Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rafi Hamdallah

Keanehan Paradoks Politik pada Era Reformasi di Indonesia

Politik | 2025-08-30 14:27:23

Memang, politik seringkali dipersepsikan sebagai langkah kotor untuk memperoleh kekuasaan. Amanat reformasi yang selama ini diperjuangkan oleh kelompok sipil untuk memperbaiki demokrasi dan politik yang utopistis. Tetapi ada sebuah kejanggalan yang tanpa disadari merusak perpolitikan saat ini. Hampir semua isu publik yang viral dikendalikan algoritma seperti pada kasus ijazah palsu, korupsi ekspor-impor gula, bendera Jolly Roger, kontroversi film animasi Merah Putih: One for All, pemblokiran rekening oleh PPATK, penolakan terhadap revisi peraturan perundang-undangan, sampai teranyar kenaikan tunjangan DPR yang memicu kerusuhan. Bila dicermati banyak ditemukan paradoks yang justru merusak esensi dari perpolitikan di Indonesia, bahkan ada semacam pola sistematis yang terus berulang.

Pertama, seringkali ditemukan bahwa ‘rakyat’ mengkritisi kebijakan maupun perbuatan dari para pejabat dengan mengabaikan esensi dari kritik itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Ibaratkan sebuah pameran, seorang kurator perlu dikritik karyanya oleh apresiator atau kritikus agar dapat mengevaluasi terhadap karya berikutnya. Tetapi sampai detik ini kritik diasosiasikan sebagai upaya mengganggu pemerintahan atau bentuk kegelisahan rakyat. Entah para pejabat tidak mau mendengar kritik atau rakyat yang suka mengkritik tanpa solusi. Bahkan tidak sedikit yang menuntut para pejabat sepenuhnya memikirkan solusi-solusi praktis untuk rakyat.

Kedua, munculnya polarisasi yang mengarahkan pada satu ideologi yang closed mindset. Tagar-tagar seperti #indonesiacemas, #oposisihargamati, #tolakrkuhap, #indonesiagelap dsb menjadi slogan-slogan atas ketidakadilan terhadap "rakyat". Bila dicermati, polarisasi seperti ini karena didominasi oleh kaum oposisi yang menjustifikasikan diri sebagai pembela rakyat. Mengapa ideologi oposisi seperti ini bisa dipahami secara jamak? Mengapa rakyat tidak menyuarakannya secara langsung di akun-akun resmi pemerintah? Padahal seharusnya ada check and balance antara kaum oposisi (rakyat) dengan kaum afirmasi (pro pemerintah). Kaum oposisi seharusnya mengawasi dan memberi masukan yang konstruktif terhadap kebijakan pemerintah, bukan penentang secara mutlak. Kaum koalisi seharusnya menerapkan kebijakan yang konkret dan berhasil guna.

Ketiga, polarisasi antara rakyat dengan pejabat didasari oleh dikotomi hitam-putih. Dalam teori sesat pikir, ini lebih mendekati false dichotomy karena hanya mengambil satu sikap dengan mengabaikan sudut pandang lain. Hal semacam ini terlihat secara jelas pada kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024 lalu. Setiap kubu paslon diidentikkan dengan sebutan “anak abah”, “ternak mulyono”, atau “sat-set”. Padahal seharusnya mereka lebih mengedepankan visi-misi ketimbang dikotomis tersebut. Anehnya kelompok reformis (oposan pemerintah) justru berasal dari golongan akademisi, mahasiswa, ataupun pemengaruh yang memiliki sikap yang sama terhadap isu publik. Sebaliknya kelompok koalisi seolah diam (kemudian disebut kelompok silence majority) tidak menunjukkan pembelaan yang signifikan atau seolah bodoh dalam memahami politik. Selain itu, seringkali polarisasi antara rakyat dengan pemerintah dikarenakan adanya bias konfirmasi yang memicu persepsi negatif, seperti pemerintah dan aparat sebagai penindas, kemarahan rakyat, dan sebagainya.

Keempat dan yang paling mendasar adalah adanya ideologi bahwa rakyat sebagai pihak yang tertindas sedangkan pejabat sebagai pihak yang menindas. Padahal Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang­-Undang Dasar”. Tetapi kedaulatan tersebut tidak sejalan dengan dilema rakyat. Rakyat masih menanggung penderitaan yang diwariskan sejak lama. Rakyat yang mulai putus asa lebih mempercayai opini ketimbang klarifikasi dari pemerintah. Pemerintah masih kurang peka dan bersimpati dengan keluhan yang dirasakan rakyat, bahkan semakin banyak pejabat yang memonopoli pajak dan mengorupsi anggaran negara. Semua terangkum dengan dua frasa : pejabat kaya, rakyat sengsara.

Paradoks-paradoks seperti ini harus dievaluasi dan dihapuskan secara bertahap. Pertama, evaluasi yang wajar harus dilakukan oleh pemerintah baik regulasi, empati, maupun pola komunikasi kepada rakyat. Rakyat tidak butuh janji saat kampanye tetapi bukti konkret dan nyata di lapangan. Kedua, media massa atau pers bertanggung jawab terhadap opini publik sehingga perlu adanya transparansi informasi. Jangan sampai pers justru memperkuat narasi yang direkayasa oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Ketiga, rakyat juga harus memperbaiki karakter buruk yang merusak esensi dari demokrasi seperti kekerasan, ujaran kebencian, pembohongan publik, intervensi, ataupun provokasi yang radikal.

Maka dari itu, sudah seharusnya rakyat maupun pemerintah menyadari kecacatan ini dan mereformasi cara beraspirasi atau kritik yang seharusnya mengarah pada tujuan-tujuan negara. Apalagi situasi negara saat ini yang masih menunjukkan tidak baik-baik saja. Ini harus disikapi secara komprehensif dengan melibatkan seluruh rakyat (termasuk pemerintah yang dasarnya bagian dari rakyat). Jangan sampai paradoks yang sistematik seperti ini terus berulang dan berdampak terhadap eksistensi demokrasi Indonesia di masa depan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image