Ilmu Dakwah dalam Rekonstruksi Paradigma: Antara Tradisi Normatif dan Tuntutan Transformatif
Agama | 2025-09-03 10:42:03Ilmu dakwah, sejak kelahirannya sebagai sebuah disiplin akademik di perguruan tinggi Islam, selalu menempati posisi yang dilematis. Di satu sisi, ia berakar pada tradisi normatif Islam yang menjadikan dakwah sebagai perintah agama: menyeru kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, dan menegakkan nilai-nilai tauhid. Di sisi lain, ilmu dakwah juga tidak bisa menutup mata terhadap realitas sosial yang terus berubah. Gelombang modernisasi, globalisasi, dan digitalisasi telah memaksa dakwah untuk bertransformasi menjadi bukan hanya sekadar seruan keagamaan, melainkan juga praksis sosial yang berorientasi pada perubahan, pemberdayaan, dan keadilan.
Pertemuan antara dua kutub ini melahirkan perdebatan epistemologis yang panjang: apakah ilmu dakwah harus dipertahankan sebagai studi normatif-teologis semata, ataukah ia perlu direkonstruksi menjadi ilmu sosial transformatif yang bersentuhan langsung dengan problem kemanusiaan? Pertanyaan inilah yang menuntut rekonstruksi paradigma, agar ilmu dakwah tidak terjebak dalam dogmatisme yang kaku, tetapi juga tidak tercerabut dari akar normatifnya.
Dakwah sebagai Tradisi Normatif
Secara normatif, dakwah dipahami sebagai kewajiban setiap Muslim untuk mengajak pada kebaikan dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Dalam perspektif klasik, pendekatan dakwah sering bersifat tekstual, menekankan pada pengajaran akidah, ibadah, dan syariah. Tradisi ini melahirkan corak dakwah yang cenderung linear: dari da’i kepada mad’u, dari pusat ke pinggiran, dari yang dianggap tahu kepada yang belum tahu.
Model normatif ini memang penting karena menjaga kemurnian ajaran Islam dan melestarikan dimensi spiritualitas umat. Namun, tantangannya terletak pada keterbatasan relevansi ketika berhadapan dengan realitas kontemporer. Dakwah normatif sering dituding gagal merespons isu-isu struktural seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, hingga radikalisme agama. Dalam konteks ini, tradisi normatif tidak cukup menjadi satu-satunya kerangka berpikir.
Dakwah sebagai Praksis Transformatif
Sebaliknya, paradigma dakwah transformatif memandang dakwah bukan sekadar penyampaian pesan keagamaan, tetapi juga praksis sosial yang menegakkan keadilan dan memberdayakan masyarakat. Paradigma ini dipengaruhi oleh tradisi ilmu-ilmu sosial kritis, teori komunikasi, hingga pemikiran teologi pembebasan.
Di bawah kerangka transformatif, dakwah dipahami sebagai gerakan yang mengakar pada realitas sosial dan berusaha mengubah kondisi masyarakat menuju kehidupan yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Dalam praktiknya, hal ini mencakup pemberdayaan ekonomi umat, advokasi terhadap kelompok marjinal, pendidikan kritis, hingga dakwah ekologi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.
Transformasi paradigma ini sejalan dengan gagasan para pemikir Islam modern, seperti Harun Nasution dengan rasionalisasi Islam, Azyumardi Azra dengan Islam Nusantara yang inklusif, atau Mansour Fakih dengan perspektif teologi pembebasan. Semua ini mengindikasikan bahwa dakwah tidak boleh berhenti pada ranah ritual dan normatif, tetapi harus hadir sebagai kekuatan perubahan sosial.
Rekonstruksi Paradigma Ilmu Dakwah
Upaya merekonstruksi ilmu dakwah bukan berarti meninggalkan tradisi normatif, melainkan menjembatani antara normativitas dengan transformasi sosial. Di sinilah ilmu dakwah perlu dirumuskan ulang dalam kerangka akademis yang lebih integratif.
Pertama, secara epistemologis, ilmu dakwah perlu menggabungkan pendekatan teologis dengan pendekatan empiris. Artinya, teks suci tetap menjadi rujukan utama, namun interpretasinya harus diuji dalam konteks sosial yang riil.
Kedua, secara metodologis, ilmu dakwah harus membuka diri terhadap disiplin lain: komunikasi, sosiologi, antropologi, psikologi, hingga ilmu politik. Kolaborasi ini akan memperkaya perspektif dakwah agar tidak eksklusif, tetapi mampu membaca kompleksitas masyarakat.
Ketiga, secara aksiologis, ilmu dakwah harus diarahkan pada tujuan pembebasan dan pemberdayaan. Nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan universal menjadi orientasi etis yang menjiwai praksis dakwah. Dengan demikian, dakwah bukan hanya tentang penyelamatan akhirat, tetapi juga tentang menghadirkan kehidupan yang lebih layak di dunia.
Catatan Penutup
Rekonstruksi paradigma ilmu dakwah menuntut keberanian untuk bergerak di antara dua kutub: menjaga tradisi normatif sebagai pijakan teologis, sekaligus menjawab tuntutan transformatif sebagai jawaban atas problem sosial. Hanya dengan cara ini, ilmu dakwah akan tetap relevan dalam dinamika zaman yang terus berubah. Dakwah tidak lagi dipandang sekadar aktivitas seremonial, tetapi sebagai ilmu sekaligus praksis yang menghubungkan wahyu dengan realitas, iman dengan keadilan, serta Islam dengan kemanusiaan. (srlk)
* Direktur Eksekutif P3ID FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
