Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Veri Setiawan

Kekuasaan, Politik, dan Etika Komunikasi di Tengah Gelombang Demo

Politik | 2025-09-01 10:48:55

Jika tujuan berpolitik atau berpartai hanya untuk meraih kekuasaan, dan kekuasaan hanya menumpuk kekayaan tanpa niat dan usaha untuk menyejahterakan rakyat lahir dan batin, maka politik seperti itu sudah terpisah dari agama, akhlak, dan moralitas. Kutipan Prof, Hamid Fahmy Zarkasyi.

Demo DPR

Gelombang demonstrasi yang marak akhir-akhir ini dipicu oleh kenaikan tunjangan DPR di tengah naiknya beban pajak rakyat menjadi potret nyata ketegangan antara penguasa dan rakyat. Bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang etika komunikasi politik yang semakin jauh dari rasa keadilan.

Ketika rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja seret, dan beban pajak semakin menekan, keputusan elit politik untuk menaikkan tunjangan justru menyulut amarah. Yang lebih menyakitkan, cara komunikasi para penguasa kerap bernada meremehkan: seolah-olah rakyat tidak mengerti, atau keluhan mereka hanya dianggap suara bising yang mengganggu stabilitas.

Di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin kompleks, persoalan etika komunikasi penguasa kepada rakyat menjadi isu penting yang sering terabaikan. Kekuasaan seharusnya hadir untuk melindungi, menyejahterakan, dan memberikan arah bagi masyarakat. Namun dalam praktiknya, komunikasi politik para penguasa kerap melenceng dari prinsip etis yang ideal.

Dalam situasi seperti ini, etika komunikasi politik seharusnya menekankan kejujuran, keterbukaan, kesantunan, serta keberpihakan pada kepentingan rakyat. Ucapan penguasa bukan sekadar rangkaian kata, tetapi cerminan sikap moral dan tanggung jawab atas mandat yang diembannya.

Ketika komunikasi penguasa justru bernuansa merendahkan, menutupi, atau sekadar membangun citra, maka yang muncul adalah jurang ketidakpercayaan. Dan jurang itu, jika dibiarkan melebar, bisa menjadi ancaman serius bagi legitimasi politik maupun keberlangsungan demokrasi itu sendiri.

Kekuasaan dan politik di Indonesia saat ini menunjukkan dinamika yang kompleks, tetapi ada satu persoalan mendasar yang kerap diabaikan: etika komunikasi penguasa terhadap rakyat. Ucapan dan pernyataan pejabat publik sering kali tidak merefleksikan kesantunan politik yang ideal.

Pertama, munculnya diksi-diksi yang merendahkan rakyat, seolah masyarakat tidak paham dan hanya menjadi objek kebijakan, menunjukkan minimnya penghormatan terhadap suara publik. Kedua, penggunaan eufemisme atau istilah halus untuk menutupi kebijakan yang merugikan rakyat, menandakan adanya kecenderungan manipulatif dalam komunikasi politik. Ketiga, janji-janji politik yang tidak konsisten merusak kepercayaan, karena komunikasi publik seharusnya lahir dari tanggung jawab, bukan sekadar alat untuk meraih dukungan.

Kondisi ini diperparah dengan pola komunikasi elitis yang menjauhkan penguasa dari realitas sehari-hari rakyat kecil. Padahal, dalam teori komunikasi politik, pemimpin berkewajiban membangun kedekatan, bukan sekadar menjaga citra.

Jika hal ini terus berlangsung, maka jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan penguasa akan semakin melebar. Demokrasi pun kehilangan maknanya, karena kekuasaan berjalan tanpa legitimasi moral. Oleh karena itu, sudah seharusnya komunikasi politik di Indonesia kembali pada prinsip etis: jujur, transparan, santun, dan berpihak kepada rakyat.

Ada tiga hal yang membuat komunikasi penguasa menjadi tidak patut:

  1. Bahasa yang tidak empatik. Alih-alih menenangkan, pernyataan pejabat sering menyinggung perasaan rakyat, misalnya dengan alasan “kenaikan tunjangan demi kinerja” tanpa melihat penderitaan rakyat yang dipaksa berhemat.
  2. Ketidaksensitifan terhadap situasi. Komunikasi publik yang membela tunjangan DPR di saat rakyat diperas pajak memperlihatkan jarak sosial dan psikologis yang semakin lebar antara rakyat dan penguasa.
  3. Penyampaian yang manipulatif. Rakyat tidak butuh retorika manis atau jargon tentang “demi pembangunan”, melainkan kejujuran: mengapa penguasa lebih dulu memikirkan kenyamanan elit ketimbang kebutuhan rakyat.

Chaos demonstrasi di berbagai daerah tidak lahir dalam ruang hampa. Ia adalah akumulasi kekecewaan terhadap ketidakadilan struktural yang semakin diperparah oleh komunikasi politik yang tidak etis. Rakyat berhak marah ketika suara mereka diabaikan, sementara wakil rakyat justru menutup telinga dengan fasilitas.

Seharusnya, di tengah krisis kepercayaan ini, penguasa mengambil sikap merendah dan mendengar, bukan malah menambah luka dengan ucapan yang menyakitkan. Karena pada akhirnya, kekuasaan tanpa kepercayaan hanya akan melahirkan konflik, bukan legitimasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image