau mitos penciptaan candi, misalnya, bisa memperkuat keterlibatan wisatawan. Pengalaman seperti ini memungkinkan wisatawan tidak hanya “melihat Borobudur”, tetapi juga “merasakan Borobudur” dalam makna yang lebih mendalam.
Selain itu, pengintegrasian legenda lokal dapat memperkuat diferensiasi Borobudur di pasar global. Banyak destinasi budaya dunia bersaing menawarkan keindahan arsitektur, tetapi tidak semuanya mampu menghadirkan narasi yang hidup. Inilah peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia.
Masa depan pariwisata sastra di Indonesia bergantung pada keberanian untuk memadukan tradisi dan inovasi. Festival sastra yang hanya menampilkan karya kontemporer memang penting, tetapi tanpa sentuhan narasi lokal, nilai tambah emosional dan identitas budaya bisa hilang.
Revitalisasi legenda lokal bukan sekadar strategi promosi, melainkan juga bentuk pelestarian warisan budaya. Masyarakat lokal dapat dilibatkan sebagai pencerita, seniman, atau pengelola acara. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor utama dalam menjaga dan menghidupkan kembali kisah leluhur.
Pada akhirnya, pariwisata sastra berbasis legenda lokal menawarkan manfaat ganda: memperkaya pengalaman wisatawan sekaligus memberdayakan masyarakat. Jika strategi ini berhasil diterapkan, Indonesia—dengan kekayaan narasi rakyatnya yang luar biasa—berpeluang menjadi pusat pariwisata sastra dunia.
Borobudur, Ubud, hingga Padang Panjang hanyalah permulaan. Bayangkan jika legenda-legenda dari seluruh nusantara, dari Malin Kundang di Sumatra hingga Sangkuriang di Jawa Barat, diintegrasikan dalam festival sastra. Indonesia tidak hanya akan dikenal karena alam dan budayanya, tetapi juga karena kisah-kisah yang menghidupkan setiap jengkal tanahnya. Dengan begitu, pariwisata sastra tidak lagi sekadar tren global, melainkan identitas baru bagi pariwisata Indonesia: wisata yang bercerita, wisata yang menghidupkan, dan wisata yang mengikat hati wisatawan untuk kembali.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
