Nasi Basi, Janji Kuadriliun, dan Amarah di Jalanan
Politik | 2025-08-30 10:27:29NEGARA ini sedang sibuk membagi nasi kotak sambil menghitung kuadriliun rupiah di kertas kebijakan. Presiden Prabowo Subianto tampil dengan niat mulia untuk memastikan anak-anak bangsa tak lagi sekolah dengan perut kosong, sekaligus menyiapkan lumbung investasi raksasa bernama Danantara. Dua mimpi besar yang di atas kertas tampak bagai jalan tol menuju kemakmuran, tapi di lapangan sering kali berubah jadi jalan berdebu penuh lubang.
Mari kita mulai dengan Makan Bergizi Gratis(MBG) yang tahun ini menelan anggaran sebesar Rp 71 triliun dalam APBN 2025, lalu dengan luwes ditambah Rp 100 triliun lagi sehingga totalnya membengkak menjadi Rp 171 triliun. Targetnya sungguh mulia yaitu memberi makan 82,9 juta orang, dari anak sekolah hingga ibu hamil. Namun ibarat pesta mewah, yang kenyang justru para pemodal besar pemilik dapur raksasa, sementara UMKM hanya bisa mengendus aroma lauk dari kejauhan. Bayangkan, dalam satu dapur harus diproduksi 2.000 sampai 5.000 porsi per hari. Itu bukan lagi usaha kecil, melainkan pabrik makanan. Tak heran, kualitasnya sering jadi korban di banyak daerah seperti nasi basi, buah berulat, dan bahkan keracunan massal.
Data serapan anggaran pun menyodorkan ironi. Hingga Agustus 2025, realisasi MBG baru Rp 10,3 triliun dari pagu Rp 71 triliun. Artinya, yang lebih banyak tersaji bukan nasi kotak di sekolah-sekolah desa, melainkan laporan-laporan penuh angka di meja birokrasi Jakarta. Seperti dikatakan James C. Scott dalam kajian klasik Seeing Like a State, negara sering kali melihat rakyat hanya lewat statistik dan peta, bukan melalui kenyataan di lapangan yang nyata. Anak-anak yang seharusnya mendapat makanan bergizi masih bisa pulang dengan perut kembung karena nasi yang basi.
Sementara itu, negara juga sedang membesarkan bayi raksasa lain bernama Danantara, sebuah sovereign wealth fund ala Temasek Singapura. Dengan modal mimpi sebesar US$ 900 miliar atau lebih dari Rp 14 kuadriliun, Danantara dijanjikan akan menjadi mesin investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Dana hasil efisiensi anggaran sekitar Rp 327 triliun per tahun dijanjikan akan mengalir ke lembaga baru ini. Tetapi kita tahu, efisiensi versi politisi pusat sering kali berarti memangkas anggaran daerah, bukan merampingkan tubuh pemerintah pusat yang gemuk.
Maka jadilah kepala daerah kelimpungan mencari cara menutup lubang fiskal. Jalan pintas yang diambil berupamenaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), menggali kantong rakyat kecil yang sudah bolong. Di desa-desa, petani padi yang panennya diserbu tengkulak mendadak mendapat surat tagihan pajak yang lebih tebal. Di kota, buruh yang gajinya tak naik justru harus membayar beban tambahan. Seperti kata Barrington Moore, ketidakadilan ekonomi yang diproduksi negara adalah resep pasti untuk perlawanan sosial. Demonstrasi besar-besaran yang belakangan ini menggelegar di jalanan bukanlah kebetulan, melainkan tanda rakyat mulai muak dijadikan sapi perah.
Prabowo, seorang jenderal yang terbiasa membaca peta pertempuran, mestinya tahu bahwa laporan pejabat di meja rapat tak selalu sama dengan fakta di lapangan. Pravowo tentu ingat pepatah tentara bahwa rencana di atas kertas sering hancur pada tembakan pertama. Begitu pula dengan MBG dan Danantara yang di kertas terlihat rapi, di lapangan berantakan realitanya. Bila Prabowo ingin dikenang bukan sebagai presiden nasi basi, melainkan sebagai bapak bangsa, ia harus memimpin dengan hati, bukan hanya kalkulator semata.
Efisiensi sejati mestinya dipukul di pusat kekuasaan dengan memangkas birokrasi berlapis, menutup BUMN yang terus merugi, dan membersihkan mega-korupsi yang menggerogoti anggaran. Fakta berbicara, suntikan modal ke BUMN justru sering berakhir menjadi lubang hitam keuangan. Menjual BUMN merugi kepada swasta dalam negeri dengan pengawasan ketat jauh lebih masuk akal ketimbang terus menambah beban APBN. Tetapi yang terjadi sebaliknya, ketika rakyat disuruh mengencangkan ikat pinggang, sementara para direktur BUMN tetap menerima bonus besar berlimpah.
Dalam teori kontrak sosial Rousseau, negara dibentuk untuk menjamin kebahagiaan rakyat. Tetapi yang terjadi kini, negara justru memungut dari rakyat untuk memberi makan rakyat dalam bentuk lain, dengan biaya jauh lebih mahal dan kualitas lebih rendah. Ini seakan mirip seorang ayah yang mengambil beras dari dapur, lalu menyewa katering mewah untuk memasak nasi yang akhirnya basi di meja makan.
Tambang rakyat juga tak luput dari sorotan. Pemerintah bersuara lantang menindak tambang ilegal, tetapi yang sering kena justru penambang kecil dengan palu, cangkul dan dulang. Sementara korporasi besar yang mengeruk hutan dengan alat berat sering kali lolos dari jerat hukum. Jika negara sungguh hadir untuk rakyat, tambang rakyat harus dilegalkan melalui Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Dengan begitu, ekonomi desa tetap hidup, negara mendapat pemasukan, dan lingkungan bisa diawasi. Menutup tambang rakyat tanpa memberi jalur legal sama saja memadamkan pelita di rumah orang miskin.
Kita hidup di negeri di mana niat baik sering tersandung di trotoar implementasi. Makan Bergizi Gratis menjadi proyek triliunan tanpa gizi bagi UMKM, Danantara menjadi lumbung kuadriliun yang jauh dari dapur rakyat. Sementara itu, pembangunan daerah dipangkas, pajak dinaikkan, dan rakyat kecil terus menanggung beban.
Sejarah akan mencatat Prabowo bukan dari seberapa banyak nasi kotak yang ia bagikan, tetapi seberapa tulus ia memastikan orang tua anak-anak itu bisa bekerja dan makan layak dari hasil keringatnya. Nasi kotak hanyalah simbol, yang lebih penting adalah dapur-dapur kecil di desa dan kota tetap mengepul.
Jangan sampai demi kuadriliun janji investasi dan triliunan nasi kotak, yang dikorbankan justru kehidupan sehari-hari rakyat. Karena pada akhirnya, efisiensi bukan soal mengurangi roti di meja rakyat, melainkan memangkas kerak di meja pejabat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
