Menemukan yang Liar, Menemukan yang Ilahi
Sastra | 2025-08-30 09:00:07
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Thoreau, seorang filsuf dan naturalis, memiliki teologi inkarnasional yang unik, di mana ia percaya bahwa Tuhan hadir di setiap aspek alam. Teologi ini berpusat pada doktrin indera spiritual, yang menurutnya adalah cara praktis untuk terhubung dengan sumber ilahi dari keindahan dalam diri manusia dan alam.
Thoreau berpendapat bahwa manusia cenderung tidak mempercayai indera mereka, dan ia melihat ketidakpercayaan ini sebagai gejala dari kondisi spiritual yang buruk. Ia percaya bahwa indera manusia saat ini hanya beroperasi pada kapasitas minimal, seperti salinan dari keadaan yang seharusnya. Ia mempertanyakan, "Tidak bisakah kita melihat Tuhan?". Meskipun tidak menjawab langsung, ia mengisyaratkan jawaban positif dengan bertanya, "Apa itu mendidik kecuali mengembangkan kuman-kuman ilahi yang disebut indera ini?". Menurut Thoreau, indera yang lemah dapat menjadi kuat dan utuh kembali melalui pendidikan dan latihan.
Bagi Thoreau, indera bukanlah alat untuk memperoleh pengetahuan tentang alam secara intelektual atau intuitif saja, tetapi secara fisik. Edward Mooney menyebut Thoreau sebagai filsuf indera yang mencari persekutuan dengan alam. Ralph Waldo Emerson bahkan berpendapat bahwa Thoreau memiliki indera tambahan karena daya pengamatannya yang luar biasa. Thoreau sendiri memahami bahwa indera harus dilatih untuk melihat Tuhan.
Ia percaya pada kesatuan esensial dari kelima indera, di mana masing-masing indera merupakan sumber pengetahuan ilahi. Pengetahuan dari satu indera melengkapi pengetahuan dari empat indera lainnya, sehingga menciptakan gambaran lengkap yang dapat menghasilkan perkiraan Tuhan yang sejati di dalam dan melampaui alam.
Dalam teologinya, Thoreau memperlakukan setiap indera sebagai tempat wacana teologis.
Sentuhan: Rahmat Setelah Kejatuhan
Thoreau memandang sentuhan sebagai titik kontak dasar dengan Tuhan. Di alam semesta Thoreauvian, sentuhan dapat menjadi sumber korupsi atau, ketika ditebus, menjadi sarana keintiman suci dengan Tuhan. Sentuhan yang tidak berlandaskan anugerah, seperti sentuhan yang didorong oleh motif komersial atau ilmiah, merusak objek yang disentuhnya.
Namun, sentuhan juga merupakan cara paling sederhana untuk mengalami alam dan yang paling membutuhkan penebusan melalui kontak dengan alam. Sentuhan tak terhindarkan pada kulit dengan udara mencerminkan anugerah yang tak tertahankan dalam teologi Reformed, di mana semua orang, bukan hanya yang terpilih, disentuh oleh alam. Thoreau menganggap angin sebagai roh alam semesta, dan sentuhan udara pada kulit memberikan rasa universalitas pada pengalaman indrawi alam.
Penciuman: Mengakses Waktu Suci
Thoreau percaya bahwa penciuman memiliki kemampuan untuk mengangkut seseorang ke masa lalu dan masa depan, serta menempatkannya dengan kuat di masa kini. Secara fisiologis, penciuman terhubung ke sistem limbik otak, pusat memori dan emosi. Thoreau sering mengalami "penggandaan temporal" yang dipicu oleh bau, yang membuatnya merasa berada di dalam dan di luar waktu.
Ia menggambarkan penciuman sebagai sesuatu yang lebih dapat dipercaya daripada mata, karena dapat mengungkapkan apa yang tersembunyi dari indera lain. Bau suatu bunga lili air, misalnya, dapat mengingatkannya akan kemurnian dan kemanisan yang ada di tengah lumpur dan kotoran bumi, membangkitkan keyakinan bahwa kebaikan akan menang. Penciuman juga dapat bertindak sebagai kalender internal, seperti ketika ia mencium aroma bunga tertentu yang menandai dimulainya musim panas.
Rasa: Penyembuhan Melalui Sakramen
Bagi Thoreau, rasa adalah sumber penyembuhan spiritual dan fisik. Ia melihat tindakan mencicipi hasil panen alam, terutama yang dikumpulkan sendiri, sebagai tindakan sakramental yang menyembuhkan perpecahan dengan alam dan dalam diri seseorang. Ia membandingkan makan buah dengan sakramen, metode persekutuan, latihan ekstasi, percampuran darah, dan duduk di meja perjamuan dunia. Tindakan ini memicu perubahan internal di mana hewan di dalam dirinya mati hari demi hari, dan yang ilahi diteguhkan.
Thoreau juga mengaitkan makan buah huckleberry dengan kembalinya ke Taman Eden. Ia berpendapat bahwa makan buah apel liar dapat menghindari malapetaka, kejatuhan kedua kita dari Eden, tetapi untuk melakukannya, orang harus makan lagi dari pohon pengetahuan, pengetahuan tentang alam liar. Ia percaya bahwa makanan sederhana, dipetik dengan tangan dan dikonsumsi dengan niat saleh, adalah cara terbaik untuk mempertahankan kesehatan dan kekuatan.
Pendengaran: Wahyu yang Berkelanjutan
Thoreau mengaitkan pendengaran dengan pengalaman dan harapan akan yang suci. Ia menulis bahwa suara apa pun yang merdu memberinya kesadaran akan kekayaan tak terbatas dari Tuhan. Suara alam, seperti angin atau burung thrush kayu, dapat mengangkat dan menggembirakan jiwanya. Ia memandang suara sebagai pembawa korespondensi dan sumber inspirasi atau pengaruh ilahi.
Menurut Thoreau, alam tidak pernah membuat suara, hanya musik. Ia juga mendengarkan suara-suara buatan manusia, seperti kawat telegraf dan peluit lokomotif, sebagai sumber wahyu ilahi, meskipun pada awalnya suara tersebut terasa mengganggu. Thoreau juga memberikan perhatian pada momen-momen yang tampaknya tanpa suara, percaya bahwa keheningan sangat penting untuk wahyu ilahi. Keheningan, baginya, adalah lautan keabadian surgawi, tempat suara-suara penciptaan dan kehancuran sering kali hanya tersedia bagi mereka yang pendengarannya telah terlatih untuk mendengarkannya.
Penglihatan: Memandang Wajah Tuhan
Thoreau percaya bahwa penglihatan adalah puncak dari semua indera, karena semuanya bekerja sama untuk mengantisipasi alam dan melihat Tuhan. Ia berlatih untuk melihat realitas fenomena dan keilahian yang berada di baliknya. Bagi Thoreau, "melihat," sungguh-sungguh "melihat," sesuatu berarti melihatnya dengan cara yang baru.
Namun, ia juga menyadari bahaya penglihatan yang terfokus, yang dapat membuat seseorang melewatkan surga yang mengelilinginya. Ia mengingatkan pembaca untuk melihat keseluruhan. Fakta-fakta alam mengungkapkan keilahiannya sendiri sambil juga menyinggung sumber ilahi dari ciptaan mereka.
Thoreau menyadari keterbatasannya sebagai "seer" (orang yang melihat atau melihat jauh). Ia mengakui bahwa pandangannya terhadap alam hanya melalui indera-inderanya, pada saat-saat tertentu, dan di tempat tertentu. Meskipun demikian, dengan menulis, ia berharap pembaca akan berkomitmen untuk melihat alam dari sudut pandang mereka sendiri, melalui indera mereka yang terlatih, dan menjadi siap tidak hanya untuk melihat tetapi juga untuk merekam apa yang mereka lihat. Ia berharap bahwa melalui upaya kolektif, umat manusia secara keseluruhan dapat mulai melihat alam dan Tuhan di dalamnya dan melaluinya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
