Menggugat Fungsi Simbolik Bahasa Pejabat
Politik | 2025-12-14 20:18:19Masalah komunikasi pejabat publik di Indonesia adalah masalah kronis yang terus berulang, polanya hampir tidak pernah berubah. Setiap kali krisis muncul baik ekonomi, energi, maupun bencana, yang terlihat bukan sekadar kekurangan kebijakan. Yang lebih serius adalah ketidakmampuan bahasa negara untuk bekerja secara efektif di ruang publik. Ini bukan soal siapa yang salah, tetapi soal bagaimana komunikasi dipraktikkan tanpa kesadaran situasional dan psikologis.
Di era ketika informasi bergerak dalam hitungan detik, komunikasi bukan lagi sekadar pelengkap kebijakan. Ia menjadi bagian dari kebijakan itu sendiri. Dan ketika bahasa yang digunakan terlalu kaku atau tidak presisi, dampaknya bisa terukur secara nyata.
IHSG Turun Tajam
Ketika IHSG sempat mengalami penurunan tajam hingga memicu penghentian sementara perdagangan (Trading Halt), peristiwa itu jelas menandakan kondisi pasar yang tidak stabil. Situasi luar biasa seperti ini menuntut komunikasi yang presisi. Bukan sekadar pernyataan normatif, tetapi penjelasan yang menunjukkan pemahaman terhadap dinamika yang terjadi.
Namun, yang muncul ke ruang publik cenderung berupa kalimat-kalimat umum yang tidak memberi arah. Secara substansi mungkin tidak keliru, tetapi secara komunikatif, pesan itu kehilangan konteks. Bahasa yang digunakan terdengar datar, seolah tidak sedang berhadapan dengan situasi luar biasa.
Bahkan ketika IHSG mengalami Trading Halt, DPR yang berpihak sebagai pengawas hanya datang ke Bursa Efek Indonesia dan fokus ke momen-momen trending. Tidak berfokus pada pengawasan jangka menengah dari strategi yang akan dilakukan. Walaupun DPR tetap memberikan komunikasi yang naratif dan menenangkan, namun dampak substantif pada stabilitas melalui komunikasi yang baik dan reformasi kebijakan yang cepat.
Intinya dalam krisis ekonomi, publik tidak hanya menunggu kebijakan, tetapi juga sinyal. Ketika sinyal kontrol dan arah tidak muncul dalam bentuk narasi yang jelas, kekosongan komunikasi justru dibaca sebagai ketidakpastian. Di titik ini, bahasa gagal berfungsi sebagai alat stabilisasi, dan berhenti pada formalitas.
Isu BBM dan Metafora yang Mengaburkan Pesan
Masalah komunikasi juga terlihat dalam cara isu BBM dibicarakan. Dalam salah satu pernyataan, muncul penggunaan metafora yang merujuk pada profesi tertentu di luar konteks kebijakan energi itu sendiri. Alih-alih membantu menjelaskan, metafora ini justru mengalihkan perhatian publik.
Diskusi tentang distribusi dan tata kelola BBM yang seharusnya bersifat teknis, tiba-tiba berubah menjadi perdebatan sosial. Bukan karena publik tidak siap menerima kebijakan, tetapi karena bahasa yang digunakan membawa makna tambahan yang tidak relevan dengan substansi.
Terlebih ketika Menteri ESDM, Bahlil dalam acara Bisnis Indonesia Group Conference 2025. Ia menyindir SPBU swasta yang melantarkan protesnya terhadap isu kelangaan BBM dengan menyebutkan bahwa SPBU swasta hanya jualan Es Kopi dan Pijat Refleksi.
Ini menunjukkan kelemahan mendasar: kurangnya kesadaran bahwa bahasa pejabat selalu bekerja di ruang simbolik. Setiap diksi mengandung makna sosial, dan ketika makna itu tidak dihitung dengan cermat, pesan utama akan tenggelam. Padahal, komunikasi tidak gagal karena isinya, tetapi karena cara penyampaiannya tidak terkontrol.
Banjir dan Bahasa yang Kehilangan Fungsi Simbolik
Dalam konteks bencana seperti banjir di sejumlah wilayah Sumatera, komunikasi pejabat sering kali berhenti pada penjelasan sebab. Pernyataan yang muncul biasanya bersifat administratif dan teknis, tanpa membangun kedekatan emosional dengan warga terdampak.
Bahasa seperti ini mungkin cukup untuk laporan internal, tetapi tidak cukup untuk ruang publik. Dalam situasi darurat, komunikasi memiliki fungsi simbolik: menandakan kehadiran negara. Sayangnya, ketika bahasa yang digunakan terlalu kaku dan normatif, fungsi ini tidak tercapai.
Salah satu contohnya adalah ketika Kepala BNPB, Surhayanto menyatakan kepada media dan menyebut situasi "mencekam" akibat banjir dan longsor "hanya berseliweran di media sosial.". Hingga tidak ditetapkan status Bencana Nasional.
Di sini kita melihat bahwa komunikasi bukan hanya soal menambah informasi, tetapi soal bagaimana informasi itu diposisikan dalam pengalaman warga. Akibatnya, publik tidak merasakan kepastian, meskipun langkah penanganan mungkin sedang berjalan.
Komunikasi Sebagai Risiko Kebijakan
Komunikasi yang buruk sebenarnya adalah risiko kebijakan itu sendiri. Dalam ekonomi, ia memperparah volatilitas. Dalam bencana, ia mengikis kepercayaan. Dalam isu sosial, ia mempercepat polarisasi. Kebijakan yang mungkin rasional dan diperlukan justru sulit diterima karena bahasa yang mengiringinya gagal menjelaskan urgensi secara sederhana.
Dalam kondisi seperti ini, komunikasi berubah dari alat pendukung menjadi titik lemah. Ia tidak lagi membantu negara bekerja, tetapi justru memperumit hubungan antara negara dan warga.
Kritik ini lebih pada cara bahasa negara digunakan tanpa kesadaran situasional. Selama komunikasi masih diperlakukan sebagai formalitas, bukan sebagai strategi, masalah yang sama akan terus muncul. Sampai negara memperlakukan komunikasi bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai strategi pertahanan inti, kita akan terus terjebak dalam pola yang sama. Dan sayangnya, dampaknya akan selalu bisa kita prediksi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
