Echo Chamber Demokrasi: Ketika Media Sosial Menggiring Rakyat ke Jurang Perpecahan
Politik | 2025-09-02 14:59:01
Selama Orde Baru, politik Indonesia dikunci rapat oleh kekuasaan. Suara berbeda ditekan, oposisi dibungkam, konflik sosial dijaga agar tidak membesar. Setelahu Reformasi, memang muncul berbagai perbedaan pandangan, namun tensi politik tetap terkendali. Bahkan di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, politik cenderung adem ayem, karena koalisi besar dan gaya kompromistis meredam pertentangan.
Namun situasi itu berubah drastis sejak Joko Widodo naik ke tampuk kekuasaan. Kontestasi elektoral yang terbelah dalam dua kubu, ditambah penggunaan identitas agama sebagai bahan bakar politik, menciptakan polarisasi tajam. Bukan hanya elite yang saling serang, tetapi masyarakat ikut terbelah sampai ke meja makan dan ruang keluarga. Setelah Jokowi, fenomena ini bahkan semakin terasa, seolah-olah bangsa sedang kehilangan “ruang tengah.”
Sosiologi Polarisasi
Secara sosiologis, demokrasi langsung menciptakan kompetisi biner: menang-kalah, kawan-lawan. Identitas agama dan etnis dipakai sebagai perekat politik, membuat jurang perbedaan kian melebar. Elite politik pun kerap menunggangi polarisasi untuk menjaga basis dukungan. Alhasil, masyarakat terjebak dalam struktur sosial yang rapuh, mudah terbakar oleh isu yang bersentuhan dengan keyakinan.
Psikologi Sosial: “Kami” versus “Mereka”
Dari sisi psikologi sosial, fenomena ini dapat dijelaskan melalui efek in-group dan out-group. Rakyat yang berbeda pilihan politik membangun benteng identitasnya masing-masing. Emosi seperti marah, bangga, dan curiga lebih dominan dibanding nalar. Informasi yang tidak sesuai dianggap hoaks, sedangkan kabar yang menguatkan keyakinan langsung dipercaya tanpa kritis.
Media Sosial sebagai Mesin Polarisasi
Media sosial menjadi akselerator utama. Algoritma menciptakan echo chamber, ruang gema di mana orang hanya mendengar suara kelompoknya sendiri. Disinformasi menyebar lebih cepat ketimbang klarifikasi, terutama ketika dibumbui emosi. Buzzer politik memainkan narasi hitam-putih: pahlawan versus pengkhianat bangsa. Ujaran kebencian pun dinormalisasi, seolah menjadi bagian sah dari demokrasi digital.
Fenomena Phone Farm: Pabrik Kebisingan Digital
Lebih jauh lagi, muncul fenomena phone farm—ratusan hingga ribuan ponsel yang dioperasikan bersamaan untuk memproduksi, menyebarkan, dan mengulang konten politik. Bayangkan sebuah gudang besar berisi deretan ponsel yang terus-menerus menyalakan notifikasi, mengisi kolom komentar, dan membanjiri linimasa. Ia bekerja layaknya pabrik kebisingan digital, memproduksi suara-suara buatan hingga tampak seperti gelombang opini publik.
Di sinilah jebakannya: apa yang sejatinya hanya rekayasa mesin, tampak seolah-olah sebagai aspirasi rakyat. Phone farm memperkuat ilusi mayoritas, menciptakan gema yang menekan suara-suara moderat. Rakyat akhirnya bukan hanya terhanyut dalam debat maya, tetapi juga membawa permusuhan itu ke ruang nyata: keluarga, kantor, bahkan rumah ibadah.
Menjaga Demokrasi agar Tidak Terbelah
Perbedaan dulu memang ada, tetapi tidak sampai merobek jalinan sosial. Kini, demokrasi justru mengarah pada jurang perpecahan. Tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga demokrasi tetap hidup, tanpa menjadikannya alat untuk saling meniadakan.
Masyarakat perlu kembali membangun budaya dialog dan literasi digital yang sehat. Negara perlu menertibkan mesin polarisasi, termasuk phone farm yang menjadi senjata politik baru. Jika tidak, Indonesia akan terus terjebak dalam konflik tak berkesudahan—bukan karena perbedaan visi bangsa, tetapi karena jebakan algoritma dan rekayasa kebisingan digital.
Pada akhirnya, demokrasi seharusnya menjadi ruang bersama, bukan sekadar gema kelompok yang berteriak paling keras. Karena jika 6kebisingan buatan lebih nyaring daripada suara rakyat sejati, maka yang kita bangun bukan demokrasi, melainkan sandiwara digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
