Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Delky Nofrizal Qutni

Kursi Kosong di Istana, Bayangan Panjang di Solo

Politik | 2025-09-02 01:57:10

Di istana, simbol lebih tajam daripada kata. Pada konferensi pers penting yang membahas gejolak politik dan aksi massa anarkis, publik menunggu komposisi lengkap para pengendali negara. Presiden hadir, para ketua partai duduk rapi, kamera bergulir. Namun justru dua kursi yang mestinya diisi oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep dibiarkan kosong. Absensi itu lebih ramai daripada pernyataan resmi yang dibacakan.

Ketidakhadiran ini tentu bisa dianggap sepele dengan dalih sekadar benturan jadwal atau alasan teknis. Tetapi dalam politik, tidak hadir di momen genting selalu punya bobot simbolik. Sun Tzu mengingatkan “Jika kau tidak ingin terjebak di medan perang, jangan datang.” Namun diam di luar panggung seringkali justru lebih mematikan. Kursi kosong itu seketika dibaca publik sebagai isyarat retaknya orkestrasi, atau lebih jauh sebagai upaya menjaga jarak dari bara isu yang sedang membakar.

Apalagi, rumor soal Genk Solo tengah beredar deras. Narasi ini, bagai kabut tebal, menutupi setiap langkah politik keluarga Jokowi. Gibran absen di rapat krusial, Kaesang tak hadir di pertemuan elite partai, lalu dunia maya justru diramaikan dengan foto-foto “ojol” bersih dan rapi yang disambut di Istana Wakil Presiden. Netizen lantas mempertanyakan di media sosial, ojol asli atau palsu? Dalam kerangka materialisme dialektika historis, pertanyaan itu bukan sekadar guyonan, tapi mencerminkan kontras antara kenyataan rakyat pekerja dengan pencitraan simbolik yang dipamerkan elite.

Madilog ala Tan Malaka mengajarkan bahwa pikiran harus berpijak pada fakta material. Fakta materialnya yaitu rakyat menuntut kepastian, sementara kursi kosong menambah ketidakpastian. Publik melihat harga naik, pajak daerah menekan, dan demonstrasi meletup di berbagai titik. Pada saat itulah, absensi pemimpin menjadi ironi. Kehadiran fisik bukan soal seremonial belaka, tapi pernyataan bahwa kami bersama kalian menghadapi badai.

Dalam perspektif ilmu intelijen, absensi bisa dibaca lewat empat kacamata. Pertama, bentuk evasion yaitu menghindari sorotan agar tak terseret arus isu Genk Solo. Kedua, displacement dengan mengalihkan fokus publik lewat gimik pertemuan dengan ojol. Ketiga, testing ground dengan mengukur seberapa besar isu absensi ini mengguncang kepercayaan publik. Keempat yaitu signal, sebagai pesan senyap ke dalam bahwa mereka memilih jalur berbeda dalam konstelasi kekuasaan.

Tetapi politik Indonesia punya hukum besi bahwa 'podium kosong tak pernah kosong'. Bila aktor utama absen, rumor akan naik panggung. Gibran dan Kaesang boleh bersembunyi di balik agenda lain, tapi absensi di momen strategis akan terus dicatat sebagai fragmen sejarah.

Sederhananya, rakyat tak butuh drama ojol di Istana bila kursi di rapat krusial tetap kosong. Publik lebih percaya pada pemimpin yang berdiri di tengah badai, bukan yang hilang saat hujan deras lalu muncul di bawah lampu sorot dengan wajah segar.

Dalam politik modern, kursi kosong bisa lebih berbahaya daripada kursi yang diduduki lawan. Karena dari sanalah tumbuh kesan bahwa negara berjalan tanpa nakhoda lengkap. Dan kesan dalam politik, sering lebih menentukan daripada kenyataan.

Penulis : Delky Nofrizal Qutni (Pemerhati Sosial Politi dari Sudut Sunyi)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image