Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Delky Nofrizal Qutni

Ujian Jalan Tengah Prabowo: Saat Demo Menjadi Cermin Evaluasi Negara

Politik | 2025-08-31 22:54:19

DEMO besar-besaran sejak 25 Agustus lalu bukan sekadar derap kaki di jalanan. Ia adalah gema yang menyalin isi perut rakyat, bergetar dari Jakarta hingga daerah, menampar tembok kekuasaan yang selama ini merasa tebal dan kokoh. Dalam bahasa ilmuwan politik Guillermo O’Donnell, inilah accountability gap, ketika janji kampanye diuji oleh lapar yang tak kunjung reda, oleh pajak yang mencekik, oleh program yang megah di atas kertas namun keropos di lapangan. Rakyat bicara dengan spanduk dan teriakan, karena kanal-kanal formal terasa mampet.

Di atas kertas, ekonomi memang masih tumbuh. BPS mencatat 4,8 persen pada triwulan kedua, angka yang terlihat manis, tapi melambat dari tahun lalu. Inflasi pangan tetap tinggi, 4,3 persen, dan di pasar rakyat harga cabai lebih cepat naik daripada doa menembus langit. Di daerah, pajak bumi dan bangunan merangkak naik, sementara dana transfer dari pusat terpangkas dengan dalih efisiensi. Efisiensi, kata yang indah di seminar, terasa bagai cambuk di sawah dan kebun. Bank Dunia menyebut ini fiscal drag, sementara rakyat menyebutnya hidup makin susah.

Presiden Prabowo menghadapi ujian awal kekuasaan. Bukan sekadar meredam massa, tapi membaca pesan yang terkandung di baliknya. Kabinet yang gemuk dengan loyalis terbukti rapuh dalam eksekusi. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) misalnya, yang digadang sebagai mercusuar, terbentur di teknis distribusi. Ombudsman mencatat seperlima sekolah penerima di Jawa Tengah mengalami keterlambatan, bahkan tak jarang ditemukan justru kondisinya memilukan. Mercusuar yang seharusnya menerangi, malah berkedip-kedip. Ada problem klasik principal-agent yaitu instruksi presiden di Istana berubah bentuk ketika sampai ke meja birokrat di daerah dan eksekusi lapangan. Kepentingan rente lebih cepat berlari daripada niat baik.

BUMN pun tidak kalah memalukan. Dari 100-an BUMN, 17 mencatat kerugian Rp62 triliun pada 2024, tapi komisaris dan direksi tetap kenyang dengan gaji puluhan hingga ratusan juta. Mereka seperti kapal karam yang awaknya sibuk berpesta di geladak. Uang rakyat dipakai menutup lubang, sementara rakyat sendiri dihantam badai inflasi. Jika Prabowo ingin meninggalkan jejak kepemimpinan, inilah waktunya menyalakan gergaji dengan memangkas gaji komisaris, membubarkan BUMN yang abadi merugi, dan menuntut kinerja nyata, bukan sekadar laporan berwarna biru semata.

Urusan sumber daya alam lebih rumit, tapi justru paling mendesak. Di Aceh, Jambi, hingga Sulawesi, tambang rakyat terus berjalan tanpa izin, tanpa perlindungan hukum. Negara membiarkan mereka diambang kriminalisasi, sementara investor asing digelar karpet merah. Padahal, riset LIPI 2023 menunjukkan legalisasi tambang rakyat lewat WPR bisa menambah PAD hingga satu persen setahun dan mengurangi konflik sosial. Begitu juga plasma perkebunan dan pertanian, yang bisa menjadi alat distribusi keadilan. Tapi negara tampak lebih sibuk melayani modal besar ketimbang membela rakyat kecil.

Dalam kacamata intelijen anak kampung di Aceh, demo 25 Agustus adalah stress test terhadap lingkar dalam kekuasaan. Ada operasi halus di belakang layar yaitu pejabat yang tampak loyal tapi sebenarnya memperlambat agenda presiden, memelintir kebijakan, dan memanfaatkan krisis untuk memperkuat posisinya. Tanpa evaluasi kabinet, Prabowo akan menjadi presiden yang dikurung lingkarannya sendiri. Sejarah penuh contoh, dari Soeharto hingga Megawati, ketika jarak antara pemimpin dan rakyat melebar, demo bukan lagi sekadar suara, melainkan gelegar yang meruntuhkan.

Survei Indikator Politik terbaru menunjukkan kepuasan publik turun ke 62 persen, dari 69 persen tiga bulan lalu. Penurunan paling tajam ada di kelompok buruh dan petani, mereka yang sehari-hari paling akrab dengan harga naik dan pajak bertambah. Sidney Tarrow sudah lama menuliskan bahwa gerakan massa akan menjadi “serial” bila keadilan distribusi gagal dipenuhi. Demo tidak lagi episodik, melainkan jadi kalender rutin, seperti musim panen, tapi panen amarah.

Prabowo masih punya pilihan. Ia bisa melihat demo sebagai ancaman, lalu menambah barisan polisi dan kawat berduri. Atau ia bisa menjadikannya cermin, momentum untuk mengoreksi jalan. Evaluasi kabinet, restrukturisasi BUMN, revisi program prioritas, dan pengelolaan SDA yang adil akan memperkuat legitimasi, bukan melemahkan. Satirenya sederhana tentang rakyat tidak meminta negara berhenti berpesta. Mereka hanya ingin musiknya jangan terlalu keras, lampunya jangan menyilaukan, dan tagihannya dibayar oleh para tamu undangan, bukan ditagihkan ke dompet mereka.

Jika Prabowo gagal membaca tanda zaman ini, kekecewaan akan menumpuk menjadi bara. Dan bila bara itu bertemu angin politik, sejarah sering menunjukkan, apinya bisa melahap lebih cepat daripada yang dibayangkan.

Penulis : Delky Nofrizal Qutni (Pemerhati dari Sudut Sunyi, Mantan Orator Jalanan)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image