Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Erin Rahmah Daniyah

Toxic Positivity: Dampak Bahaya Optimisme Berlebihan di Era Media Sosial

Edukasi | 2025-08-31 00:38:29
Sumber : Pinterest.com

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah praktik menuntut diri atau orang lain untuk selalu berpikir positif, meskipun dalam situasi yang sulit atau penuh tantangan. Contohnya, ketika seseorang mengungkapkan perasaan cemas atau sedih, respons seperti “tetap semangat” atau “lihat sisi positifnya” dapat dianggap sebagai bentuk toxic positivity (Psychology Today, n.d.). Hal ini dapat menyebabkan individu merasa tidak didengar atau bahkan merasa bersalah atas perasaan negatif mereka.

Dampak Negatif Toxic Positivity

Meskipun niatnya untuk mendukung, toxic positivity dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, antara lain:

  • Penekanan Emosi Negatif: Mengabaikan atau menekan emosi negatif dapat menghambat proses pemulihan dan pertumbuhan pribadi.
  • Perasaan Tidak Valid: Individu merasa bahwa perasaan mereka tidak sah atau tidak diterima, yang dapat meningkatkan stres dan kecemasan.
  • Gangguan Kesehatan Mental: Penekanan emosi negatif secara terus-menerus dapat berkontribusi pada gangguan seperti depresi dan kecemasan.

Peran Media Sosial dalam Penyebaran Toxic Positivity

Media sosial memainkan peran besar dalam menyebarkan toxic positivity. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook sering kali menampilkan konten yang menekankan pentingnya kebahagiaan dan kesuksesan, sementara mengabaikan tantangan dan kesulitan hidup. Hashtag seperti #GoodVibesOnly atau #StayPositive dapat memperkuat norma sosial yang tidak realistis, membuat individu merasa terisolasi atau tidak cukup baik jika mereka mengalami kesulitan (Wyatt, 2024).

Menghadapi Toxic Positivity

Untuk mengatasi toxic positivity, penting untuk:

 

  • Mengakui Semua Emosi: Menerima dan menghargai seluruh spektrum emosi, baik positif maupun negatif, sebagai bagian dari pengalaman manusia.
  • Memberikan Dukungan yang Empatik: Alih-alih memberikan nasihat yang klise, lebih baik mendengarkan dan menunjukkan empati terhadap perasaan orang lain.
  • Mengedukasi Diri dan Orang Lain: Meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif toxic positivity dan pentingnya keseimbangan emosional.

Kesimpulan

Toxic positivity adalah fenomena psikologi yang muncul sebagai respons terhadap tekanan budaya untuk selalu bahagia dan optimis. Meskipun dimaksudkan untuk memberikan dukungan, praktik ini justru dapat merugikan kesehatan mental individu. Dengan memahami dan mengakui pentingnya seluruh spektrum emosi, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan sehat secara psikologis (Shipp & Hall, 2024).

Referensi:

Cherry, K. (2024, May 14). Why Toxic Positivity Can Be Harmful. Verywell Mind.

Davis, T. (2022, January 10). How Positivity Can Turn Toxic. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/click-here-for-happiness/202201/how-positivity-can-turn-toxic?utm

Lew, Z., & Flanagin, A. J. (2025). Toxic positivity on social media: The drawbacks and benefits of sharing positive (but potentially platitudinous) messages online. New Media & Society, 27(5), 2972–2995. https://doi.org/10.1177/14614448231213944

Shipp, H. G., & Hall, K. C. (2024). Analyzing the concept of toxic positivity for nursing: A dimensional analysis approach. Journal of Advanced Nursing, 80(8), 3146–3157. https://doi.org/10.1111/jan.16057

Wyatt, Z. (2024a). The Dark Side of #PositiveVibes: Understanding Toxic Positivity in Modern Culture. Psychiatry and Behavioral Health, 3(1). https://doi.org/10.33425/2833-5449.0016

Wyatt, Z. (2024b). The Dark Side of #PositiveVibes: Understanding Toxic Positivity in Modern Culture. Psychiatry and Behavioral Health, 3(1). https://doi.org/10.33425/2833-5449.0016

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image