Luka Demokrasi di Balik Danantara
Politik | 2025-08-06 11:40:07
Pada 24 Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto meresmikan pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, atau Danantara. Lembaga ini menjadi integrasi dari pengelolaan aset negara yang sebelumnya tersebar di berbagai entitas, termasuk lembaga investasi dan sejumlah BUMN. Dengan total aset kelolaan mencapai lebih dari Rp15.000 triliun, Danantara digadang-gadang menjadi salah satu sovereign wealth fund (SWF) terbesar di dunia. Ia hadir dengan misi besar: mendorong hilirisasi industri, mempercepat pembangunan infrastruktur, memperkuat ketahanan pangan, hingga mendukung transisi energi. Namun di balik narasi kemajuan dan investasi ini, tersimpan persoalan serius terkait demokrasi dan tata kelola kekuasaan.
Dalam desain kelembagaannya, Danantara justru menghadirkan banyak tanda tanya. Alih-alih memperkuat akuntabilitas dan pengawasan publik, struktur lembaga ini malah membuka celah baru yang berbahaya. Dua isu yang paling mencolok adalah praktik rangkap jabatan oleh pejabat tinggi negara dan pemberian imunitas hukum kepada pengelola Danantara. Keduanya menciptakan situasi di mana kekuasaan terpusat tanpa pengawasan yang memadai. Jika dibiarkan, ini bukan hanya merusak sistem pengelolaan aset negara, tetapi juga mencederai semangat demokrasi itu sendiri.
Struktur kepemimpinan Danantara diisi oleh pejabat aktif yang memegang lebih dari satu jabatan penting. Beberapa nama yang mengisi posisi strategis merupakan menteri dan wakil menteri yang masih menjabat. Ketika pengambil kebijakan juga merangkap sebagai pengelola dan pengawas lembaga, maka tidak ada garis pemisah yang jelas antar fungsi kekuasaan. Ini menimbulkan konflik kepentingan yang akut dan melemahkan mekanisme check and balance. Lembaga yang seharusnya diawasi justru dikendalikan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pengawas.
Praktik semacam ini bukan hanya tidak sehat dalam tata kelola negara, tapi juga menyimpang dari prinsip dasar demokrasi. Pengawasan yang ideal harus dilakukan oleh pihak independen, bukan oleh sesama pejabat yang saling terikat jabatan. Ketika menteri mengawasi menteri lain, atau ketika pengelola lembaga juga berada di lingkaran kekuasaan yang sama, maka ruang kritik menjadi sempit dan objektivitas pengawasan sulit terwujud. Semakin besar dana publik yang dikelola, seharusnya semakin besar pula transparansi dan tanggung jawab yang melekat.
Sayangnya, alih-alih membatasi kekuasaan, regulasi yang mengatur Danantara justru memberikan landasan legal untuk rangkap jabatan. Bahkan, pengangkatan pejabat tinggi Danantara cukup disetujui oleh Presiden, tanpa proses seleksi terbuka dan partisipatif. Hal ini menempatkan kekuasaan seleksi dan pengawasan dalam satu tangan, yang sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi modern. Lembaga sebesar Danantara tak seharusnya dikelola dengan sistem yang tertutup seperti ini.
Lebih jauh, isu imunitas hukum bagi pengelola Danantara menjadi sorotan lain yang tak kalah mengkhawatirkan. Mereka diberi perlindungan hukum selama dianggap bertindak dengan "itikad baik" dan "tidak lalai." Kedua frasa ini terdengar mulia, tetapi sangat kabur secara hukum. Siapa yang menentukan seseorang telah bertindak dengan itikad baik? Apa parameter kelalaiannya? Tanpa definisi dan batas yang jelas, imunitas ini bisa menjadi tameng dari penyalahgunaan wewenang.
Ironisnya, para pejabat dan pegawai Danantara tidak dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Ini berarti mereka tidak wajib melaporkan harta kekayaan, tidak tunduk pada kode etik aparatur sipil negara, dan tidak berada dalam pengawasan lembaga seperti KPK atau BPK. Bayangkan, lembaga yang mengelola triliunan rupiah dana publik, tetapi berada di luar jangkauan sistem pertanggungjawaban negara. Di sinilah letak bahayanya: kekuasaan yang besar, tapi minim pengawasan.
Yang lebih problematik, kerugian yang mungkin terjadi di Danantara tidak dianggap sebagai kerugian negara. Padahal modal awalnya berasal dari penyertaan modal negara, aset publik, dan saham-saham BUMN. Artinya, jika terjadi kerugian karena keputusan salah atau praktik curang, negara tidak bisa menelusurinya melalui jalur hukum seperti biasa. Ini menciptakan moral hazard yang besar, di mana risiko tinggi bisa diambil tanpa rasa takut terhadap sanksi.
Imunitas hukum bagi pengelola dana publik bukan hanya menciderai etika, tapi juga merusak prinsip keadilan. Dalam demokrasi, tidak ada kekuasaan yang boleh kebal hukum. Semua pejabat, tanpa kecuali, harus tunduk pada prinsip akuntabilitas dan pertanggungjawaban. Jika satu lembaga bisa berdiri di atas hukum, maka kepercayaan publik terhadap institusi negara akan terus terkikis. Dan itu adalah luka demokrasi yang tidak bisa dianggap remeh.
Danantara seharusnya menjadi simbol kemajuan dalam pengelolaan aset negara. Namun saat ini, ia justru berisiko menjadi simbol baru dari konsolidasi kekuasaan yang menyingkirkan prinsip transparansi dan partisipasi publik. Struktur yang tertutup dan penuh konflik kepentingan hanya akan menghasilkan lembaga yang elitis dan jauh dari kepentingan rakyat. Apa gunanya investasi triliunan rupiah jika pada akhirnya kekuasaan dikelola tanpa pengawasan?
Pemerintah perlu melakukan koreksi mendasar. Praktik rangkap jabatan harus dihentikan. Pejabat yang terlibat di Danantara harus melepaskan posisi struktural lainnya agar tidak terjadi konflik kepentingan. Proses seleksi pimpinan harus terbuka, akuntabel, dan melibatkan publik. Tak kalah penting, ketentuan imunitas hukum harus dicabut, dan semua pengelola Danantara harus tunduk pada pengawasan negara. Transparansi harus menjadi prinsip utama, bukan sekadar jargon.
Danantara bisa menjadi lembaga yang membawa perubahan positif jika dibangun di atas pondasi demokrasi yang kuat. Tapi jika dibiarkan seperti sekarang, ia hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang memperdalam jurang ketidakadilan dan ketertutupan. Luka demokrasi ini tidak boleh dinormalisasi. Kita butuh lembaga yang bukan hanya hebat dalam angka, tapi juga kuat dalam etika.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
