Narasi dan Refleksi Puitis Surah Al-Fatihah Ayat ke-5
Agama | 2025-09-01 06:32:00Penulis: Muliadi Saleh
Ayat 5
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn
Narasi Puitis
Hanya kepada-Mu kami bersujud, hanya kepada-Mu kami menundukkan wajah. Dalam tarikan nafas yang rapuh, dalam denyut nadi yang fana, kami menyadari bahwa semua ibadah, semua sujud, semua doa, tak layak dipersembahkan kecuali kepada-Mu.
Ayat ini ibarat sumpah setia yang diucapkan di hadapan Sang Raja. “Engkaulah satu-satunya yang kami sembah, Engkaulah satu-satunya tempat kami bergantung.” Tak ada ruang bagi berhala, tak ada ruang bagi ego, tak ada ruang bagi tuhan-tuhan palsu yang berwajah harta, kuasa, atau gengsi.
Namun lihatlah betapa indahnya susunan kata itu: na‘budu — “kami menyembah”. Bukan “aku”, tapi “kami”. Ibadah adalah ikatan kolektif, pernyataan cinta seluruh umat manusia kepada Tuhannya. Kita berdiri dalam saf, sejajar tanpa kasta, tak ada yang lebih tinggi kecuali ketakwaannya. Seorang raja dan seorang pengemis, seorang ilmuwan dan seorang buta huruf, seorang dewasa dan seorang anak kecil, semua tunduk dengan kalimat yang sama: iyyāka na‘budu.
Lalu dilanjutkan: wa iyyāka nasta‘īn — hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Sebab, ibadah bukan hanya soal sujud, bukan hanya ritual. Ia adalah pengakuan akan kelemahan. Kita menyembah karena kita butuh, kita tunduk karena kita rapuh, kita berdoa karena kita tidak berdaya.
Ayat ini adalah jembatan antara cinta dan harap. Kita mencintai Allah dengan ibadah, dan kita berharap pada-Nya dengan doa. Kita menyembah-Nya karena Dia layak disembah, dan kita memohon kepada-Nya karena kita butuh diselamatkan.
---
Refleksi Panjang
Ayat ini adalah inti dari seluruh Al-Fātiḥah, bahkan inti dari seluruh agama. Ia menegaskan tauhid dalam dua wajah: tauhid ibadah (iyyāka na‘budu) dan tauhid isti‘ānah (wa iyyāka nasta‘īn). Dengan kata lain: kita hanya menyembah Allah, dan kita hanya bergantung kepada Allah.
Coba kita renungkan dalam kehidupan sehari-hari. Betapa sering kita mengaku menyembah Allah, tetapi dalam praktiknya kita masih menyembah dunia. Kita tunduk pada uang, kita sujud pada kekuasaan, kita rela menggadaikan prinsip demi gengsi. Betapa sering bibir kita berkata iyyāka na‘budu, tapi hati kita berbisik pada selain-Nya. Ayat ini datang sebagai cermin yang jujur: siapa sebenarnya tuhan kita?
Demikian pula dengan wa iyyāka nasta‘īn. Betapa sering kita bergantung pada manusia, berharap penuh pada relasi, jaringan, atau kekuasaan. Kita mencari “orang dalam”, kita berharap pada janji manusia yang sering ingkar, sementara kita lupa bahwa semua manusia hanyalah alat, bukan sumber. Ayat ini menegaskan: yang bisa benar-benar menolong hanyalah Allah. Semua selain-Nya hanyalah perantara yang fana.
Namun, keindahan ayat ini juga ada pada keseimbangannya. Allah tidak hanya diminta disembah, tetapi juga diminta pertolongan. Jika hanya “kami menyembah”, maka ibadah bisa menjadi kesombongan: “lihat, aku sujud, aku taat, aku beramal.” Tapi dengan tambahan “kami memohon pertolongan”, ibadah kita menjadi rendah hati: “Ya Allah, tanpa pertolongan-Mu, aku bahkan tak bisa bersujud.”
Ayat ini juga mengajarkan persaudaraan. Kata “kami” menunjukkan bahwa ibadah adalah kebersamaan, bukan egoisme. Dalam shalat, kita membaca ayat ini bersama imam dan makmum, sebagai sumpah kolektif umat manusia. Artinya, kita tidak bisa selamat sendirian. Kita adalah bagian dari jamaah, bagian dari ummat.
Refleksi lebih jauh: ayat ini juga adalah terapi psikologis. Betapa banyak orang hancur karena terlalu berharap pada manusia. Betapa banyak yang patah hati karena menggantungkan hidup pada janji dunia. Dengan membaca wa iyyāka nasta‘īn, kita sedang melatih jiwa untuk hanya bergantung pada sesuatu yang pasti: Allah. Inilah rahasia ketenangan hati.
Bagi para pejuang kebenaran, ayat ini adalah energi. Kita berjuang, kita beribadah, tapi kita tahu, hasilnya bukan di tangan kita. Pertolongan Allah yang menentukan. Karena itu, ayat ini membebaskan kita dari keputusasaan. Kalau Allah menolong, siapa yang bisa menghalangi? Kalau Allah tidak menolong, siapa yang bisa memberi?
Akhirnya, ayat ini mengikat seluruh hidup kita dalam dua simpul: ibadah dan doa. Ibadah sebagai bentuk cinta, doa sebagai bentuk harap. Dua simpul ini yang membuat manusia tetap berjalan lurus di tengah dunia yang penuh ilusi.
Dan saat ayat ini dibisikkan dalam shalat, sesungguhnya kita sedang memperbarui sumpah: Ya Allah, hanya kepada-Mu kami tunduk, hanya kepada-Mu kami berharap. Jika kami tersesat, tariklah kami kembali. Jika kami lemah, angkatlah kami dengan pertolongan-Mu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
