Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Fahmi Fadilah

Narasi Anarkis: Saat Demonstrasi Dijadikan Kambing Hitam oleh Penguasa

Info Terkini | 2025-09-01 14:57:16

Di negeri ini, demonstrasi sering diperlakukan seolah-olah menjadi akar segala masalah. Setiap kali ada benturan di jalanan, suara yang terdengar paling lantang dari corong pemerintah adalah tudingan bahwa demonstranlah biang keladi kekacauan. Mereka dicap anarkis, perusuh, perusak ketertiban. Narasi ini sudah begitu mapan hingga publik dibuat percaya bahwa apa pun yang terjadi dalam sebuah aksi, ujung-ujungnya salah pendemo.

Padahal, demonstrasi adalah hak warga negara yang dijamin konstitusi, sebuah ekspresi politik rakyat ketika saluran-saluran formal terasa buntu. Tetapi ironinya, hak itu justru dicurigai, dipersempit, bahkan diputar balik maknanya menjadi simbol ancaman.

https://cdn.pixabay.com/photo/2015/07/30/11/43/fans-867557_1280.jpg (Ilustrasi demonstrasi)

Kasus-kasus tragis belakangan ini semakin menegaskan pola yang sama. Ketika ada warga, bahkan yang tidak terlibat langsung dalam aksi, menjadi korban akibat tindakan represif aparat, narasi resmi yang muncul justru penuh dengan pengaburan. Petugas yang mengendarai kendaraan taktis hingga melindas seorang warga sipil tidak pernah disebut secara jelas. Publik dibiarkan bertanya-tanya, seakan-akan kendaraan itu bukan milik siapa-siapa, seakan-akan pengemudinya hilang ditelan udara. Tidak ada penjelasan spesifik, apakah itu personel Brimob, polisi, atau bahkan petugas apa. Kata-kata yang seharusnya lugas dan transparan malah dikubur di balik bahasa netral yang dingin: "petugas," "kendaraan," "insiden." Kalimat-kalimat yang sengaja menghapus wajah, menghapus tanggung jawab.

Di saat yang sama, pemerintah terkesan enggan menyampaikan permohonan maaf secara langsung dan tegas kepada korban dan keluarganya. Tidak ada pernyataan presiden yang menyebut dengan gamblang bahwa aparat negara melukai rakyatnya. Tidak ada penyesalan spesifik yang bisa menunjukkan keberpihakan moral kepada korban. Yang ada justru pernyataan umum, klise, bahwa "kita sedang berproses menuju negara besar." Bahwa kekayaan alam akan digunakan untuk membangun bangsa, bahwa kita harus tetap optimis menatap masa depan. Seolah tragedi di jalanan bisa begitu saja ditutup dengan slogan pembangunan.

Di sinilah letak persoalannya. Fakta adanya demonstrasi, keresahan publik, dan kemarahan kolektif tidak pernah benar-benar dijawab oleh penguasa. Yang dipelihara adalah narasi tunggal bahwa negara sedang sibuk membangun, sementara rakyat yang bersuara dianggap pengganggu. Tidak ada refleksi mengapa demonstrasi bisa begitu besar, tidak ada pertanyaan mengapa kemarahan begitu meluas. Padahal jawaban itu ada di depan mata: ketidakpuasan, ketidakadilan, dan rasa terpinggirkan yang kian menumpuk. Tetapi alih-alih bercermin, pemerintah justru memilih menutup mata dan menyalahkan mereka yang berteriak.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya pola provokasi di lapangan. Tidak jarang, aksi yang pada awalnya damai kemudian berubah ricuh setelah muncul oknum-oknum yang tidak jelas asal-usulnya. Penjarahan, pembakaran, atau kerusuhan sering dijadikan bukti bahwa demonstrasi itu anarkis, padahal tidak tertutup kemungkinan justru ada permainan kotor di balik layar. Bisa jadi, provokasi itu memang sengaja diciptakan untuk mengadu domba, untuk memberi alasan agar aparat bisa bertindak keras, dan pada akhirnya membuat publik semakin percaya bahwa pendemo selalu salah. Narasi inilah yang kemudian diulang-ulang, seakan-akan seluruh kesalahan hanya ada di pundak rakyat yang turun ke jalan.

Karena itu, penting untuk menegaskan bahwa demonstrasi boleh, bahkan harus, sebagai bagian dari ruang demokrasi. Tetapi masyarakat juga harus waspada dan tidak gampang terprovokasi. Jangan biarkan oknum-oknum yang mungkin justru suruhan dari kepentingan tertentu merusak esensi aksi itu sendiri. Jangan biarkan penjarahan dan kerusuhan yang tidak pernah direncanakan oleh pendemo asli, dipakai untuk menutupi pesan utama yang hendak disampaikan: bahwa rakyat sedang marah, bahwa rakyat sedang menuntut keadilan. Demonstrasi harus tetap damai, karena jika tidak, maka skenario “pendemo anarkis” yang diinginkan oleh penguasa akan terus berhasil.

Narasi semacam ini berbahaya karena menormalisasi kekerasan negara. Ketika demonstran terus-menerus dilekatkan dengan citra anarkis, maka segala tindakan represif aparat dianggap wajar, bahkan sah. Publik pun dipaksa untuk mengamini bahwa korban hanyalah "risiko" dari sebuah keributan. Padahal yang terjadi adalah pembiaran terhadap praktik kekuasaan yang sewenang-wenang, dan pembungkaman terhadap suara rakyat yang mestinya didengar. Ketika nyawa rakyat hanya diperlakukan sebagai catatan kecil di pinggir narasi pembangunan, maka sesungguhnya kita sedang bergerak menjauh dari cita-cita demokrasi.

Sudah saatnya pemerintah berhenti menempatkan demonstrasi sebagai musuh. Demonstrasi bukan teriakan di jalanan saja, melainkan cermin dari keresahan yang nyata. Selama suara itu terus ditolak dan diputar balik, maka luka demi luka hanya akan bertambah. Dan setiap kali aparat menginjak rakyat, bukan hanya tubuh yang remuk, tetapi juga kepercayaan publik yang retak. Pertanyaan pentingnya kini sederhana: apakah negara masih punya keberanian untuk jujur pada dirinya sendiri?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image