Ketika Representasi Gagal, Solidaritas Mengambil Alih
Politik | 2025-09-03 00:54:15Oleh: Anik Yuniarti, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Yogyakarta
Dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan kondisi sosial-politik di Indonesia memanas, utamanya akibat gelombang demonstrasi yang diarahkan kepada DPR. Masyarakat dari beragam latar belakang turun ke jalan, menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa jauh dari kepentingan rakyat. Kebijakan pajak yang semakin membebani, kenaikan gaji serta tunjangan anggota legislatif, hingga sikap para wakil rakyat yang dianggap gagal mencerminkan profesionalisme di tengah krisis kepercayaan publik, memicu eskalasi aksi massa.
Aksi massa ini kemudian mengalami titik balik ketika pengemudi ojek online menjadi korban, tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob saat bertugas di tengah hiruk pikuk demonstran. Insiden ini memantik solidaritas yang lebih luas, di mana masyarakat menemukan semangat kebersamaan justru di ruang publik, bukan di parlemen yang seharusnya menjadi wadah aspirasi dan harapan rakyat. Fenomena ini mendorong refleksi kritis: jika solidaritas atau kebersamaan tumbuh bukan dari institusi representatif melainkan dari gerakan akar rumput di ruang publik, maka makna representasi politik patut dipertanyakan ulang.
Krisis Representasi
Secara teoretis, demokrasi dimaknai sebagai sistem perwakilan rakyat. Rakyat memilih wakilnya untuk memperjuangkan kepentingan mereka di lembaga legislatif. Namun, realitas hari ini memperlihatkan kesenjangan antara teori dan praktik. Praktik-praktik yang terjadi di DPR dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan mengungkap gap tersebut. Kenaikan gaji DPR di tengah kesulitan ekonomi rakyat menegaskan adanya jarak antara janji representasi dan implementasinya. Sejatinya, asas representatif bukan hanya soal quota tapi kemampuan bertindak sesuai kepentingan rakyat yang diwakili. Seperti dikemukakan Hannah Pitkin dalam The Concept of Representation, representasi tidak cukup dengan “hadir” di lembaga negara, yang terpenting adalah soal bertindak sesuai kepentingan rakyat. Maka jika ukuran ini diterapkan, sulit menyebut bahwa DPR benar-benar representatif.
DPR sudah seharusnya menjalankan fungsi representasi, menjadi wadah dan saluran aspirasi rakyat. Turunnya rakyat ke jalan menunjukkan kegagalan fungsi representasi formal dimana aspirasi rakyat tidak tersalurkan secara institusional. Turunnya masyarakat ke jalan bukan sekadar bentuk ketidaksabaran melainkan refleksi atas kebuntuan jalur-jalur formal. Hal ini mengingatkan kita bahwa demokrasi prosedural— misal melalui pemilu lima tahunan—tidak selalu menghasilkan demokrasi substantif dalam bentuk kesejahteraan, keadilan, dan partisipasi publik.
Solidaritas sebagai Alternatif
Solidaritas massa di ruang publik memperlihatkan bahwa demokrasi masih mencari bentuk idealnya. Ketika institusi representatif gagal menjalankan fungsi utama, maka masyarakat membentuk solidaritas horizontal sebagai respon. Mobilisasi rakyat seringkali menjadi katalis perubahan sosial-politik, khususnya saat institusi formal tidak lagi dipercaya.
Gelombang protes kemarin menandakan bahwa rakyat mencari jalan lain untuk didengar. Solidaritas ini tercipta di ruang publik: di jalan raya, di tengah gas air mata, di antara spanduk-spanduk perlawanan. Dan yang menarik untuk dicermati dari demonstrasi massa baru-baru ini adalah solidaritas tidak berhenti pada isu kenaikan gaji DPR, kebijakan pajak dan isu kinerja pemerintah, melainkan meluas menjadi aksi kemanusiaan, setelah tragedi yang menimpa pengemudi ojek online. Dari sinilah protes massa bersinergi dengan energi moral.
Solidaritas yang lahir di ruang publik ini mengandung makna penting—yaitu kemampuan rakyat membangun jejaring, bersatu, dan bergerak di luar kepentingan individual. Sejatinya kekuatan utama demokrasi tidak hanya bersandar pada pemerintah atau hukum semata, melainkan pada kapasitas masyarakat sipil untuk membangun kontrol sosial terhadap pemerintah.
Solidaritas rakyat dalam aksi demontrasi ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki energi bersama untuk menjaga demokrasi. Mereka menolak diam ketika keadilan terancam, bahkan saat institusi representasi politik memilih bungkam. Solidaritas horizontal dapat menjadi penopang demokrasi, khususnya, ketika negara dianggap abai.
Meski demikian, solidaritas ini mengandung dua potensi: bisa menjadi energi positif untuk mendorong perubahan kebijakan, namun juga berisiko destruktif jika tidak tersalurkan secara tepat. Masih lekat dalam ingatan peristiwa bersejarah 1998, dimana people power mampu meruntuhkan rezim, namun juga meninggalkan jejak kerusuhan dan trauma sosial
Demonstrasi dan Respon Negara
Sayangnya, respons negara terhadap demonstrasi masih belum optimal dan kerap menimbulkan polemik baru, baik dari sisi penanganan maupun komunikasi politik. Demonstrasi masih sering dipersepsikan sebagai ancaman ketertiban daripada sebagai bagian sah dari praktik demokrasi. Aparat keamanan pun kerap hadir dengan perangkat yang terkesan intimidatif—gas air mata, peluru karet, hingga kendaraan taktis—yang pada akhirnya justru memperdalam jarak dan kekecewaan publik.
Dalam konteks demokrasi, substansinya terletak pada adanya ruang untuk suara rakyat, tidak hanya melalui mekanisme elektoral seperti pemilu, tetapi juga dalam bentuk aspirasi yang disampaikan di lembaga perwakilan rakyat dan juga di ruang publik. Bicara demokrasi adalah tentang suara yang didengar, tentang kemauan wakil rakyat dan pemerintah mendengarkan aspirasi.
Selama negara masih menempatkan rakyat sebagai objek yang perlu dikendalikan, bukan sebagai mitra dialog, demokrasi hanya berfungsi secara prosedural dan berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan yang serius.
Menjadi Refleksi Bersama
Dari fenomena aksi demonstrasi dan solidaritas ini, setidaknya ada tiga hal penting yang perlu menjadi refleksi bersama. Pertama, DPR perlu mengembalikan esensi representasi rakyat. Aspirasi publik harus menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar menyesuaikan kepentingan elite. Legitimasi dan kepercayaan hanya dapat diperoleh melalui keberanian untuk mendengar dan melakukan koreksi terhadap kebijakan yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat.
Kedua, pemerintah dan aparat keamanan dituntut untuk mengubah paradigma dalam memandang demonstrasi. Selama aksi berlangsung secara damai, negara berkewajiban membuka ruang dialog dan merespons aspirasi.
Ketiga, masyarakat sipil perlu memastikan bahwa energi solidaritas yang muncul tidak berhenti pada aksi jalanan semata. Gerakan tersebut harus diarahkan ke institusi formal, melalui pengawasan terhadap DPR, penuntutan transparansi kebijakan, serta memperkuat partisipasi publik dalam proses pembuatan keputusan. Dengan cara ini, solidaritas masyarakat dapat menjadi pilar penguatan demokrasi, bukan sekadar reaksi sesaat.
Saat ini, tanggung jawab besar ada pada para wakil rakyat dan pemerintah. Respon mereka terhadap aspirasi dan energi kolektif masyarakat akan sangat menentukan arah demokrasi ke depan. Demokrasi hanya akan tumbuh dan bertahan apabila suara rakyat benar-benar dijadikan sumber kekuasaan yang sejati.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
