Antara Kebijakan Publik dengan Kesehatan Mental Generasi Muda
Kebijakan | 2025-10-29 22:44:21
Kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa dan remaja akhir yang berusia 17-25 tahun tengah menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Kejadian ini terjadi berurutan seperti ada hubungan antara satu dengan yang lain. Kejadian ini memprihatinkan, pasalnya saat ini kita kehilangan generasi yang diharapkan dapat menjadi tonggak perubahan di masa depan. Kesehatan mental ini merupakan salah satu hak asasi manusia yang menjadi hal krusial bagi setiap individu. Menurut WHO (2025), kesehatan mental merupakan kondisi di mana seseorang dalam kesejahteraan mental untuk mengatasi tekanan hidup, memaksimalkan potensi mereka, belajar dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi dalam komunitas dan kelompok mereka.
Tren ini selaras dengan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) (Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, 2023), yang menunjukkan bahwa kelompok usia 15-24 tahun memiliki tingkat depresi tertinggi, yaitu sebesar 2,0%. Mirisnya, kelompok usia ini menjadi kelompok yang paling sedikit dalam mencari bantuan profesional. Generasi muda yang berusia 17-25 tahun sedang mengalami masa transisi dalam hidupnya. Masa ini menjadi peralihan antara masa remaja menuju dewasa yang menuntut seseorang untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri dan pencarian jati diri. Terlebih bagi mahasiswa perantau yang jauh dari keluarga, mereka akan sering merindukan suasana rumah yang akan menimbulkan rasa kesepian dan tekanan psikologis. Selain itu, dunia yang semakin kompetitif dapat menjadi tekanan mental yang dapat menimbulkan anxiety (kecemasan berlebihan) bagi seseorang.
Isu kesehatan mental selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) poin ketiga, yakni Good Health and Well-being yang menunjukkan pentingnya menjamin kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Hal ini menunjukkan bahwa isu kesehatan mental merupakan isu kebijakan publik yang harus menjadi prioritas bagi pemerintah. Kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu atau lebih aktor yang terlibat dalam menangani masalah atau permasalahan tertentu (Anderson dalam Nurmala et al., 2024). Dalam hal ini, kebijakan merujuk pada tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan mental.
Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa telah diatur pedoman dalam melaksanakan kebijakan kesehatan mental yang mencakup pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pendekatan promotif bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan mental. Selanjutnya, pendekatan preventif memberikan gambaran identifikasi faktor risiko untuk mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental. Sementara itu, pendekatan kuratif berfokus pada penanganan gangguan kesehatan mental serta pendekatan rehabilitatif bertujuan untuk memulihkan gangguan kesehatan mental dari individu. Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memiliki peran penting dalam menjelaskan bahwa kesehatan adalah hal fundamental yang harus dipenuhi oleh pemerintah di Indonesia. Sayangnya, meskipun telah memiliki landasan hukum yang cukup kuat, pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari kata ideal.
Berbagai program kesehatan mental yang disusun oleh pemerintah masih memiliki kekurangan dalam implementasinya. Ironisnya, program kesehatan mental belum menjadi program prioritas yang harus dilaksanakan, sehingga program pelayanan kesehatan mental di berbagai daerah belum terlaksana secara optimal dan berkesinambungan antara pusat dan daerah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arifin et al., (2020) mengenai Implementasi Program Kesehatan Jiwa di UPT Puskesmas Soasio Kota Tidore Kepulauan, ditemukan bahwa tidak adanya dukungan dari keluarga pasien, kekurangan SDM (psikolog dan psikiater), kekurangan sarana dan prasarana berupa ambulans, dan kurangnya persediaan obat-obatan turut menjadi tantangan pelaksanaan program pelayanan kesehatan mental di wilayah tersebut. Di Indonesia, per Oktober 2023 ditemukan bahwa 1 psikiater harus melayani 250.000 penduduk dan 1 psikolog klinis harus melayani sekitar 90.000 penduduk (Winurini, 2023). Selain itu, menurut Winurini (2023), sistem pelaporan dalam pelaksanaan program kesehatan mental yang belum optimal juga menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Adanya format laporan yang belum seragam dan kurangnya pemahaman petugas dapat mempersulit sistem pelaporan.
Stigma masyarakat terhadap penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia masih tinggi. Mayoritas masyarakat memandang gangguan kesehatan mental sebagai bentuk kelemahan dan aib keluarga. Dengan adanya stigma, pasien gangguan kesehatan mental dikucilkan dan mendapatkan perlakuan negatif dari lingkungan sekitarnya. Stigma ini juga dapat terjadi pada anggota keluarga yang terkait. Hal ini dapat menyebabkan pasien gangguan mental tidak mendapatkan pengobatan yang layak.
Melihat berbagai kompleksitas yang ada, pemerintah perlu segera melakukan perubahan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan mental di Indonesia. Pemerintah dapat memulai untuk merumuskan kebijakan yang sesuai dengan generasi muda. Dalam hal ini, pemerintah dapat menggandeng universitas untuk melakukan berbagai upaya dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan mental mahasiswa. Selain itu, optimalisasi aplikasi SATUSEHAT Mobile dapat dilakukan agar menjadi sumber informasi kesehatan mental yang mudah diakses oleh generasi muda. Diperlukan sinergi kuat antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengintegrasikan program layanan kesehatan mental dalam kehidupan masyarakat. Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di bidang kesehatan mental, melakukan pemerataan sarana dan prasarana kesehatan, serta pemerintah perlu memperluas kampanye edukasi untuk menghapus stigma gangguan kesehatan mental dan mendorong masyarakat untuk lebih terbuka dalam mencari pertolongan profesional. Dengan kebijakan publik yang inklusif dan berorientasi pada masyarakat, Indonesia dapat mewujudkan sumber daya manusia yang sehat, produktif, dan berdaya saing tinggi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
