Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Fahmi Fadilah

Empati di Era Media Sosial: Peduli Tanpa Harus Turun ke Jalan

Kolom | 2025-09-01 15:22:32

Tidak semua orang bisa atau mau turun ke jalan ketika ada demonstrasi. Ada yang sibuk bekerja, ada yang merasa takut, ada pula yang memilih diam. Namun, sebagai warga negara, minimal kita masih bisa menunjukkan empati. Empati itu bukan sekadar ikut berteriak di depan gedung DPR atau menghadang aparat, melainkan kesediaan hati untuk mendengar, memahami, dan tidak menutup mata terhadap keresahan yang disuarakan oleh sesama rakyat.

https://cdn.pixabay.com/photo/2015/06/24/15/45/hands-820272_1280.jpg (Ilustrasi menggunakan media sosial)

Di zaman sekarang, ruang media sosial sudah menjadi panggung baru bagi ekspresi publik. Orang bisa menyuarakan pendapatnya lewat unggahan, komentar, atau sekadar membagikan berita. Di sinilah letak kekuatan sekaligus bahayanya. Kekuatan karena setiap orang punya akses untuk ikut peduli dan menunjukkan solidaritas. Bahaya karena tanpa literasi yang baik, media sosial bisa berubah menjadi ladang provokasi.

Empati di media sosial berarti kita tidak asal menyalahkan demonstran hanya karena melihat potongan video kekacauan. Kita perlu menahan diri, mencari tahu duduk perkaranya, dan mencoba memahami mengapa orang sampai rela turun ke jalan. Empati juga berarti tidak ikut menyebarkan ujaran kebencian yang bisa memperkeruh suasana, apalagi ikut menstigma bahwa semua demonstrasi identik dengan anarkisme.

Namun, empati saja tidak cukup tanpa literasi. Literasi digital menjadi kunci agar kita tidak mudah terseret arus hoaks atau framing sepihak. Sebagai warga negara, kita punya tanggung jawab untuk memilah mana informasi yang benar dan mana yang dimanipulasi. Jangan sampai kepedulian kita justru dipelintir menjadi alat provokasi oleh pihak-pihak yang sengaja ingin memperkeruh keadaan.

Kalau kita tidak bisa turun ke jalan, setidaknya kita bisa bersuara dengan cara yang sehat. Kita bisa mengkritik kebijakan tanpa harus menghina pribadi. Kita bisa mengingatkan sesama untuk tetap damai tanpa harus menutupi fakta bahwa ada keresahan nyata di tengah masyarakat. Dengan cara ini, empati kita tetap sampai, tapi tidak berubah menjadi amarah yang membabi buta.

Negara yang sehat bukan hanya dibangun oleh mereka yang berada di garis depan aksi, tetapi juga oleh solidaritas diam-diam yang ditunjukkan oleh warganya di ruang maya. Empati di media sosial bisa menjadi penyeimbang, bisa menjadi kekuatan moral, asalkan dilandasi literasi yang benar. Karena peduli itu bukan dimana kita berdiri, tapi bagaimana kita memilih untuk tidak menutup mata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image